Bab 19

13 7 1
                                    

Akhir-akhir ini Elias datang lebih pagi. Ketika para perawat mulai sibuk melakukan aktivitas mereka, Elias akan pergi berkeliling di sekitar danau untuk menyaksikan kabut bergerak pergi secara perlahan meninggalkan kaki bukit, kemudian diiringi oleh kemunculan sinar matahari yang menyapu permukaan air danau.

Suasananya terasa teduh di sekitar sana. Selama belasan menit Elias hanya menatap kaki bukit di kejauhan yang melandai menuju kawasan hutan. Sejumlah truk besar terlihat bergerak memasuki area itu. Gerbang di sana telah dibuka dan seorang petugas yang berjaga menggiring truk-truk itu untuk masuk. Tak jauh dari tempatnya berdiri, Elias melihat sebuah bagunan tua yang telah hancur. Letaknya berseberangan dengan rumah sakit, namun siapapun dapat menjangkau bangunan itu melalui pintu belakang. Merasa tergugah, Elias berjalan untuk melihatnya.

Bangunan itu seperti rumah. Strukturnya tersusun dari bebatuan dan beberapa bagian dindingnya yang belum hancur di cat dengan warna hijau tosca. Puing-puing bebatuan dari sebagian pondasinya yang hancur terhampar di atas tanah berumput. Tidak ada lantai keramik, sehingga Elias berpikir kalau bangunan itu mungkin bukan rumah, melainkan hanya sebuah aula kosong yang digunakan sebagai tempat perkumpulan atau tempat berdoa. Kaca jendela di bagian sampingnya juga telah hancur. Rangkanya telah lapuk dan menghitam karena air hujan. Sementara sebagian atapnya telah runtuh dan hanya menyisakan rangka kayunya yang tidak lama lagi akan roboh. Saat matahari telah bergerak naik di atas kepala, cahayanya dapat menembus masuk dengan bebas ke dalam sana. Itu sekaligus menjadi jawaban mengapa tanahnya cukup subur dan dipenuhi oleh rumput hijau.

Seekor anjing berbulu hitam juga sering berkeliaran di sekitar sana. Sembari menggoyangkan ekornya yang panjang, anjing itu mengendus-endus tanah di sekitarnya kemudian bergerak untuk mengais gundukan dedaunan kering yang menyembunyikan bangkai tikus.

Elias langsung menjauh begitu bau busuk bangkai itu menusuk hidungnya. Ia berbalik pergi untuk melihat sisi lain bangunan. Ada sebuah celah kecil disana, celah yang menyembunyikan sebuah ruangan sempit yang luasnya tidak sampai lima belas meter. Namun ruangan itu masih cukup layak jika dibandingkan dengan sisi lain bangunan yang telah hancur. Cat dindingnya tidak mengelupas, atapnya juga belum hancur dan sebuah kaca jendela yang besar disana, menghadap persis ke arah danau. Elias dapat menyaksikan kabut sepenuhnya telah meninggalkan danau dan menyisakan cahaya keemasan yang terik. Area perbukitan dan jalur sempit menuju kawasan hutan juga dapat terlihat melalui kaca itu.

Dengan berhati-hati Elias melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Kakinya berusaha menghindari genangan air pada permukaan tanah di bawah kakinya. Tidak ada rumput liar yang tumbuh di dalam sana. Tidak ada banyak barang kecuali sebuah kursi kosong yang diletakkan di depan jendela. Udaranya terasa pengap sehingga Elias harus menarik jendelanya hingga terbuka. Angin dari luar langsung menyeruak masuk. Angin itu mengantarkan udara dingin ke sekelilingnya. Selama beberapa menit Elias hanya berdiri disana, mendengarkan suara berderak ranting yang patah dari pohonnya juga gemerisik daun yang bergesekan kala anginnya bertiup. Kemudian alarm jam tangannya berbunyi. Alarm itu memberitahu Elias untuk segera kembali.

Begitu Elias sampai di rumah sakit lima menit kemudian, ia melihat kamar pasien di lantai dua telah dikosongkan. Para petugas sedang membersihkan ruangan itu dan Fritz sibuk membantu perawat lainnya di ruang obat. Elias menatap ke sekelilingnya, mencari sesuatu hingga ia menemukan Rachael sedang duduk di dekat taman, dikelilingi oleh sejumlah pasien yang berkeliaran di sekitar sana dan melamun seperti biasanya. Elias baru akan beranjak menghampiri wanita itu sebelum seseorang memanggilnya di kejauhan.

Chintia muncul di ujung lorong. Wanita itu telah berpakaian rapi: dress biru dengan pita merah kecil yang mengelilingi kerah perseginya. Ia menggenggam sesuatu di tangannya: sebuah wadah yang mirip seperti keranjang kecil. Satu lengannya terangkat ketika wanita itu menyapanya. Kemudian sembari tersenyum lebar, Chintia menghampirinya.

THE UNSEEN (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang