42- Cerita Om Wiguna

45 1 0
                                    

Selamat Membaca


“Saya ada pekerjaan di Kota J, apakah kamu bisa membantu saya menjaga  Aura untuk sementara waktu? Soalnya dari tadi dia merengek mau sama kamu.” Om Wiguna berkata dengan tak enak hati sepertinya.

Aku bingung juga sebenarnya, besok aku akan pergi dari rumah ini.

“Om…,” karena merasa tidak enak hati, aku tidak melanjutkan perkataanku.

“Tidak bisa ya?” raut wajahnya terlihat kecewa begitu, ah aku jadi tidak enak begini kan.

“Bukan begitu, tapi besok rencananya saya akan pergi dari sini. Kakak saya akan datang untuk menjemput kemari,” jawabku.

Om Wiguna tampak diam sejenak, lalu dia tersenyum menawan. “Bagus jika kamu pergi dari sini, itu akan lebih baik. Kamu harus move on dan tidak boleh ada di bawah bayang–bayang Pras,” ujar Om Wiguna. Ternyata dia menyetujui rencanaku ini.

“Kalau begitu bagaimana dengan Aura?” tanyaku, aku bukannya tak mau mengasuhnya. Tapi, besok pasti aku sibuk saat pindahan.

“Kamu bawa aja dulu ke rumah baru kamu nanti, lalu kamu share lokasinya. Setelah urusanku beres di Kota J, aku akan segera menjemputnya.” Aku makin bingung dengan pemikiran Om Wiguna, kenapa tidak diberikan kepada mamanya saja sih.

“Om kenapa tidak titip Aura sama mamanya saja? Kemana dia? Apa dia wanita karir?” karena penasaran, akhirnya aku bertanya.

“Mama udah jadi bintang, jadi nggak bisa lagi main sama aku.”  Aura tiba–tiba saja menyahut dengan polosnya.

Deg

Aku langsung menatap Om Wiguna penuh rasa bersalah. Karena, sudah menanyakan hal ini. Pantas saja, dia terlihat beberapa kali sedih saat aku menanyakan tentang istrinya itu. Ternyata, dia sudah meninggal.

“Om,”  mataku menangkap kecewa dan luka dari sorot mata Om Wiguna, apa ini adalah ekspresi kehilangan sang istri? aku sungguh harus minta maaf kepadanya.

“Maaf saya tidak tahu, kalau…,” tidak aku lanjutkan perkataanku.

Om Wiguna menatapku lekat dengan tatapan yang tidak bisa aku pahami

“Suatu hari nanti akan aku ceritakan padamu, tapi tidak sekarang.” Om Wiguna tampak menghela nafas dalam.

Kami memang belum sedekat itu, sehingga dia akan bercerita tentang hidupnya padaku. Tapi, jujur aku sungguh kepo, sungguh ingin tahu. Terutama saat melihat kesedihan dan kekecewaan dari netranya.

Hari ini, aku kembali menjaga Aura. Om wiguna sudah minta izin kepada Bu Mila.

Sedangkan Om Wigu bersama yang lainnya sibuk mendiskusikan sesuatu. seperti yang dikatakan Om wigu, besok dia akan ke Kota J selama tiga hari untuk urusan pekerjaan.

Aku membawanya bermain di ruang baca, sambil mengajarinya menggambar. Aku juga menyuapinya, memandikan dan mengajaknya tidur siang.

Ah seperti ibunya saja aku ini.

Hari ini rasanya sungguh lelah, meski kerjaanku cuma mengasuh balita usia empat tahunan ini.

waktu sudah menunjukkan jam sembilan malam, Aura sudah dibawa papanya sejak lewat magrib tadi.

Mataku rasanya berat sekali, akhirnya aku tidak ingat apapun lagi.

Kring kring terdengar suara nada dering di ponselku.

Dengan menahan kantuk aku mengambil ponselku yang tergeletak di sampingku.

Hoamm, aku menguap. Ternyata waktu menunjukkan jam satu dini hari.

Cinta yang Terhalang TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang