Bab 31

8 5 1
                                    

"Kenapa kau tidak memulainya dengan menceritakan padaku tentang apa yang terjadi pada orangtuamu?" ucap Abe dari tempatnya di atas kursi kayu.

Elias beringsut dengan tidak nyaman saat mendengarnya, tiba-tiba saja merasa gelisah. "Apa? Apa itu penting?"

"Semuanya penting."

"Dari mana aku harus memulainya?"

"Dari manapun kau ingin. Aku disini. Jangan terburu-buru!"

"Baiklah," sembari mengembuskan nafas, Elias menyandarkan tubuhnya di atas kursi, berusaha mencari posisi nyamannya disana. Cangkir putih berisi teh yang diletakkan Abe di atas meja masih terisi penuh. Pikir Abe minuman itu dapat membuat Elias merasa cukup nyaman berada di dalam ruangan sempit yang luasnya tidak sampai tiga puluh meter itu. Meskipun Elias berusaha mengabaikannya, tetap saja hal itu tidak mengubah fakta bahwa ia tidak diberi pilihan untuk menentukan tempat apapun yang diinginkannya. Dan jika ada satu-satunya minuman yang dapat membuatnya merasa nyaman, maka tentu saja pilihan itu tidak jauh pada teh. Tapi Elias enggan mengakui kalau alkohol merupakan satu-satunya jenis minuman yang dapat menenangkannya. Abe akan menentang Elias dengan keras untuk membawanya. Tidak ada alkohol saat kau duduk bersamaku, katanya. Bisakah kau menoleransinya untuk yang satu itu? Seolah-olah Elias punya pilihan lain.

Kemudian pikirannya beralih dengan cepat dari alkohol menjadi sesuatu yang lebih absurd, sesuatu yang muncul sebagai produk dari masa lalunya. Elias berusaha mengulang ingatan apapun yang muncul di kepalanya saat itu, memaksa dirinya untuk hanyut pada keheningan yang membingungkan.

"Saat itu adalah musim panas di bulan desember ketika aku melihat seseorang datang dan memarkirkan truk hitamnya di halaman depan rumahku. Pria ini, tubuhnya besar, rambutnya panjang, dan dia juga tidak bercukur. Tampilannya sangat berantakan. Dia datang untuk menemui ayahku saat itu. Ayahku mengatakan kalau mereka akan pergi memancing, dan aku memercayainya. Mereka pergi dan baru kembali dua hari berikutnya - ketika aku sudah sangat kelaparan dan tidak ada makanan yang tersisa di rumah. Pria ini - yang memiliki rambut hitam jelek dan kusut, dia memandangiku dengan jijik. Aku berusaha mengabaikannya, aku makan apapun yang dibawa ayahku saat itu, tapi suasananya berbeda ketika ada pria asing yang duduk bersama kami di meja makan. Aku tidak ingin mempermasalahkannya, kupikir pria itu akan pergi besok. Tapi keesokan harinya ketika aku terbangun, aku mendengar suara berisik dari arah gudang. Pintu kamar ayahku tidak tertutup, dan ada banyak peralatan di dapur yang belum dibersihkan. Aku pergi ke gudang untuk mencari ayahku, kemudian aku melihatnya.. Ayahku berdiri disana, membelakangi pria asing ini, dan pria itu berdiri begitu dekat dengannya. Dia memasukkan tangannya ke dalam celana ayahku, dan menyentuhnya.."

Elias memejamkan kedua mata, berusaha mengusir bayangan buruk itu dari kepalanya.

"Itu menjijikan. Aku berlari keluar dan berpura-pura kalau itu tidak pernah terjadi - kalau apa yang baru saja kusaksikan itu tidak nyata. Tapi tidak. Semua itu nyata. Ketika aku kembali sore harinya, pria itu sudah meninggalkan rumah kami."

Jarum jam di dinding itu mengeluarkan detakan kecil yang merambat dengan pelan ke telinganya. Elias terus memandanginya dengan intens, berusaha memetakan sejumlah pajangan di atas dinding selagi ia mengatur nafasnya.

"Itu menggelikan saat mengetahui kalau pria yang membesarkanmu selama ini adalah seorang peyuka sesama jenis. Aku bahkan tidak bisa mengenalinya lagi. Dia berbeda sejak kedatangan pria ini. Dan ketika aku secara tidak sengaja menyinggungnya, emosinya meledak. Dia mulai meneriakiku dan untuk kali pertama, dia mukulku. Dia memukulku begitu keras sampai aku berdarah. Dia mengatakan kalau tidak ada seorangpun yang akan menghentikannya. Kemudian dia mulai mengejek ibuku, dia menyebut-nyebut kalau aku adalah seorang anak yang terlahir dari kesalahan, bahwa aku hanyalah beban, dan ibuku tidak lain hanyalah wanita gila yang kecanduan narkoba. Dia mungkin benar, tapi aku juga tidak salah menilainya. Aku malu mengakui bahwa aku dibesarkan oleh seorang gay, jadi aku berusaha menutupinya. Aku mengabaikan semua itu selama hampir satu tahun. Hingga suatu hari pria asing ini kembali. Dia membawa ayahku pergi bersamanya. Mereka meninggalkanku begitu saja. Aku masih ingat hari itu. Aku melihatnya dari jendela kamarku, ketika mereka memasuki truk yang sama. Mereka membawa sejumlah tas berisi senjata dan penglengkapan berburu, tapi ayahku tidak mengatakan apa-apa. Entah bagaimana aku tahu dia tidak akan kembali, dan itu benar. Dia tidak pernah kembali hari itu. Aku sendirian di rumah, tidak tahu apa yang harus kulakukan sampai seseorang datang mengetuk pintu rumahku. Itu seorang polisi. Namanya petugas Damon, jika aku tidak salah ingat, dan dia mengatakan ayahku ditemukan tewas di hutan. Seseorang menembaknya."

Elias menarik nafas kemudian memejamkan kedua matanya dengan rapat. Rasanya ia dapat mendengar seseorang membisikkan sesuatu ke telinganya, membawa ingatan tentang masa lalu itu kembali ke kepalanya, kemudian menguap begitu saja bersama atmosfer tipis di dalam ruangan sempit itu. Elias butuh udara segar.

"Aku tidak melanjutkannya," ucap Elias dengan suara serak.

"Tidak apa-apa." Ketika mengatakannya Abe telah menegakkan tubuh di atas kursi sembari menatapnya hangat. "Kau harus bergerak menginggalkan semua itu."

Elias menggelengkan kepala dengan cepat dan membantah, "itu tidak mudah ketika kau berada dalam posisi yang berbeda."

"Mungkin kau benar," Abe menyetujui. "Tapi kau disini dan itu membuktikan satu hal - kau melakukannya dengan baik, Elias."

-

THE UNSEEN (YANG TIDAK TERLIHAT)


THE UNSEEN (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang