Chapter 8.1 - Illusion

58 13 10
                                    

Satu langkah, dua langkah, tiga langkah dilalui dengan mudah. Karena sudah melewati pagar, berarti dirinya sudah memasuki wilayah museum. Lysandra menoleh ke belakang dan matanya langsung disuguhi sosok Excelsis yang terengah-engah setelah berlari dari sekolah untuk sampai di tempat ini.

"Kenapa tidak menungguku, bocah bandel!" Excelsis mendamprat Lysandra yang langsung memamerkan deretan gigi dan sepasang lesung pipi, tidak merasa bersalah seperti biasa.

"Ayo masuk! Kita akan berkelana ke masa lalu hari ini." Dengan penuh percaya diri Lysandra menarik tangan sahabatnya sambil setengah berlari.

"Ly—Lysa, tunggu dulu ... aku—aku ke sini karena—" Excelsis berusaha membebaskan diri dan menjelaskan tujuannya datang ke tempat ini, tapi Lysandra terus menyeret dan tidak menggubris ucapannya.

Mendekati pintu masuk museum, sepatu Lysandra seolah berubah menjadi pahatan batu yang memerangkap kedua kaki. Belum juga mengerti apa yang terjadi, tahu-tahu ia dilingkupi awan hitam. Tekstur awan berubah drastis dari selembut permen gulali menjadi pekat dan perlahan melumpuhkan indra penglihatan. Suhu di sekitar mereka juga turun drastis.

"EG, apa yang terjadi?" Lysandra berpaling, berharap menemukan Excelsis. Namun, meski sudah berputar ke segala arah, siluet sosok yang dicari sama sekali tidak ada. "EG! Kau di mana? Kenapa di sini gelap sekali? EG!"

Excelsis, sosok yang dicari, tidaklah menghilang. Ia tergeletak tidak sadarkan diri hanya beberapa langkah dari Lysandra yang meraba-raba dan berjalan pelan, tapi tidak berhasil menemukan apa pun untuk dipegang. Kakinya justru tersangkut jejeran bata yang dijadikan pembatas jalan untuk memisahkan jalan setapak menuju pintu museum dengan rerumputan di sebelahnya.

"Argh! Apa lagi ini! Tolong ... tolong aku! Keluarkan aku dari sini!" Momok dingin kematian menjamah tengkuk Lysandra dan perlahan merambat hingga ke seluruh tubuh. Akibat suhu yang terus turun, bunga es mulai bermunculan di permukaan pakaian hangatnya. Dahi yang lembap oleh keringat juga ikut membeku. Panas tubuh juga mulai mengalir keluar, diserap oleh sesuatu yang semakin erat memeluknya hingga kesesakan mendera. "Kumohon ... siapa saja, tolong aku! Sesak ... sesak, Pops, Schifar, EG ... tolong aku ... aku tidak ingin—"

Kesurupan. Inilah yang muncul di benak pemilik berpasang-pasang mata di luar pagar museum untuk menjelaskan tingkah aneh dan teriakan histeris Lysandra. Meski pintu pagar setengah terbuka, tidak ada yang berani melewatinya. Selain itu, di dekat gerbang masuk sudah terpancang papan pengumuman bertinta merah. Tulisan dengan huruf kapital tersebut jelas melarang siapa pun untuk masuk kecuali petugas museum.

Seorang wanita, yang sedang berdiri di samping kios hamburger, tertarik dengan kerumunan berlapis di depan pintu gerbang museum. Kebalikan dari para penonton, insting seorang jurnalis justru mendorongnya untuk menyelidiki. Ia mendekat dan menyibak beberapa penonton untuk mendapatkan pemandangan yang cukup bagus dari dekat.

Sesaat, ia tertegun melihat tangan Lysandra yang terus bergerak seperti ingin melepaskan diri dari sesuatu yang tak kelihatan sambil berguling-guling di hamparan rumput. Tangannya merogoh kamera saku digital dari balik jaket tebal yang dikenakan. "Sedang apa anak itu?" Lensa kamera kecilnya sudah mengunci sasaran dan tinggal menekan tombol merah untuk menangkap momen berharga.

Sayang, sebelum sempat menekan tombol, kamera sudah direnggut paksa. "Hei, apa yang kau lakukan?" protesnya dengan nada tinggi dari balik masker.

Sosok lelaki—berambut hitam—menjulang di samping kanan. Separuh wajahnya tertutup kerah tinggi dari pakaian yang juga serba hitam. Ia menjeling sejenak, mengacungkan kamera hasil sitaan, dan menyentak dagu ke arah papan pengumuman. Ada gambar kamera tersilang dengan tinta merah di papan tersebut.

"Ayolah, jangan kaku begitu! Mataku minus, jadi aku tidak bisa melihat dengan jelas. Itu benar gambar kamera? Mengakulah, kau juga tidak bisa melihatnya dengan jelas dari jarak segini, bukan?" Nona yang mungkin berprofesi sebagai wartawati ini menggunakan jurus mengelak andalan. Namun, hanya hanya dijawab oleh punggung berbahu lebar yang terus mejauh. "Urgh! Orang-orang zaman sekarang!" Ia menggeram gemas sambil meninju-ninju udara dan bersiap mengejar.

Virmaid: ARC I - The Beginning [FINAL REVISION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang