20 ~ Mana Mungkin

48 2 0
                                    

Aku geleng-geleng kepala. "Tega amat sampai memikirkan adikmu seperti itu!" Ketusku, tidak terima.

"Kamu kerja apa? Hp itu harganya mahal loh? Dan dari latar pendidikanmu itu tidak akan memungkinkanmu kerja kantoran?" Kakakku sampai mengguncang lenganku dengan raut cemas.

"Kak tenang, aku kerja halal. Aku jadi asisten rumah tangga." Jawabku santai.

"Hah!"

Kak Amar terperangah, dia menatapku tidak percaya.

"Apa ini yang ngasih majikan kamu?" Tanyanya.

"Iya." Memang benarkan, tuan Dimas yang ngasih. Tapi aku sudah berjanji akan membayarnya dengan cara mencicil.

"Kamu ini, kakakmu ini bisa membelikan untukmu! Kenapa terima pemberian orang lain? Sementara selalu menolak pemberianku!" Nada bicaranya sedikit meninggi, dia terlihat marah.

"Aku akan cicil kak." Cicitku pelan, takut melihat raut wajah marahnya.

"Aku bukan orang bodoh. Mungkin kamu iya bodoh!" Ucapnya menghinaku.

Aku kesal mendengar perkataannya itu, kuremas kursi yang sedang ku duduki padahal kursi itu tidak bersalah sama sekali.

"Dengar, mana ada majikan mau memberikan barang mahal tanpa mau sesuatu! Jangan bodoh kamu! Apa dia pernah menyentuhmu?"

Aku tahu ini hanya kekhawatirannya sebagai seorang kakak. Tapi aku harus menjelaskan, tuan Dimas orang baik, dia tidak seperti yang kakakku bayangkan. Meski iya dia seorang playboy.

"Kak tenang saja, adikmu ini tidak sepolos itu juga kali. Aku tidak akan mudahnya mengobral harga diri demi uang dan barang. Terimakasih karena kakak begitu mencemaskanku." Ku genggam tangannya dengan erat, menyalurkan kasih sayang seorang adik kepada kakaknya.

"Kakak hanya cemas padamu. Lagian kalau cuma mau jadi art, ya sudah disini saja asuh Hasna, nanti kakak kasih kamu gaji yang besar." Ucapnya melembut.

"Aku hanya ingin melupakan sesuatu." Lirihku.

"Melupakan Andi?" Dia tertawa sinis.

Kok dia tahu sih, aku jadi sangat malu.

"Heran kakak tahu darimana? Beberapa hari yang lalu Andi menjenguk kakak ke rumah sakit. Saat dia sudah pulang. Ibu menceritakan kalau kamu sempat patah hati sama Andi."

Aku kok gak ketemu dia yah? Tapi kalau ketemu bagaimana dengan perasaanku nantinya?

"Saat itu kamu sedang ke rumah dulu. Kakak bersyukur kamu tidak ada, karena dia datang dengan istrinya. Dan mereka terlihat lengket."

Perkataan kak Amar membuatku sedih lagi, move on Sekar! Move on! Aku terus menyemangati diri sendiri.

"Kamu itu cantik, kakak yakin banyak pria baik yang menyukaimu. Kalau mau akan kakak kenalkan dengan kenalan kakak yang masih single, mau?"  Ujarnya dengan senyuman menggodaku sepertinya.

"Iih kaak, udah ah aku mau tidur!" Aku cepat berdiri dan meninggalkannya sendirian.

Aku masih bisa mendengar suara tawanya yang sengaja menggodaku.

Untuk saat ini aku tidak mau punya hubungan dengan siapapun titik. Tapi seandainya tuan Pras suka padaku sepertinya nggak nolak deh.

Kupukul kepalaku dengan telapak tanganku, karena pemikiran bodohku ini. Katanya nggak mau menjalin hubungan sudah pakai titik segala, tapi malah memikirkan tuan Pras.

Aku berbaring di atas tempat tidur. "Sampai lupa, tadikan ada notifikasi pesan." Gumamku pelan.

Aku sampai lupa dengan pesan yang masuk ke ponselku , ini semua gara-gara kak Amar yang terus nyerocos mencecarku.

Cinta yang Terhalang TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang