50-Rahasia Besar Wiguna

34 2 0
                                    




"Disangka paedofil, hahaha." Aku tertawa, lalu menutup mulutku ini.

"Apa?" Mata Om Wigu mendelik.

"Hey, bahkan, kamu sudah dewasa. Berapa usiamu sekarang?" tanyanya, dia terkekeh juga.

"Usiaku tujuh belas tahu, Om," Candaku.

"Ish, meski kamu cantik dan muda, tapi Om yakin kamu bukan anak SMA betulan." Om Wigu menaik turunkan alisnya.

"Hahaha, iya deh ngaku-ngaku. Aku sudah tua, sudah mau dua puluh tahun.," ucapku jujur.

Om Wigu mengusek rambutku diiringi kekehannya.

Setelahnya, dia tampak menghembuskan napas kasar. Tatapannya lurus ke depan, sebuah tatapan yang sepertinya kosong dan hampa.

"Ada apa?" tanyaku sungguh penasaran.

"Maukah kamu mendengarkan cerita gelapku di masa lalu?" tanyanya, tanpa menoleh sedikit pun kepadaku.

Tatapan matanya masih lurus ke depan.

"Tentu, katakan saja semua yang ingin Om ceritakan. Aku bisa menjadi pendengar yang baik, tenang saja aku tidak cepu, heheh." Aku sengaja menjawab dengan nada bercanda, agar suasana tidak terlalu menegangkan.

Melihat bagaimana seriusnya Om Wigu berkata, aku jadi sedikit tegang.

Aku menatap lekat wajah Om Wigu dari samping, kenapa seperti ada kesedihan mendalam dari raut wajahnya.

Aku juga begitu penasaran dengan apa yang akan di ceritakan Om Wigu, apakah itu tentang kisah masa lalunya? Tentang pengkhianatan yang pernah Om Wigu singgung saat itu, jadi siapa yang berkhianat? Om Wigu atau Istrinya?

Aku mulai gelisah dan deg-degan, menunggu apa yang akan diceritakan Om Wigu kepadaku.

Om Wigu akhirnya mulai buka suara.

“Dulu aku begitu bahagia, saat kedua orang tuaku memperlihatkan foto seorang gadis kepadaku. Gadis itu sangat manis, dengan senyuman tulus dan memiliki wajah keibuan.” Om Wigu tampak menghembuskan napas, lalu sebuah senyuman terbit dari sudut bibirnya meski tipis.

Tatapan matanya sama sekali tidak teralih, masih lurus ke depan menatap pendar lampu taman yang temaram.

Sementara itu aku diam menyimak tanpa berniat menjeda sedikit pun perkataannya.

Aku akan bicara, jika memang dibutuhkan.

“Dia adalah Elly, kami dijodohkan. Inilah kehidupan kami, dalam keluarga kami memang sering melakukan perjodohan untuk memperkuat jalinan bisnis,” lanjutnya.

Kali ini, aku bisa melihat Om wigu mendesah gusar.

“Aku dan Elly dipertemukan dalam sebuah acara makan malam yang mengundang semua kolega bisnis. Dalam acara itu, kami di umumkan sebagai sepasang kekasih dan akan segera menikah dalam waktu dekat. Jujur, aku sangat terkejut saat itu, karena kupikir hanya baru perkenalan saja,” ucapnya, dengan nada suara yang terdengar sedih.

“Aku bisa melihat raut wajah terkejut Elly saat itu, dia bahkan menatapku dengan tatapan seakan memintaku untuk menolaknya,” lanjutnya.

Aku masih diam menyimak dengan antusias.

“Tapi nyatanya, aku tidak melakukan itu. Aku sudah suka padanya sejak pertama kali melihat fotonya, jadi aku memilih egois dan menerima hal itu.” Aku melihat sebuah senyuman samar dari sudut bibirnya, tapi kenapa aku merasakan ada kesedihan dari senyumannya itu.

"Hingga akhirnya, pernikahan pun terjadi. Awal pernikahan yang dingin, karena tak ada cinta diantara kami. Lebih tepatnya, aku bertepuk sebelah tangan.” Om Wigu menundukkan kepalanya sebentar, lalu kembali mengangkat kepala dan menatap lurus ke depan kembali.

“Dia memang wanita yang baik, tidak pernah menolak untuk kusentuh meski aku tau, dia tidak mencintaiku.” Om Wigu mengusap udut matanya, yang kuyakini kalau dia sedang meneteskan air mata meski setitik saja.

“Dia wanita baik, lembut dan ceria. Saat itu dia masih kuliah, saat kami menikah. Dia sedang di tahun terakhirnya. Dia kuliah di inggris,” lanjutnya.

“Demi rasa cintaku kepadanya, aku membebaskannya kembali kuliah di sana, meski hati ini rasanya berat. Dan, kami melakukan hubungan jarak jauh.” Om Wigu menghembuskan napas kasar.

“Aku selalu bersabar, menunggunya dan mencintainya. Aku bahkan harus bersabar, karena hanya bisa menghubunginya seminggu dua kali saja. Dia selalu beralasan sibuk belajar,” desahnya, diiringi senyuman tipis yang getir.

“Dan semua bencana mulai dari saat dia lulus kuliah,” lanjutnya gusar.

Aku menatapnya kembali dengan intens dari samping, penasaran dengan kelanjutan ceritanya.

“Setelah pulang dari inggris, aku memutuskan untuk membawanya pindah ke rumahku. Rumah yang sengaja aku beli untuknya, meski awalnya dia tidak mau. Tapi setelah, susah payah aku bujuk, akhirnya dia mau. Kami tinggal berdua.” Om Wigu mendongakkan kepalanya, menatap langit hitam pekat yang dipenuhi bintang.

“Elly yang baik, cantik dan selalu ceria membuat para pria banyak yang menatapnya dengan tatapan kagum dan suka. Aku benci hal itu!” kali ini, dia berkata dengan berapi-api. Mungkin, terbawa suasana hatinya sendiri.

Hingga, aku mulai semakin posesif dan tidak membolehkannya keluar rumah, kecuali denganku,” lanjutnya, membuatku merasa kesal juga jika membayangkan jadi Elly.

Terlalu dikekang, pastinya terasa sangat tidak nyaman.

“Aku sama sekali tidak tau, kalau ternyata dia merasa terkekang, merasa tersiksa, merasa dikurung olehku,” Kulihat sekilas, tatapan matanya menajam penuh amarah.

Entah marah kepada diri sendiri, atau marah kepada istrinya itu.

“Dia bukanlah gadis rumahan, dia gadis yang bebas. Apalagi, pernah sekolah di luar negeri yang terkenal bergaya hidup lebih bebas.” Om Wigu, melihat ke arahku.

Dia menatapku cukup lama, hingga aku salah tingkah, karena merasa bagaimana gitu.

Mungkin, merasa risih.

“Om, jangan melihatku seperti itu!” dengan cepat, aku memalingkan wajah ke arah lainnya, kudengar Om Wigu terkekeh pelan.

Lalu, dia kembali melanjutkan ceritanya.

“Hingga suatu ketika, aku tanpa sengaja melihatnya sedang berbincang dengan seorang pria di sebuah restoran, saat aku akan meeting. Rupanya, dia masih suka keluar tanpa sepengetahuanku,” tertawa, tapi tawanya penuh kemarahan.

“Aku menyelesaikan meeting, lalu mencarinya di tempat sebelumnya. Kebetulan mereka masih disana, dan aku menghampirinya. Dia beralasan mereka berteman, dan aku memaafkannya.”

“Namun, di rumah aku begitu murka. Aku marah, karena dia melanggar peraturan yang aku buat. Maka aku, mulai menyiapkan seseorang untuk menjaganya. Agar, dia tidak bisa keluyuran. Tapi...,” Om Wigu menjeda ucapannya.

Aku jadi semakin penasaran, dengan apa yang akan dia katakan selanjutnya.

“Tapi, rupanya apa yang aku lakukan adalah kesalahan besar,” sorot matanya kembali menajam.

“Aku memperkerjakan teman Pras, untuk menjadi pengawalnya, untuk menjaganya. Pria itu tampak baik, dan mudah akrab dengan Elly, tanpa aku curiga sedikit pun. Apalagi, pria itu begitu cerdas, dia teman Pras masa SMA, kakak kelasnya."

Deg, mendengar kata teman Kak Pras kenapa membuat hatiku cemas ya? Kenapa seketika aku jadi ingat Kak Amar kakak ku!

Dengan was-was aku terus mendengarkan ceritanya.

“Dia sangatlah pintar, hingga aku memperkerjakannya sebagai asisten keduaku. Membantu setiap pekerjaanku di kantor, hanya saja dia mengerjakannya dari rumah, sambil menjaga Elly. Tak kusangka...,” kembali menjeda ucapannya.

Aku bisa melihat, dia menundukkan wajahnya. Tangannya terkepal kuat, hingga buku-buku tangannya memutih.

“Om, jika hal ini membuatmu terluka. Ceritakan saja lain kali.” Kusentuh bahunya pelan, maksudku untuk menenangkan.

Tanpa kuduga, dia memelukku dan menundukkan wajahnya di bahuku. Bisa kurasakan bahunya bergetar.

Mungkin, Om Wigu menangis.

Aku menghembuskan nafas sepelan mungkin, ada pria memelukku, hal ini sungguh membuat jantungku berdegup tak karuan.

Baiklah, hanya kali ini saja kubiarkan. Hanya sekedar menjadi tempat bersandar, untuk pria yang tengah rapuh saat ini.

Kutepuk-tepuk punggungnya dengan lembut. “Om  bisa menumpahkan semuanya padaku. Tenanglah, laki-laki juga boleh nangis kok sesekali,” ucapku embut.

Cukup lama, dia dalam posisi itu. Hingga setelah beberapa saat, dia mengangkat kepalanya.

Menyeka air mata di pipinya. Lalu tertawa pelan, “Maaf kamu harus melihat aku yang cengeng,” ucapnya malu-malu.

Aku tersenyum, “Nggak apa-apa Om ini wajar. Sebagai manusia, kita pasti pernah pada suatu kondisi dimana merasa sangat rapuh,” tuturku.

“Maaf,” katanya lagi.

“Untuk?” heran.

“Karena sudah memelukmu tanpa izin,” jawabnya, tampak raut penuh sesal dari wajahnya.

“Hanya kali ini saja ya, selanjutnya nggak boleh!” ucapku dengan nada marah yang hanya bercanda saja.

Om Wigu tertawa pelan, sambil mengangguk. Dia mengubah posisi duduknya, kembali lurus dengan tatapan mata lurus ke depan.

“Istriku dan dia berselingkuh, awalnya aku tidak percaya. Karena setahuku, dia sudah menikah dan memiliki anak yang masih bisa dibilang bayi, hahahah mereka sungguh keterlaluan!” Om Wigu tertawa dengan mata berderai.

Mendengarnya, aku sampai merasakan sakit seperti yang Om Wigu rasakan juga sepertinya.

Dikhianati, oleh seseorang yang begitu kita percaya pastilah akan sangat menyakitkan.

“Hingga, akhirnya aku menyelidikinya lebih dalam, dan ternyata Elly dengan dia pernah satu kampus dulu, bahkan mereka berteman baik. Kenyataan pahit yang paling menyakitkan adalah, ketika dia mengakui kalau dia mencintainya sejak lama, dan tersiksa setiap bersamaku. Dia....”

Om Wigu terdiam sesaat, menghela napas kasar dan memosisikan diri menghadap ke arahku.

Aku balas menatapnya penuh rasa iba, “ Jangan kasihan padaku sekar,” ucapnya lirih, matanya memerah penuh kesakitan.

"Mungkin aku adalah pria bodoh, yang terlalu mencintai wanita yang bahkan tidak pernah bisa mencintaiku. Aku pecundang yang baru tau hubungan gelap mereka setelah....”

Om Wigu menggenggam tanganku erat, sangat erat. Bahkan, dia meremas jemariku cukup kuat.

“Om,” lirihku dengan mata menatapnya.

“Elly hamil anaknya,” ujarnya.

Aku terkejut, saking terkejutnya aku sampai membulatkan kedua mataku dan mulutku sampai menganga untuk sesaat.

Sejauh itukah, istri Om Wigu berani berkhianat. Betapa sakit hati Om Wigu, aku bisa ikut merasakannya.

“Mungkin Om Salah sangka, apa Om tidak mencari tau kebenarannya dulu?” tanyaku hati-hati, takut kalau dia tersinggung.

“Aku pun berharap begitu, aku akan memaafkannya andai itu salah sangka. Aku rela memaafkannya, karena aku mencintainya. Tapi, kenyataannya sungguh pahit. Aku melakukan tes DNA pada bayi baru lahir itu, dan hasilnya...,” menjeda perkataannya untuk menghembuskan nafas kasar.

Aku jadi menahan napas saking tegangnya.

“Hasilnya positif, anak itu anak selingkuhannya. Hahaha...aku kecolongan, mereka terlalu jauh berhubungan...,” lanjutnya dengan tawa miris penuh kemarahan.

“Si siapa nama pria itu?” tanyaku was-was, aku berharap dugaanku salah.

Om Wigu menatapku lekat, tangannya masih menggenggam tanganku erat.

“Untuk apa kamu menanyakannya? Toh kamu juga tidak akan kenal dia, lagian aku sangat malas menyebutkan nama si brengsek pengkhianat itu!” jawabnya ketus berapi-api, aku paham hal itu. Dia pasti terlalu marah dan benci padanya, orang yang sudah mengkhianatinya.

Aku memilih diam.

“Kamu tau siapa anak mereka?” menatapku lekat dan dalam.

“A Aura?” tebakku, semoga saja salah.

“Kamu benar,” jawabnya lirih.

Lagi-lagi aku terkejut mendengarnya.

“Kenapa Om mau merawatnya, padahal hati Om terluka?” tanyaku penasaran.

“Aku marah pada Elly, benci pada dia. Tapi, anak itu tidak berdosa. Aku selalu sedih saat melihat wajah Aura, sedih bercampur sakit hati. Meski berusaha berdamai dengan masa lalu, tetap saja ini terlalu menyakitkan!” tuturnya lagi.

“Apa Om menyayangi Aura?” tanyaku penasaran.

“Kamu bercanda ya Sekar, tentu aku menyayanginya seperti anakku sendiri. Dia adalah sumber penyemangat hidupku setelah kedua pengkhianat itu pergi, meski terkadang dia selalu mengingatkan akan sakit hatiku ini.” Om Wigu melepaskan genggaman tangannya.

“Om sungguh orang yang sangat baik dan berhati lembut, sehingga bisa menerima Aura sepenuh hati. Aku yakin, Om akan menemukan wanita baik untuk menjadi pendamping hidup Om nantinya,” ujarku serius.

Om Wigu terkekeh pelan sambil geleng-geleng kepala, “ Entahlah, rasanya aku sudah malas berhubungan dengan wanita lagi. Aku takut terjadi hal yang sama, aku takut jatuh cinta lagi dan aku takut menikah lagi,” ucapnya diiringi embusan napas kasar.

“Termasuk, jika aku wanitanya?” tanyaku, yang hanya menggodanya saja. Bercanda.

Om Wigu menatapku lekat, menyondongkan tubuhnya dan mendekatkan wajahnya, hingga mengikis jarak diantara kami.

Aku terkejut, tubuhku gemetaran. Dia mau apa?

“Apa kamu mau menikah denganku?” tanyanya dengan mata menyipit, “Menjadi mamanya Aura? Dia akan sangat senang,” lanjutnya, membuatku terkejut.

Embusan nafasnya terasa hangat menerpa kulit wajahku, dengan cepat aku menjauhkan tubuhku sedikit. Mengatur ritme jantung dan debaran aneh di dalam hatiku yang tiba-tiba terasa begitu kuat.

“Jadi kamu hanya bercanda ya?” tanyanya dengan nada sedih, aku tau dia sedang menggodaku saja.

“Om sudah malam, antar aku pulang!” rajukku.

“Baiklah, ayo!” Om Wigu berdiri, menarik tanganku agar aku ikut berdiri juga.

Kami berjalan bersisian menuju tempat parkir.

Hingga, suara seseorang yang aku kenal tiba-tiba saja menyapa.

“Sekar!”

Aku terlonjak kaget melihatnya. Apalagi saat ini, aku masih membiarkan Om Wigu menggenggam tanganku erat.

Dia menatap ke arah tangan kami yang tertaut.








Bersambung....

Simak juga karya mirastory lainnya 👇


Terimakasih atas dukungannya

Salam

Mirastory

Cinta yang Terhalang TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang