56- Clarisa Mengadu

29 2 0
                                    

“Ada apa?” Kak Amar menatapku penasaran.

Apa aku harus mengatakan tentang Aura saat ini juga.

“Tidak ada,” jawabku resah.

Aku pun memutuskan untuk tidak memberitahu Kak Amar dulu tentang Aura.

Aku akan membicarakan hal ini dengan Om Wiguna terlebih dahulu. Aku tak boleh gegabah.

Cukup lama kami berada di tempat ini.

Aku mendengarkan semua keluh kesah Kak Amar. Lalu, kami saling diam lumayan lama. Hanya menikmati indahnya panorama alam di danau cinta ini.

Kemudian, kami memutuskan untuk pulang.

Malam ini kakakku pulang ke apartemen bersamaku. Besok paginya barulah dia akan pulang.

Semalaman, aku tidak bisa tidur. Karena kepikiran dengan semua cerita kakakku tadi.

Kak Amar sungguh keterlaluan, aku sangat kesal padanya. Bisa-bisanya dia mengkhianati Kak Nina dan juga Om Wiguna.

Pantas saja, kalau Om Wiguna sangat marah dan membencinya.

Mataku baru terasa berat setelah waktu menunjukkan jam dua dini hari.

Paginya.

Meski sebenarnya, aku sangat mengantuk sekali. Kupaksakan mata ini terbuka. Karena, harus melaksanakan kewajiban sebagai muslim.

Aku pun menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Hanya nasi goreng dan ceplok telur  saja yang kumasak.

Aku mencampurkan sayuran dan sosis besar ke dalam nasi goreng. Tidak lupa, irisan cabe rawit yang lumayan banyak.

Menu ini adalah kesukaanku dan Kak Amar.

Kami makan dalam hening.

“Aku kangen ibu dan bapak,” ujarku. “Aku ingin pulang kampung,” lanjutku dengan mata menerawang.

Mengingat suasana di kampung halaman.

Kami baru saja selesai sarapan.

“Pulang saja, mau kakak antar?” tanyanya antusias.

Aku menggeleng, ”Tidak perlu. Lagian aku belum tau juga kapan pulangnya. Mau lihat-lihat dulu situasi, aku masih banyak tugas dari sekolah yang belum diselesaikan,” jawabku.

“Baiklah kalau begitu,” jawab Kak Amar. “Sekar!” Kak Amar memanggilku lirih.

"Iya kak," sahutku.

"Jangan dekat-dekat dengan Wiguna, Kakak mencemaskanmu,"  Kak Amar menatapku lekat.

Ada raut cemas dari garis wajahnya.

"Memangnya kenapa kak?" Tanyaku heran, balas kutatap dia.

"Kakak takut kalau Wiguna masih dendam, dan berusaha membalasnya kepadamu. Kakak takut, dia menyakitimu Sekar." Kak Amar menatapku penuh kecemasan, bahkan dia sampai mendesah beberapa kali.

"Hahaha, hey kenapa kakak jadi berburuk sangka begitu kepadanya? Tenang saja, dia itu baik. Dia tidak akan menyakitiku kak. Apalagi, aku sangat dekat dengan anaknya," ujarku.

Mengingat Aura, hatiku berdenyut nyeri. Dia sungguh kurang beruntung. Lahir karena sebuah kesalahan, semoga saja hidupnya selalu bahagia sampai dewasa nanti, semoga saja asal usul kelahirannya tidak menjadi masalah di masa mendatang.

"Tetap saja, kamu harus hati-hati padanya!" tegas Kak Amar.

Aku diam tak menanggapinya.

"Kamu kenapa?" tanya Kak Amar, dia menatapku penuh rasa ingin tau.

"Aku hanya ingat Aura, kasihan anak itu. Dia tidak sempat mengenal ibunya," jawabku. Sudut mataku tiba-tiba saja berair.

Sebulir air mata pun lolos begitu saja.

Kisah antara Kak Amar, Om Wiguna dan Elly sungguh membuat Aura terbawa dalam kehidupan yang rumit. Padahal, anak itu sama sekali tidak tau apa-apa.

Bagaimana kehidupannya saat dia sudah dewasa kelak, saat anak itu sudah bisa memahami segalanya.

Aku hanya berdo'a untuk kebahagiaannya.

"Apa maksudmu Sekar?" Kak Amar bertanya dengan suara bergetar.

"Apa?" tanyaku, aku belum paham maksud pertanyaannya.

"Kenapa kamu bilang kalau anak Wiguna belum sempat mengenal ibunya?" Tanya Kak Amar, dari raut wajahnya aku bisa melihat keheranan bercampur terkejut.

"Hemm, apa kakak belum tau kalau ibunya Aura meninggal seminggu setelah melahirkan?" Aku menjawab dengan pertanyaan.

Dari raut wajah kakakku terlihat jelas kalau dia syok. Sesaat kemudian, Kak Amar menundukkan kepalanya. Dia menangis pelan.

Aku diam sejenak. Membiarkan dia larut dalam kesedihan.

"Kak!" kusentuh bahunya.

Kak Amar memelukku, dia menangis dalam pelukanku.

Mungkin dia merasa kehilangan orang yang pernah singgah dalam hatinya di masa lalu.

Setelah beberapa saat menangis, Kak Amar mulai menegakkan tubuhnya. Lalu mengusap wajahnya yang basah dengan air mata.


“Apa kakak masih mencintainya?” tanyaku penasaran. Ada rasa sakit hati saat membayang kalau aku berada di posisi Kak Nina, kakak iparku.

Kak Amar menatapku, dengan tatapan sendu.

Dia menggelengkan kepala, “ Tidak Sekar, aku sangat mencintai Nina saat ini. Kami memang sangat dekat dulu, tapi itu dulu sekali. Aku hanya merasa sedih mendengar kalau dia sudah meninggal, dia masih muda ditambah harus meninggalkan seorang putri yang masih kecil,” jawabnya serius.

Aku menatap mata kakakku itu lekat-lekat, coba melihat apakah ada kebohongan di sana. Namun, aku merasa tidak ada kebohongan sedikit pun. Kisah masa lalunya itu, mungkin hanya kesalahan mereka, yang bercampur keegoisan dan hawa nafsu semata.

Untuk beberapa saat, kami terdiam.

Kami tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Mungkin dalam hati Kak Amar dipenuhi penyesalan dan rasa bersalah kepada Kak Nina saat ini.

Apalagi kalau tau sampai memiliki anak dari hubungan gelapnya.

Mumet, inilah yang aku rasakan saat ini.

Kakakku akhirnya pulang, satu hal dia pesankan padaku sebelum dia pulang. ‘Jangan dekat-dekat dengan Wiguna,’ itulah katanya.

Tapi, aku sungguh tak bisa berjanji. Karena aku sudah dekat dengan Aura, apalagi ternyata anak itu adalah keponakanku.

Aku berniat segera menghubungi Om Wiguna, untuk membicarakan hal ini. Agar Kak Amar tau, kalau dia memiliki anak dari Elly.

Kak Amar harus tau!
Aura pun harus tau!

Ting tong

Suara bel pintu membuyarkan lamunanku. Untuk sesaat, aku berpikir. Siapa kira-kira yang mengunjungiku sepagi ini, rasanya hanya sedikit yang tau alamatku ini.

Selain aku dan Kak Amar, hanya Om Wiguna, Kak Pras dan Kak Dimas saja yang tau.

Mungkin salah satu dari mereka.

Tapi Kak Pras tidak mungkin, dia kan baru saja menikah. Kak Dimas, memangnya ada hal penting apa denganku? Kemungkinan besar adalah Om Wiguna, karena mungkin dia ingin membicarakan masalah Kak Amar, atau mungkin Aura.

Kulangkahkan kakiku menuju pintu.

Ceklek

Pintu kubuka sedikit, lalu melonggokkan kepala. Sungguh terkejutnya aku, ketika melihat siapa yang berdiri di depan pintu.

Raut wajahnya terlihat tegang, dia adalah Andra. Orang yang tidak kuduga sama sekali, aku sungguh heran dia bisa tau alamatku.

Seingatku, baik Andra maupun Lisa temanku, mereka belum kuberitahu alamat ini.

“Andra! Kok kamu tau alamatku?” tanyaku spontan karena rasa terkejutku.

“Kak Amar yang memberitahuku,” jawab Andra dengan raut wajah datar dan dingin.

Kenapa dia? Aku jadi heran dengan sikapnya, biasanya dia tidak sedingin ini.

Aku mempersilahkannya masuk.

Kini kami duduk di sofa saling berhadapan.

“Ada apa?” tanyaku penasaran. Ini pertama kalinya Andra berkunjung, dia tipe pria dingin. Meski jarang bicara, namun biasanya saat denganku, dia bisa bersikap lebih hangat.

“Ada hubungan apa antara kamu dengan Pras?” tanyanya serius.

“Ah itu, kenapa kamu menanyakan ini?” tanyaku makin heran.

“Ingin tau saja,” jawabnya masih mode serius.

Aku diam dan hanya mengembuskan napas kasar. Andra kenapa jadi kepo begini? Seperti wartawan saja, aku jadi ingin tertawa. Tapi kutahan, takut dia tersinggung. Apalagi, dia orangnya jarang bicara.

“Kalian pernah pacaran? Putus? Lalu kalian berselingkuh karena Pras menikahi wanita lain pilihan orang tuanya?” Cecar Andra, tentu saja ocehannya itu membuatku kesal saja.

“Astagfirullah hal Adzim, kamu sungguh keterlaluan Dra! Bisa-bisanya mengatakan hal itu padaku! Aku tidak seperti itu!” Sungutku berapi-api, aku bahkan meninggikan nada bicaraku saking kesalnya.

Andra menatapku lekat, dia mengembuskan napas pelan. Lalu berkata padaku dengan pelan, “ Maafkan aku Sekar. Sungguh aku  tidak punya maksud untuk menuduhmu seperti itu,” ujarnya dengan wajah penuh sesal.

Aku berusaha mengatur emosiku, “Iya, aku memaafkanmu,” ujarku meski masih kesal padanya.

“Jadi?” Dia sepertinya begitu penasaran.

“Memang benar, aku dan Kak Pras pernah saling menyukai. Tapi, hal itu tidak lama. Karena dia memilih menikah dengan Clarisa,” jawabku.

Andra menatapku intens.

“Kamu masih menyukainya?” tanyanya lagi.

Aku diam saja.

“Masih menyukainya?” Andra kembali bertanya, raut wajahnya kini terlihat tegang.

“Iya, rasa itu masih ada. Meski, sudah berkurang banyak.” Aku berkata jujur.

Aku tidak mau memelihara rasa yang salah, Kak Pras sudah menjadi suami orang.

Andra mendesah.

Hening, tak ada yang berbicara lagi diantara kami.

“berangkat bareng yuk!” ajaknya.

Aku mengangguk saja, daripada naik taxi. Kan lumayan dapat tumpangan, heheh.

Kami pun berangkat bersama.

Di sekolah, ternyata Lisa sudah sampai duluan.

“Kok kalian barengan?” tanya Lisa heran, dia menatapku dan Andra bergantian.

“Jangan ngaco deh!” Aku tau maksud tatapan Lisa.

Sedangkan Andra pamit masuk duluan.

“Kamu ada hubungan apa dengan Andra?” tanya Lisa.

Raut wajah Lisa terlihat penuh kecemasan.

“Kamu kenapa? Kok kelihatan cemas begitu?” Aku malah bertanya bukannya menjawab pertanyaannya itu.

“Cemas? Kenapa aku harus cemas?” katanya, dia terlihat gugup.

Aku terus mencecarnya dengan banyak pertanyaan, hingga akhirnya dia terpojok dan berkata jujur.

“Aku suka Andra, melihatmu datang bareng dengannya, jujur saja membuatku patah hati,” ujarnya sedih.

Aku terkejut dengan pernyataannya.

“Hey, kenapa patah hati. Tak ada hubungan apa pun antara kami, tenang saja nanti aku bantuin nyomblangin, oke. Hehehe,” tertawa sambil merangkul bahu Lisa temanku.

Lisa tersenyum malu-malu, “ Terimakasih, ya Sekar,”

Lisa memelukku saking senangnya.

Aku tersenyum lebar. Melihat Lisa tersenyum, cukup membuat hatiku senang. Apalagi, dia adalah korban dari perpisahan kedua orang tuanya.

Kami masuk kelas dan mulai menimba ilmu.

Sebulan kemudian

Saat ini aku  baru selesai belajar di sekolah kesetaraan.

“Sekar pulang bareng yuk!” Andra mengajakku.

“Aku ada perlu, kamu pulang bareng Lisa aja ya,” dengan cepat aku menuju gerbang keluar.

Tak disangka, ada seseorang yang memanggilku. Dan itu adalah Clarisa.

“Sekar!” panggilnya.

Aku menghampirinya dengan rasa heran.

“Nona Clarisa, kok ada disini?” tanyaku heran.

Aku sudah merelakan Kak Pras, meski ada sedikit rasa sakit saat bertemu Clarisa. Namun, sama sekali aku tidak membencinya.

“Ikut pulang denganku, aku ingin membicarakan sesuatu denganmu,” ujarnya dengan nada sedih.

Aku jadi heran, dia kenapa? Apa hubungannya denganku?

“Baiklah,” jawabku. Aku pun mulai mengikutinya naik ke dalam mobil.


[POV AUTHO]


Mobil melaju dengan kecepatan sedang, ke sebuah kafe elit yang ada di kota ini.

Mereka pun masuk dan duduk berhadapan.

“Ada apa?” tanya Sekar penasaran, ada apa kira-kira alasan dibalik penjemputannya oleh Clarisa hari ini.

“Makan dulu, aku tau kamu pasti lapar kan?” Clarisa tersenyum canggung.

Bertemu mantan suami pastilah canggung dan rasanya tidak enak, tapi dia butuh bantuan Sekar.

Sekar pun begitu, dia merasa kurang nyaman berduaan dengan Clarisa saat ini.

Mereka pun memesan makanan, dan mulai makan siang dalam diam.

Selesai makan, barulah Clarisa angkat suara.

“Pras masih tidak mau menerimaku, dia....” Clarisa menundukkan wajahnya, dia berusaha menyembunyikan kesedihan.

Rasa cintanya yang egoislah yang membuatnya bisa bertahan menghadapi pria dingin itu.

Sekar diam menyimak, dia takut salah bicara. Apalagi ini ada hubungannya dengan Pras, kenapa dia harus dilibatkan? Sekar merasa heran.

Karena, dirinya selalu saja dilibatkan dengan urusan yang ada hubungannya dengan Pras.

“Bisakah kamu membantuku?” tanya Clarisa, dia mendongakkan kepalanya.

Clarisa menatap Sekar lekat, penuh harap agar Sekar bisa membantunya.

Sekar apalagi, dia terkejut dengan perkataan Clarisa. Bantuan macam apa kira-kira yang diminta oleh Clarisa padanya.

Bersambung....

Terimakasih

Simak cerita mirastory lainnya 👇


Dll

Kunjungi juga Chanel YouTube resmi author mirastory 👇

1. mirastory chanel
2. mommira chanel

Salam
Mirastory

Cinta yang Terhalang TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang