"Aku mengikuti gadis ini, kemanapun dia pergi. Melihatnya berada di kota yang sama setelah bertahun-tahun membuatku merasa perlu untuk melakukannya. Aku hanya terus mengikutinya tanpa sepengetahuan Talia. Terkadang aku merasa bersalah tentang hal itu, tapi aku juga tidak ingin kehilangan gadis ini lagi. Aku memulai kebiasaan lamaku untuk mengambil beberapa foto tentangnya. Terkadang aku melukis wajahnya dan menyimpan hasilnya di gudang sehingga Talia tidak akan pernah melihatnya. Itu berlangsung selama berbulan-bulan, dan selama itu, gadis itu tidak pernah menyadarinya."
Udara di dalam ruangan menipis. Elias menjadi gelisah ketika hawa panas menyergapnya. Namun di luar hujan deras. Abe tampak tidak terganggu sedikitpun dengan suhu udaranya. Sebaliknya, laki-laki itu duduk dengan nyaman di atas kursi sembari melipat satu kaki diantara kaki lainnya.
"Apa kau tidak pernah menceritakan tentang gadis ini pada Talia?"
"Tidak, tidak pernah terpikir olehku untuk menceritakannya."
"Kenapa?"
"Madison adalah bagian dari masa laluku dan aku sudah melangkah begitu jauh dari masa laluku sampai-sampai aku tidak ingin mengulang atau sekadar mengingatnya."
Abe mengangguk, sejenak menunduk kemudian kembali menatap Elias dan bertanya, "menurutmu perasaan seperti apa yang kau miliki terhadap Madison?"
Elias tertegun saat memikirkan jawaban atas pertanyaan itu. Namun ia sampai pada satu kesimpulan buntu yang membuatnya berkata, "aku tidak tahu."
"Cobalah! Cobalah untuk memahaminya. Kau tahu kalau ini tempat yang tepat untuk berbagi. Kau boleh mengutarakan apa saja. Tidak ada yang harus dirahasiakan."
Detak jarum jam di atas dinding tiba-tiba mengalihkan perhatiannya. Namun, hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menghindari situasi apapun yang tengah dihadapinya. Elias tahu bahwa ketika ia memutuskan untuk berbicara, ia akan memercayai Abe sepenuhnya. Elias tahu bahwa Abe mungkin adalah orang terakhir yang akan menghakiminya. Untuk itu ia menarik nafas panjang sebelum memberanikan diri untuk berkata.
"Aku menginginkan Madison," kepalanya menggeleng, dan ia mengoreksi pernyataannya dengan cepat. "Itu bukan sekadar keinginan semata. Itu semacam obsesi dan aku merasa tidak akan ada seseorang yang dapat menghentikannya."
"Apa itu awal mula dari semuanya?"
Pernyataan itu membuat Elias ragu-ragu. Apa benar bahwa obsesinya-lah itu yang melatarbelakangi kejadian demi kejadian yang menimpanya? Mungkin ya, mungkin tidak. Yang pasti, jawabannya tidak berada di antara dua kemungkinan itu.
"Ya."
"Ceritakan padaku!"
Elias memberi jeda. Ia menggeser tubuhnya di atas kursi untuk mencari posisi senyaman mungkin. Setelah menarik nafas panjang, Elias merasa lebih siap dari yang sudah-sudah. Abe pernah mengatakan bahwa ia benar-benar sembuh ketika ia berhasil menceritakan kejadian itu tanpa merasakan emosi yang sama seperti dulu. Pikir Elias ia sudah cukup sembuh sehingga ia begitu siap untuk menceritakannya.
"Malam itu, aku dan Talia baru saja berkendara meninggalkan pusat kota. Kami pergi untuk memberi beberapa perkakas yang akan kugunakan untuk memperbaiki pintu kamar bayi. Ketika kami dalam perjalanan pulang, aku melihat Madison keluar dari sebuah restoran bersama seorang laki-laki. Wajahnya kelihatan murung dan sedih. Kemudian laki-laki itu menarik lengannya dengan kasar dan berusaha membawanya masuk ke dalam mobil. Saat Madison menolak, laki-laki itu mulai berteriak di depan wajahnya. Aku hanya berdiri disana dan melihatnya. Aku melihatnya tampak begitu terpukul. Seolah-olah dia berusaha mengendalikan emosinya begitu kuat. Kemudian dengan paskaan laki-laki itu, Madison akhirnya masuk ke dalam mobil, tapi sebelum itu aku sempat melihatnya menatap ke sekitar. Dia mungkin berpikir untuk mencari bantuan dan saat mobil yang membawanya bergerak pergi, aku meminta Talia untuk segera masuk ke dalam. Dia bertanya padaku apa yang terjadi, tapi tidak kukatakan. Aku mengemudikan mobil itu dengan cepat untuk menyusulnya, dan aku begitu khawatir tentangnya sampai aku tidak sadar kalau aku mengendarai mobil itu dengan kecepatan tinggi. Talia berteriak padaku, tapi aku mengabaikannya. Aku mengabaikannya seolah dia tidak pernah berada disana. Pikiranku hanya terpusat pada mobil yang membawa Madison. Apa yang kutahu hanyalah menjaga kecepatan laju sehingga aku tidak akan kehilangan mobil itu. Sementara itu, di sampingku, aku dapat mendengar Talia berteriak: Elias berhenti! Elias, apa yang kau lakukan? Teriakkannya persis suara yang berada di dalam kepalaku. Dia memohon padaku untuk menghentikan mobil kami, tapi tidak kulakukan. Aku kehilangan akal sehatku. Aku seharusnya mendengarkan istriku – wanita yang sedang mengandung bayiku, tapi aku justru mengabaikannya. Aku mengabaikannya seolah-olah dia tidak pernah berada disana. Seolah-olah dia hanya sebuah suara yang berteriak di kepalaku dan memintaku untuk berhenti."
Nafas Elias tercekat, kedua matanya berair, tapi ia tidak menghentikan dirinya sampai disana.
"Aku terus mengemudi dan mengikuti mobil itu. Mobil itu sempat berhenti, kemudian berputar ketika tahu kalau aku mengikutinya. Aku menjadi semakin khawatir kalau laki-laki itu memutuskan untuk menyakiti Madison, jadi aku mempercepat lajuku. Tapi aku tidak memerhatikan apa yang ada di depanku. Saat mobil itu berusaha berputar di tikungan, aku menginjak pedal rem dengan cepat untuk menghindari tabrakan. Sayangnya aku tidak cukup beruntung karena mobilku justru menabrak pembatas jalan, tergelincir di tanah berumput yang licin dan menghantam batang pohon besar dengan keras. Aku sempat pingsan, tapi kemudian terbangun karena rasa sakit yang kurasakan pada kaki dan lenganku. Jika aku punya pilihan, maka aku akan memilih untuk mati pada detik itu juga. Seandainya itu benar, tapi tidak. Aku harus menyaksikan istriku mati di kursi penumpang dengan pecahan kaca mobil di wajahnya dan dahan pohon menusuk bahunya. Darah dimana-mana. Dia tewas. Aku menangis, berteriak. Kuharap aku sedang bermimpi, tapi nyatanya tidak. Aku berada di dalam mobil itu selama satu jam sampai ambulans dan polisi datang untuk menolong kami. Semua emosiku meluap begitu saja saat mereka membawaku ke rumah sakit. Aku merasa kehilangan dan aku membenci diriku sendiri karenanya. Nyaris setiap hari setelah kejadian itu, aku tidak pernah berhenti menyalahkan diriku sendiri. Nyaris setiap hari. Selama beberapa minggu, aku hanyut dalam kesedihan itu. Aku membiarkan alkohol meredam semua kesedihan itu, sampai suatu hari aku memutuskan bahwa sudah saatnya untuk bangun. Sudah saatnya untuk melupakan semua itu. Jadi aku membuang semua alkohol dan obat-obatan itu. Aku tahu aku melakukan tindakan yang benar karena aku ingin sembuh. Itu hanya masalah waktu, cepat atau lambat aku akhirnya sembuh – setidaknya aku merasa begitu."
"Jadi apa yang kau lakukan?"
"Aku menemui Madison untuk mengucapkan salam perpisahan."
"Menurutmu itu tindakan yang bijaksana?"
"Tidak," sahut Elias, tajam. Keheningan merangkulnya, kemudian, "tapi tetap kulakukan."
"Dan apa yang terjadi setelahnya?"
Ada jeda panjang sebelum Elias menanggapi pertanyaan itu. Matanya menerang lurus ke arah dinding kosong di depan. Sementara itu, pikirannya berkelana pada ingatan tentang kejadian malam itu di kediaman pasangan Simone. Tubuhnya bergetar dan kata-kata itu sudah tertahan di ujung lidahnya.
"Aku mendatangi Madison di rumahnya. Kupikir dia akan hidup tersiksa dengan rasa bersalah. Tapi tidak. Nyatanya setelah satu tahun sejak kecelakaan itu, Madison baik-baik saja. Dia tinggal bersama laki-laki ini – laki-laki yang menyakitinya, dan kehidupannya baik-baik saja. Dia bahkan sudah memiliki seorang bayi perempuan! Apa aku iri? Ya, aku memang iri. Pada detik itu aku sadar bahwa beberapa luka tidak dapat disembuhkan. Aku ingin apa yang direnggut dariku, bisa kudapatkan kembali, dan dengan begitu aku memilih cara yang salah. Aku tahu itu sebuah kesalahan besar, tapi tetap saja kulakukan."
"Apa yang kau lakukan?"
Elias menatap laki-laki itu cukup lama. Rahangnya berkedut dan otot-otot wajahnya menegang. Ia mulai memikirkan reaksi Abe saat mendengarnya. Kemudian Elias menyakinkan dirinya kalau Abe tidak akan menunjukkan reaksi apapun yang membuatnya merasa tidak nyaman. Bagaimanapun itu yang akan dilakukan oleh setiap terapis: membuat pasiennya merasa nyaman ketika mengungkapkan versi terburuk dalam diri mereka sekalipun.
"Aku memaksanya," sahut Elias. Ia menjaga suaranya tetap tenang. "Aku memaksa Madison untuk membunuh suami dan seorang sahabatnya. Aku mengurung putrinya dan mengancamnya sehingga dia tidak punya pilihan. Aku hanya ingin dia membayar nyawa Talia dengan nyawa dua orang yang dikenalnya, dengan begitu kami impas. Tapi aku juga bukan melakukannya untuk keuntunganku sendiri. Aku mengorbankan diriku malam itu. Aku punya firasat kalau aku akan mati malam itu. Jadi apapun yang terjadi aku sudah siap untuk menghadapinya. Lagipula, aku tidak punya alasan lain untuk tetap hidup. Tapi malam itu sesuatu yang aneh terjadi. Aku meminta Madison untuk memilih siapa yang akan selamat. Kupikir dia akan memilih Denise atau sahabatnya. Tapi yang mengejutkanku adalah fakta bahwa dia tidak memilih salah satu diantara mereka. Dia justru memilih orang asing untuk tetap hidup malam itu. Kenapa? Aku tidak pernah tahu alasannya. Tapi bukannya menyudahi semua itu, seperti biasa, Madison selalu punya cara untuk menarikku padanya. Aku hidup selama berbulan-bulan dengan sebuah pertanyaan di kepalaku: kenapa aku? Kenapa tidak Denise atau Catherine yang dibiarkan selamat? Kenapa aku?"
-
THE UNSEEN (YANG TIDAK TERLIHAT)
![](https://img.wattpad.com/cover/310672342-288-k591699.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
THE UNSEEN (COMPLETE)
Mystery / ThrillerRachael Simone, seorang mantan terapis profesional, ditemukan terkurung di gudang setelah peristiwa penembakan yang menewaskan suami dan sahabatnya terjadi. Kebisuan Rachael yang tiba-tiba membuat kepolisian menyakini bahwa wanita itu bukanlah korba...