Catatan harian Rachael Simone
Ditulis pada: Agustus 2018
(2 tahun sebelum pembunuhan)
Tangannya terasa dingin.
Aku dapat mendengarnya berteriak di dalam kepalaku. Aku menyaksikan kedua mata itu terpejam, bibirnya terkatup rapat, dan dia tidak bergerak – ada sesuatu yang salah. Aku tahu segera setelah aku melihatnya.
Bayi itu tidak bernafas.
Aku berusaha mengedipkan mata - kuharap aku sedang bermimpi. Tapi tidak. Dia berada di dalam kotak kecil itu: tidak kedinginan, tidak kesakitan – tidak merasakan apa-apa.
Bayiku. Bayiku mati.
Aku mengulangi kalimat itu berkali-kali, dan aku takut jika pada akhirnya aku akan terbiasa. Tapi aku juga tidak ingin menangisi bayi itu selamanya. Ada satu bagian dalam diriku yang tahu bahwa hal ini akan terjadi. Satu bagian yang meyakini kalau cepat atau lambat bayi itu tidak akan bertahan. Tapi segera setelah melihat wajahnya, aku menjadi malu. Aku berubah pikiran. Aku menginginkannya. Aku menginginkan bayi itu. Aku hanya ingin mendengar suaranya sebentar. Aku ingin melihatnya bergerak.
Denise tidak mengatakan apa-apa. Bahkan setelah pemakaman, kami mengendara pulang dalam keheningan. Nicole sudah jelas tidak berada di pihakku dan aku tahu apa yang mungkin dia pikirkan tentang hal itu: dia berpikir aku sengaja melakukannya.
Cathy disisi lain menemaniku sepanjang pemakaman. Suaminya Sean juga hadir, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya berdiri di sudut makam dan menatapku, tapi itu bukan tatapan kasihan. Rasanya tidak nyaman untuk menebak apa yang mungkin dipikirkan orang sepanjang pemakaman. Aku membenci fakta bahwa orang-orang itu hadir disana sementara aku belum begitu pulih atas kejadian yang menimpaku. Dan rekasi Denise hanya menunjukkan secara jelas kalau laki-laki itu menyalahkanku atas apa yang terjadi. Dia tidak mengatakannya secara langsung sampai malam ketiga setelah pemakaman. Perdebatan itu akan selalu muncul disana seperti hantu yang membayangi malam kami. Aku berusaha untuk terbiasa - Denise juga begitu. Kami sepakat untuk tidak membahas tentang bayi itu lagi. Kami sepakat untuk tidak berdebat. Tapi pada akhirnya aku tahu kalau itu bukan sebuah kesepakatan. Itu hanyalah sebuah pernyataan untuk membenarkan situasi yang sudah kacau, dan kami sama-sama tidak berkomitmen untuk membuktikannya.
Tidak ada yang baik-baik saja setelah peristiwa itu.
"Kau tidak menginginkan bayiku!" katanya.
"Tidak! Tidak benar!" aku membenarkan, tidak tahu siapa yang sedang kubohongi. Kupikir Denise benar. Kupikir aku hanya membutuhkan sebuah validasi atas apa yang kuanggap benar dan apa yang tidak.
Aku pernah mengatakan hal yang sama pada pasienku. Namanya Emma. Suatu hari dalam sesi terapi kami, dia menceritakan semua yang dirasakannya terhadap suaminya. Aku mengingat dengan jelas apa yang dia katakan hari itu, persis setelah pemakaman putriku. Dia bilang:
"Aku tidak menginginkan Paul, sama seperti aku tidak menginginkan bayinya, Rachael. Dia pemabuk, laki-laki yang tidak bisa mengendalikan emosinya dan suka bertindak gegabah. Bagaimana mungkin aku menikahi pria ini, dan bagaimana mungkin aku melihat bayi ini tumbuh dalam rumah itu! Tidak, aku tidak bisa, Rachael. Aku sudah mencoba melakukan seperti apa yang kau sarankan, tapi aku gagal. Setiap hari aku terbangun dengan pikiran kalau harus meninggalkan tempat itu. Aku harus meninggalkan Paul, dan menggugurkan bayi ini."
Aku mulai berpikir kalau beberapa orang mungkin memiliki perasaan yang sama sepertiku. Bahwa entah bagaimana, ada sebuah kemungkinan untuk memperbaiki situasi dengan mengorbankan sesuatu. Aku mengorbankan putriku saat aku memutuskan untuk naik ke loteng dan minum alkohol itu. Aku selalu tahu konsekuensinya, tapi aku tetap melakukannya. Tapi setiap konsekuensi selalu diikuti oleh konsekuensi lainnya dan itu berada di luar rencanaku hingga aku berpikir untuk mengembalikan semuanya seperti semula. Aku tidak pernah menebak bahwa setelah kematian putriku, aku harus menghadapi perubahan sikap Denise. Saat itu, apa yang kuinginkan hanyalah mengembalikan keadaan seperti semula.
Pasienku, Emma, juga mengetahui konsekuensi atas keputusannya, dan aku memberinya pilihan. Aku memberinya pilihan yang mungkin tidak akan kusesali.
"Kau tidak harus membunuh janinmu. Bagaimanapun, itu bukan tindakan yang dibenarkan, kau tahu itu Emma."
"Ya, Rachael. Tapi pilihan apa yang kupunya?"
"Kau punya pilihan untuk melahirkannya," aku bergetar, tapi tetap kukatakan. ".. dan aku akan merawatnya sebagai anakku. Hanya jika kau mengizinkannya."
-
THE UNSEEN (YANG TIDAK TERLIHAT)

KAMU SEDANG MEMBACA
THE UNSEEN (COMPLETE)
Misterio / SuspensoRachael Simone, seorang mantan terapis profesional, ditemukan terkurung di gudang setelah peristiwa penembakan yang menewaskan suami dan sahabatnya terjadi. Kebisuan Rachael yang tiba-tiba membuat kepolisian menyakini bahwa wanita itu bukanlah korba...