Catatan harian Rachael Simone
Ditulis pada: Maret 2019
(1 tahun sebelum pembunuhan)
Bayi itu terasa kecil dan rapuh ketika untuk kali pertama aku mengangkatnya, sampai-sampai aku takut kalau genggamanku akan menghancurkannya.
Aku dapat melihat cahaya yang bergerak melewati kedua matanya yang bersinar. Seperti lautan biru yang luas. Aku ingin tenggelam disana. Tangan kecilnya berusaha menggapai wajahku, dan ketika aku mendekat untuk mencium jari-jarinya, kulitnya terasa harum. Air mataku jatuh.
Bayi itu terlalu sempurna. Tiba-tiba ia mengingatkanku pada bayi di dalam kotak kecil yang kaku dan membiru. Setiap kali melihatnya, aku akan teringat oleh bayi itu – bayiku yang tewas. Aku menunduk untuk membisikkan sesuatu ke telinga kecilnya.
"Morgan.. Hei, Morgan!" kataku.
Aku suka memanggilnya begitu. Nama itu cocok untuk sepasang mata biru dan bibir merah mungilnya yang tersenyum padaku. Tidak begitu sulit untuk menyukainya. Aku akan menganggapnya seperti bayiku. Aku tahu ketika kali pertama aku menggenggamnya. Bayi ini akan menjadi milikku.
Kupikir Denise juga akan menyukainya, tapi reaksinya tidak seperti yang kuharapkan. Dia lebih dingin dari biasanya. Meskipun dia tidak menolak kehadiran bayi itu secara langsung, dia tidak pernah berusaha untuk mendekat atau menyentuhnya. Aku punya firasat kalau dia akan selalu berpikir bahwa Morgan adalah bagian yang terpisah dari kami – bagian yang begitu jauh untuk dijangkau, dan begitu asing.
Hanya saja, dia tidak pernah mengatakannya secara langsung.
Setelah berminggu-minggu, dia mulai terbiasa. Dia berusaha untuk menerima Morgan dengan tangan terbuka, tapi sikapnya berubah. Dia berperilaku seolah-olah semuanya baik-baik saja, padahal tidak. Dia semakin jarang berada di rumah, dia pulang larut malam, dan dia semakin sibuk dengan urusan pekerjaannya.
Dia tidak pernah menjadi bagian dariku lagi sejak saat itu.
Aku merasa putus asa dan takut. Ketika kupikir segalanya akan membaik dengan kehadiran Morgan, sikapnya justru menegaskan kalau usaha itu akan sia-sia saja. Tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keadaan dan perlahan aku mulai merasa rumah itu terlalu besar, terlalu dingin, dan terlalu kosong untuk kami.
Aku baru teringat, sudah tiga bulan berlalu sejak terakhir kali kami melakukan seks. Bagaimana mungkin Denise tidak menyinggungnya? Apa yang terjadi padaku – apa yang terjadi pada kami? Kenapa tiba-tiba semua itu menjadi tidak penting? Selama berminggu-minggu, aku meletakkan seluruh perhatianku untuk merawat Morgan. Denise juga menyibukkan diri dengan pertunjukannya. Kami hanya bicara saat malam, di atas meja makan, terkadang di ruang tengah dan ketika kami berbaring bersama-sama di atas ranjang, kami hanya akan terdiam. Aku sibuk memikirkan bagaimana tiba-tiba semua itu menjadi terasa asing. Seandainya aku dapat merasuki kepala Denise untuk mengetahui apa yang sedang dipikirkannya..
Dua malam berikutnya, kami bertengkar. Satu pertengkaran hebat lainnya. Semua itu berawal dari percakapan ringan. Aku mengatakan padanya rencana untuk mendekorasi kamar Morgan. Dia menyetujuinya, tampak tidak begitu peduli dengan semua itu, kemudian aku menjadi kesal. Kukatakan padanya kalau dia berubah – bahwa dia mengacaukan segalanya. Dan dia meledak begitu saja, mengatakan bahwa aku-lah satu-satunya orang yang menyebabkan semua kekacauan itu.
"Kau membunuh bayiku kemudian membawa bayi milik orang lain masuk ke dalam rumah kita! Kau pikir itu bisa memperbaiki kesalahanmu, tapi kau justru membuatnya menjadi semakin buruk, Rachael."
Aku bergetar saat mendengar kata-kata berikutnya.
"Kau tahu apa? Aku lelah. Aku tidak suka berpura-pura, jadi mari kita luruskan saja. Kalau kau ingin merawat bayi itu, silakan. Aku sama sekali tidak melarangmu, dan aku mencintaimu. Tidak ada yang berubah."
Denise berbohong. Entah bagaimana, aku tahu dia berbohong.
Aku mendatangi tempat kerjanya suatu hari, dan dia tidak ada disana. Seseorang yang bekerja untuknya mengatakan kalau Denise sering pulang lebih awal selama satu bulan terakhir, tapi dia tidak kembali ke rumah. Dia menghilang, entah kemana. Paginya ketika aku terbangun, dia sudah berbaring di sampingku, masih mengenakan pakaian yang sama seperti semalam dan aku mencium aroma parfum yang familier di pakaiannya.
Pagi itu melamun. Aku diselimuti oleh ketakutan kalau suatu saat aku benar-benar akan kehilangannya. Bagaimana mungkin?
Beberapa hari setelahnya, Sean dan Cathy datang untuk berkunjung. Aku sedang mengamati Morgan di pekarangan rumah bersama Richie ketika aku melihat Denise berkeliaran di dapur bersama pasangan Terrell. Masing-masing dari mereka menggenggam segelas anggur di satu tangannya. Aku mungkin menjadi satu-satunya orang yang memilih untuk menyendiri dengan pikiranku. Dalam beberapa menit saja, aku tidak mau menjadi bagian dari mereka. Aku ingin menghilang, tapi disaat yang bersamaan aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Aku tidak mungkin hanya membayangkannya, karena itu terasa begitu nyata.
Ketika Sean meninggalkan dapur, aku menyaksikan Cathy berjalan mendekati Denise kemudian mengarahkan satu tangannya untuk menyentuh wajah Denise. Mereka tersenyum pada satu sama lain, kemudian Denise menariknya mendekati sekat kecil di dinding. Aku berjalan cepat mendekati kaca jendela untuk menyaksikannya lebih jelas. Mereka berpelukan. Itu tidak mungkin hanya sekadar pelukan biasa karena tangan Denise mulai menggerayangi tubuh Cathy, wajahnya menunduk ketika ia mencium bibir Cathy, dan bahunya terkulai ketika Cathy menyusupkan tangan ke balik celananya.
Aku menutup tirai jendela dengan cepat. Jantungku mencelos, nafasku tercekat. Di dalam ruang kerjaku, aku membuka setiap laci untuk menemukan obat penenang. Setelah menemukannya, aku menelan satu. Tidak, kupikir dua. Aku butuh lebih banyak dari itu.
-
THE UNSEEN (YANG TIDAK TERLIHAT)

KAMU SEDANG MEMBACA
THE UNSEEN (COMPLETE)
Mystery / ThrillerRachael Simone, seorang mantan terapis profesional, ditemukan terkurung di gudang setelah peristiwa penembakan yang menewaskan suami dan sahabatnya terjadi. Kebisuan Rachael yang tiba-tiba membuat kepolisian menyakini bahwa wanita itu bukanlah korba...