5 ~ BERTEMU TUAN DINGIN

111 7 0
                                    

Aku masih telungkup di atas tempat tidur sambil terisak-isak.

"Mi, itu ada uwa Diah jauh -jauh dari kota ingin ketemu kamu dulu. Besok mau pergi lagi katanya, ayo temui dulu walau cuma sebentar." Terdengar suara ibuku berbicara dari balik pintu.

Aku masih menyembunyikan wajahku dibawah bantal sambil terisak. Mendengar nama uwa Diah, aku langsung bangkit dan duduk.

Kuseka air mata yang membasahi pipiku, kutarik nafasku dalam-dalam dan ku hembuskan perlahan.

Aku merapikan rambutku yang berantakan dan menempel di pipi akibat tangisanku tadi.

Ceklek

Ku buka pintu kamar.

"Uwa? Ada uwa Bu?" Tanyaku lirih, aku memang cukup akrab dengannya. Dia bekerja menjadi kepala pelayan di kota. Hanya sesekali pulang, dan dia selalu menyempatkan mampir ke rumahku.

Uwa Diah adalah kakak dari ibuku.

"Iya uwa. Uwa Diah. Ayo cuci muka dulu, lalu temui dia." Ibu membelai kepalaku lembut.

Aku memeluk ibu dan menyurukkan wajahku di dadanya.

"Sabar Mi, mungkin ini jawaban dari shalat istikharah mu itu. Andi bukan jodohmu." Ujar ibu lembut.

Aku menjauhkan tubuhku sedikit, dan menganggukkan kepalaku pelan. "Iya, tapi rasanya sakit Bu." Lirihku.

"Kamu ini, belum juga terlalu dekat sudah bucin." Ibu menggelengkan kepalanya.

Aku cuma manyun, sambil melengos pergi menuju kamar mandi yang berada di dekat dapur.

"Cepetan, ibu tunggu di depan ya!" Kudengar ibu berkata, sebelum aku menjauh.

Ruang Tengah

Aku segera ke ruangan dimana ibu, bapak dan uwa ada disana. Aku tersenyum ceria dan menyapa uwa ku itu.

"Uwaa!" Pekikku, sambil memeluknya.

"Uwa...,udah lama uwa datang?" Saat aku sudah duduk disampingnya.

"Iya, udah lama tapi kamu baru muncul" Kata uwa Diah dengan raut wajah kesalnya. Tetapi, aku tahu kalau Sepertinya dia hanya bercanda saja.

"Maaf." Ucapku sedih, sedih jika ingat penyebab aku terlalu lama di kamar. Kak Andi, dia penyebab kesedihanku.

"Hahah, uwa cuma bercanda sayang." Dia tertawa.

"Kamu makin besar makin cantik saja, Ami." Uwa membelai rambut panjangku yang sudah aku kuncir satu dibelakang.

"Terimakasih, uwa." Lirihku.

"Kamu kenapa? Apa benar kamu patah hati?"

Aduh malunya, pasti ibu deh yang gosip.

"Hemmm, siapa bilang." Ucapku malu.

"Itu apa sampai meraung-raung di kamar." Ledek bapak.

Aku mencebikkan bibirku, kesal diledek bapak. Bapak seperti mengingatkanku lagi kepada kak Andi, tuh kan mataku mulai menghangat lagi. Sekuat hati ku tahan agar air mataku tidak tumpah.

Apa-apaan coba, aku bahkan belum menjalin hubungan dengannya. Tetapi sudah sesedih ini.

"Kenapa Mi? Kok murung gitu, wajahmu yang cantik jadi jelek tuh." goda uwa Diah. Aku menghela nafas, lalu memaksakan tersenyum. Entah seperti apa hasilnya, aku tidak tahu.

"Udah sayang. Uwa udah denger semuanya, dari ibu dan bapak mu. Daripada kamu sedih disini lebih baik ikut uwa ke kota. Bagaimana mau?" Ujar uwa antusias.

Aku menatapnya dengan mata berbinar, sepertinya ide untuk ikut ke kota dengan uwa sangat bagus untuk melupakan kesedihanku ini.

"Siapa tahu di sana kamu lebih tenang dan bisa melupakan kesedihanmu itu." Lanjut uwa Diah.

Cinta yang Terhalang TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang