Elias menatap permukaan lantai dengan dengan gelisah. Kedua tangannya sibuk membenahi jas dan kemeja yang digunakannya sampai ia sadar kalau ia telah melakukan hal yang sama selama belasan kali. Namun itu satu-satunya hal yang dilakukan Elias ketika merasa gelisah. Kedua matanya akan menatap ke sekitar, mencari-cari sesuatu yang dapat mengalihkan pikirannya, dan ketika hal itu tidak juga berhasil, kuku jari kakinya akan menekuk, dahinya berkeringat, dan tangannya mulai menepuk-nepuk lutut, membenahi keliman kemeja, atau dasinya.
Atmosfer di dalam sana terasa menipis. Meskipun udarannya dingin, Elias dapat merasakan panas yang kian mencekik. Karena itu ia bergerak untuk membuka jendela. Tindakan itu mungkin tidak diizinkan karena dianggap membahayakan pasien. Elias dapat menyadarinya kali pertama datang ke sana: setiap jendela ditutup rapat hanya agar pasien tidak melompat dari sana. Namun udara yang menerobos masuk melalui jendela itu membuat Elias merasa lebih tenang, selain itu ia menjadi lebih mudah untuk mengalihkan perhatiannya pada sesuatu di luar jendela. Namun ketika Elias harus menunggu begitu lama di dalam ruangan kosong dengan tembok polos yang memerangkapnya, mudah sekali untuk merasa terusik, terutama ketika tidak ada seseorang yang dapat diajak berbicara. Satu-satunya yang bersuara disana hanyalah jarum jam di dinding yang memberitahunya bahwa ia telah menunggu selama lebih dari lima belas menit dan seseorang belum juga muncul di balik pintu kayu itu.
Merasa kelelahan, Elias bangkit berdiri. Berpikir kalau ide untuk menemui Rachael di ruangan itu terasa konyol, Elias memutuskan untuk menghampirinya saja. Namun, Elias baru akan menggeser kursinya ke posisi semula, ketika seseorang menggeser pintu ruangan itu hingga terbuka dan wajah Fritz muncul di sana. Persis di belakangnya, Rachael berdiri dengan jari-jari tangan saling bertaut dan tatapan kosong yang terarah ke lantai di bawah kakinya.
"Terburu-buru, dok?" tanya Fritz sembari mendorong pintu terbuka lebih lebar.
Sejenak, Elias mematung di tempatnya sebelum menggeleng dengan cepat dan menunjuk ke arah kursi kosong yang berseberangan dengan kursinya.
"Tidak, tolong duduklah!"
Rachael tidak bergerak sampai Fritz membimbingnya masuk melintasi ruangan dan duduk di atas kursi kayu kosong yang berhadapan dengan Elias. Selama beberapa saat, tatapan Elias terus mengawasi wanita itu sampai Fritz menegurnya dengan berkata, "aku akan berdiri disini untuk mengawas."
Elias menatap laki-laki itu dan Rachael selama bergiliran. Rachael sama sekali tidak menunjukkan reaksi apapun, tatapannya yang kosong menegaskan dengan begitu jelas, tapi tidak sama dengan Elias. Ia merasa lebih nyaman ketika Fritz menunggunya di luar.
"Tidak apa," katanya. "Aku bisa menanganinya, kau boleh meninggalkan ruangan ini."
Fritz tertegun kemudian menyeringai lebar. "Tidak mungkin."
Sementara itu, Elias berusaha meyakinkan Fritz dengan tatapannya. Pada akhirnya laki-laki itu luluh untuk meninggalkan ruangan.
"Baik, aku akan menunggu di depan pintu kalau begitu, tapi.." Fritz bergerak mendekati jendela. Langkah kakinya yang panjang membuat laki-laki itu lebih cepat untuk sampai disana. ".. aku tidak bisa mengizinkan jendela ini terbuka. Jangan mengeluh, ini bagian dari pekerjaanku, oke?"
Elias duduk merosot di atas kursinya kemudian memutar bola mata sembari menghela nafas pasrah. "Oke, tidak masalah, lakukan sesukamu," gerutunya dengan pelan.
"Jika butuh sesuatu, katakan saja." Fritz membuka pintu dan meninggalkannya dengan kalimat terakhir, "nikmati waktu kalian."
Sekilas, Elias menangkap senyum yang dilayangkan Fritz untuk meledeknya, namun ia berhasil mengabaikannya segera setelah pintu ditutup. Keheningan kembali menjalar ke setiap sudut tempat. Kini seluruh perhatiannya tertuju pada Rachael Simone. Sang terapis duduk dengan punggung yang sedikit membungkuk dan kedua tangan terkulai di atas pangkuan. Jari-jarinya masih bertaut dan seluruh pusat perhatiannya tertuju pada lantai kosong di ruangan itu.
Elias membiarkan beberapa detik terlewatkan dalam keheningan. Ia mempelajarinya dari sebuah buku, bahwa keheningan itu merupakan salah satu cara untuk menjalin ikatan antara seorang terapis dengan pasiennya. Terkadang Elias juga mengalaminya, ketika ia duduk di atas sofa dan merasa kesulitan untuk mengungkapkan apa yang ingin disampaikannya, kebisuan seseorang terasa sangat membantu. Untuk satu alasan tertentu kebisuan itu membuatnya merasa diterima, dan ketika penerimaan itu berubah menjadi suatu kenyamanan, Elias akan mengungkapkan setiap hal yang terlintas dalam benaknya dengan begitu mudah sehingga ia tidak perlu berpura-pura.
Elias berpikir bahwa mungkin upayanya akan berhasil jika ia dapat menciptakan kesan yang sama pada Rachael. Tapi pertama-tama, Elias perlu mendapatkan perhatiannya.
"Dokter Rachael Simone," mulai Elias dengan suara pelan. "Atau.. apa kau keberatan jika aku memanggilmu Rachael? Aku Elias Kermit, kita bertemu sore kemarin di taman, kau ingat?"
Persis seperti dugaannya, tidak ada jawaban.
"Rachael.." ulang Elias, kali ini dengan sedikit penekanan. "Aku tahu kau mungkin berpikir aku menginginkan sesuatu darimu, tapi itu tidak benar, aku tidak datang untuk tujuan khusus, aku tidak datang karena kepolisian memintaku untuk itu, tapi aku datang karena aku membutuhkan bantuanmu – dan kau membutuhkan bantuanku."
Rachael begitu diam, lebih diam dari pasien lain yang pernah dijumpainya hingga Elias nyaris berpikir pikirannya sudah kacau saat melihat sudut mata Rachael berkedut, seolah wanita itu hendak menanggapinya. Tapi Elias tidak sedang berkhayal ketika melihatnya, Rachael memang menunjukkan reaksi itu secara jelas. Elias merasa cukup puas. Kedutan itu hanya berarti Rachael sedang mendengarkannya. Untuk itu, Elias merasa kalau ia perlu memilih kalimat selanjutnya dengan hati-hati. Karena khawatir, pikirannya mulai sibuk memikirkan apa yang ingin didengar dan apa yang tidak ingin di dengar Rachael saat itu.
Apa yang harus dikatakannya?
"Ya, itu benar, kita saling membutuhkan, tapi yang pertama aku akan mengatakan kenapa itu penting. Kau mungkin berpikir begitu, bukan? Kenapa itu penting? Kenapa aku harus membutuhkanmu dan sebaliknya?"
Hening.
Elias memberi jeda. Selagi memikirkan apa yang harus dikatakan, ia mengamati Rachael dari kursinya. Tatapannya hanyut dalam wajah itu – ekspresi kesedihan yang sama yang pernah dilihatnya dalam potret di surat kabar, persis satu hari setelah pembunuhan itu terjadi. Tiba-tiba Rachael menjelma menjadi burung hantu, ketenangannya membingungkan publik, kebisuannya membuat orang mudah berspekulasi. Siapa yang dapat memercayai wanita ini? Apa yang dilakukan Rachael malam itu? Kenapa dia harus membungkam mulutnya?
Elias terpikir untuk menghanturkan semua pertanyaan itu secara bersamaan. Ia begitu bersemangat untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan yang selama satu tahun terakhir hanya tersimpan di dalam halaman jurnal yang mulai menguning. Sedari dulu, Elias membiarkan pertanyaan itu menggantung begitu saja: kenapa Rachael membisu? Tapi Elias hanya akan mengacaukan suasana jika ia menanyakannya secara langsung. Ia harus bersabar jika ingin mendapatkan hasil yang diinginkannya.
Tapi kenapa?
"Itu penting karena.. tidak ada manusia yang bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Kita tidak bisa menyangkalnya. Tapi kita bisa memilih teman kita. Aku memilihmu sebagai temanku, dan kau berhak memutuskan apa aku layak menjadi temanmu atau tidak. Aku tidak akan memaksamu, Rachael, aku hanya ingin berbicara denganmu. Ayo berbicara! Kau bisa memberitahuku apapun yang kau suka – apapun yang kau benci. Ketakutan terbesarmu, kekuatanmu – apapun."
Tidak ada jawaban.
"Apa kau akan berbicara denganku? Aku disini, Rachael. Kenapa tidak coba melihatku?"
Wanita itu masih bergeming menatap kosong pada lantai di bawah kakinya. Sesekali kelopak matanya berkedip, namun Rachael tidak menunjukkan reaksi apapun selain itu. Kebisuannya setajam pisau dan perisai yang memblokir emosinya setebal dinding beton sehingga Elias tidak dapat menembusnya. Bahkan, Elias nyaris berpikir kalau wanita itu benar-benar tidak ada disana. Nafasnya setenang embusan angin di pagi hari, kehadirannya tidak mendominasi seisi tempat di dalam ruangan.
Wanita itu setenang hantu – sekosong langit malam.
-
THE UNSEEN (YANG TIDAK TERLIHAT)
KAMU SEDANG MEMBACA
THE UNSEEN (COMPLETE)
Mystery / ThrillerRachael Simone, seorang mantan terapis profesional, ditemukan terkurung di gudang setelah peristiwa penembakan yang menewaskan suami dan sahabatnya terjadi. Kebisuan Rachael yang tiba-tiba membuat kepolisian menyakini bahwa wanita itu bukanlah korba...