"Maeveen, cukup. Jangan kau takut-takuti anakmu lagi," pinta Aithne setengah memerintah. "Kau seperti baru saja mengisap habis darahnya."
Napas Excelsis tertahan akibat membayangkan di dalam lemari es ada tubuh manusia yang terpotong-potong. Bagian berdaging menjadi makanan Aithne, sedangkan darahnya untuk minuman suplemen Maeveen. Ia memang tidak pernah membuka lemari es utama di dapur karena semua kebutuhan selalu disiapkan oleh Siera.
Maeveen mengacungkan gelas yang sudah separuh terminum. "Ini jus darah naga. Karena sudah lama disimpan jadi seperti ini, mengental." Senyum Maeveen merekah dan menyembulkan sepasang taring lancip. "Tenang saja, sejak lahir aku tidak pernah minum darah manusia." Dua kali teguk, habislah seluruh isi jus favoritnya.
Darah naga. Buah merah lonjong bersisik mirip sisik naga, berdaging merah tua dan lunak, serta memiliki biji bercangkang keras di tengahnya. Sewaktu dibuat jus, bagian dalam dari biji yang mirip agar-agar digiling bersama daging buah yang cenderung hambar. Banyak yang menyamakan rasa dari buah ini merupakan percampuran apel dan jeruk.
"O—Oke ...." Excelsis masih lupa caranya bernapas. "Mama ...," panggilnya ragu-ragu diselipi ketakutan.
"Ya."
"Apakah Mama akan berubah menjadi ...."
Aithne membenci kalimat yang digantung. Namun ia bisa menangkap maksud Excelsis dengan jelas. "Kalau aku akan berubah menjadi serigala, atau ... monster, begitu?"
"I—Iya. "
"Tidak. Wujudku tetap seperti ini selama terkendali."
Excelsis mengembuskan napas sepelan mungkin, berharap Aithne tidak mendeteksi kelegaan yang membajiri hatinya sekarang. Meski pernyataan Aithne sangat jelas, ia harus selalu waspada bila sewaktu-waktu Aithne hilang kendali dan berubah menjadi monster serigala yang akan menyerang siapa saja. Setidaknya ini tehnik yang diajarkan oleh film-film di televisi tentang bagaimana menyelamatkan diri dari kiamat pribadi.
"Aku begini karena kecelakaan di masa lalu, EG. Kau tahu rasanya tidak termasuk dalam golongan mana pun? Aetherian sialan menganggapku aneh dan berbahaya." Sorot Aithne menajam lagi karena kenangan masa lalu yang pahit, terutama di zaman dirinya bersekolah. "Selain itu, aku juga tidak pantas dimasukkan dalam golongan satunya lagi."
Senyum getir. Excelsis tahu persis senyum tertahan dengan mata yang dipenuhi kilatan kekecewaan. Wanita ini baru saja memperlihatkan kerapuhannya.
Mengalami penolakan adalah hal yang menyakitkan, setabah apa pun seseorang pasti jauh dalam hati tetap saja ada luka yang tertoreh. Sepintar-pintarnya mereka menyembunyikan kepedihan itu dan berharap suatu saat akan sembuh, bekasnya akan tetap ada dan pasti akan mengembalikan memori tersebut sekeras apa pun mereka berusaha melupakan.
Maeveen merangkul bahu sang istri, mengingatkan wanitanya bahwa ia akan selalu ada untuk menjadi si penopang emosi. Aithne menyentuh punggung tangan Maeveen lalu tersenyum. Kali ini Excelsis bisa menerjemahkan lengkung di bibir Aithne adalah ungkapan kelegaan dan terima kasih, atau juga mungkin bahasa lain dari perasaan cinta di antara mereka berdua.
"Itu sudah lama berlalu. Kami sudah bisa menyatu dengan gaya hidup seperti ini, tidak ada masalah lagi." Aithne berdiri dan berjalan santai ke ruang makan. Sesampainya di ambang pintu ia berbalik dan bertanya, "Kalian ingin dibawakan kue buatanku?"
Pasangan kompak bapak dan anak sontak mengangguk cepat dan memperhatikan Aithne yang menghilang di balik tembok. Meski ada pelayan yang bisa melakukan segala sesuatu termasuk mengantarkan makanan, Aithne tetap memilih menyuguhkan makanan buatan sendiri. Seperti ada kepuasan tersendiri yang juga tidak dimengerti olehnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Virmaid: ARC I - The Beginning [FINAL REVISION]
Fantasy[Pemenang Wattys 2022 Kategori Fantasi] [Reading List WIA Periode ke-2] Kehidupan Trio SEL (Schifar, Excelsis, Lysandra) berubah drastis setelah mereka menjadi magnet dari segala kejadian-kejadian di luar nalar, terutama Lysandra, gadis keras kepala...