Quentine tersentak. "Istriku ... aku—aku ingin melihatnya. Dimana dia?"
"Di kamar tidur kalian—bersama Aithne." Sekali lagi Maeveen tidak merinci kondisi Myristica yang sebenarnya.
"Moms!" Lysandra segera melepas pelukan dan berlari kesetanan menuju kamar tidur utama, tidak mengacuhkan Excelsis yang memintanya berhati-hati supaya tidak terpeleset dan jatuh.
"Maeveen ... apakah yang kupikirkan benar?" Suara Quentine bergetar.
"Kalau dia kehilangan suhu tubuh dan tidak bernapas ... itu benar. Tubuh istrimu ditumbuhi bunga es, aku tidak tahu itu pertanda apa. Jujur saja, aku tidak mengenal anatomi tubuh kalian. Sebagai seorang dokter, kalian membuatku berada di posisi yang sulit."
Quentine mengangguk. Wajahnya memancarkan kesedihan. "Aku mengerti. Terima kasih kau tidak gegabah," ucapnya pelan. Namun, ia tidak punya waktu untuk berdiam diri dan merelakan istrinya mengulurkan tangan pada maut. Sofa empuk kesayangan seolah-olah kehilangan daya bujuk supaya ia duduk lebih lama. Hanya satu yang ia inginkan sekarang, berlari secepat mungkin menjumpai Myristica.
Sambil membulatkan tekad, ia memerintah kakinya untuk bergerak maju, tidak masalah jika harus menyeret atau terseok-seok sekali pun. Sayang, tekad sajad tidak cukup. Sepasang kaki yang semakin gemetar masih engan untuk bergeser. Frustrasi perlahan merayap dan menggayuti Quentine. Kemarahan yang siap meledak juga ikut menyerobot masuk dalam hatinya.
Tanpa ia sadari, aura semerah darah menguar keluar.
Excelsis yang sibuk menganalisis teorinya terhenyak. Suhu ruangan tiba-tiba naik drastis hingga seperti di dalam bilik sauna. Butiran-butiran sebesar biji jagung yang terbentuk mulai berlomba menuruni dahi. Dalam sekejap, kelembapan juga sirna berganti panas dan kering seperti suhu padang gurun dengan matahari terik di atas kepala.
Apa yang terjadi?
Paru-paru Excelsis mulai kekurangan asupan oksigen. Ia tidak mau lagi menghirup udara panas yang serasa akan memanggang rongga hidung. Otaknya juga memberi perintah darurat supaya berhenti bernapas demi melindungi organ pernapasan kalau tidak ingin bernasib seperti kertas yang dibakar. Namun, insting bertahan hidup memberontak dan memaksa Excelsis untuk membekap hidung dan bernapas pendek-pendek. Cara ini lebih baik daripada menahan napas entah sampai kapan.
Udara panas di sekitar mereka semakin intens, seperti kompor yang apinya dibesarkan untuk membuat sepanci masakan cepat matang, tapi mengabaikan kemungkinan akan hangus dan tidak bisa dikonsumsi lagi. Sempat terbersik dalam benak Excelsis menyingkirkan si koki sembrono dari dapur. Saat ini ini matanya membentur Quentine.
"Om Quentine ...?" Excelsis tidak menyangka bila Quentine yang menjadi sumber perubahan suhu.
Seluruh tubuh pria itu diselubungi aura merah yang menjilat-jilat seperti api, persis obor manusia. Sinis, gelap, dan kelam adalah tiga kata yang tepat untuk menggambarkan aura merah tersebut.
Quentine tidak bereaksi meski namanya dipanggil berkali-kali. Ia mirip mayat hidup yang berjalan terseok-seok menuju sumber mangsanya—kamar tidur tempat Lysandra berada.
Entah apa yang ada dalam benak Excelsis sewaktu ia berdiri dan mengabaikan fakta sesuatu yang aneh dan di luar nalar terjadi di hadapannya. Ia justru ingin membantu Quentine berjalan.
Untung saja Maeveen segera menepis uluran tangannya berkata, "Jangan sentuh."
Meski tidak mengerti, Excelsis menurut. Matanya mengikuti Maeveen yang berjalan santai mendekati Quentine dan menepuk bahu kanan pria itu sambil membisikkan sesuatu. Penasaran segera menelusup masuk hingga ia bergumam sambil menatap telapak tangannya sendiri, "Papa boleh sentuh, kenapa aku tidak boleh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Virmaid: ARC I - The Beginning [FINAL REVISION]
Fantasy[Pemenang Wattys 2022 Kategori Fantasi] [Reading List WIA Periode ke-2] Kehidupan Trio SEL (Schifar, Excelsis, Lysandra) berubah drastis setelah mereka menjadi magnet dari segala kejadian-kejadian di luar nalar, terutama Lysandra, gadis keras kepala...