Dia adalah Om Wiguna, untuk apa dia kembali lagi kesini? Tapi syukurlah, karena kehadirannya membuat Kak Pras berhenti.
“Ini bukan urusanmu Om!” ketus Kak Pras.
“Jelas ini urusanku, kamu sudah menikah. Pergilah ke pelaminan, kasihan Clarisa menyambut tamu sendirian!” Om Wigu berkata tegas.
Kak Pras mendengus kesal, melirikku sekilas. Lalu pergi.
“Terimakasih Om,” ujarku.
Kami saling bersitatap.
Om Wigu menatapku dingin, lalu pergi meninggalkanku.
Aku hanya mengembuskan napas gelisah.
Melihat sikap dinginnya padaku, membuat hatiku sedih.
Kutatap punggung Om Wigu, sampai menghilang dari pandanganku.
Setelah beberapa saat aku terdiam di tempat, kulangkahkan kakiku ini menuju tempat dimana Kak Amar dan Andra berada.
Dari kejauhan, aku melihat Andra sedang berbincang dengan seseorang. Tapi, itu bukan Kak Amar. Mungkin, temannya.
Kuhampiri Andra, temanku itu.
“An, bukankah tadi Kak Andra bersamamu? Kemana dia?” tanyaku, aku mengangguk sedikit pada teman Andra.
Teman Andra tersenyum tipis, dan sedikit menganggukkan kepalanya.
“Tadi Kak Amar berbicara dengan Om Wiguna. Nah, itu mereka!” Andra menunjuk ke suatu arah.
Aku melihat ke arah yang Andra tunjukan tadi. Hatiku berdebar kuat, dan jantungku seakan berhenti berdegup.
Tanpa berkata-kata, aku melangkahkan kaki ku lebar-lebar menuju ke tempat Kak Amar dan Om Wigu bicara.
Sungguh aku takut mereka bertengkar.
Kulihat mereka melangkahkan kaki dengan langkah cepat, menuju ke arah keluar dari hotel ini.
Aku tak mau kehilangan jejak, kuikuti terus mereka dengan setengah berlari.
Ah, rasanya sangat lelah. Apalagi, aku memakai sepatu hak tinggi. Ya meski tingginya hanya tiga senti saja, tapi bagiku ini melelahkan.
Karena sebelumnya, aku tidak pernah memakai sepatu hak tinggi. Aku lebih suka memakai flat shoes atau sepatu kets biasa.
Aku celingukan, langkah kaki ini membawa ke arah belakang hotel.
“Dimana kalian!” keluhku, kaki ini sudah pegal rasanya. Air mata pun rasanya hampir menetes.
Padahal dulu waktu di desa, aku tak masalah jalan jauh. Aku bahkan setiap hari pergi ke kebun membantu kedua orang tuaku.
Mungkin, ini akibat dari kurang gerak. Jarang olah raga!
Kuhembuskan napas pelan, sambil menyandarkan punggung pada dinding.
Tanpa sengaja, ekor mataku menangkap dua orang yang sedang saling bersitegang sepertinya.
Mereka yang dari tadi aku cari-cari, disana rupanya mereka.
Dengan setengah berlari, aku menghampiri mereka.
Om Wigu tampak emosi, rahangnya mengeras dan tangannya terkepal.
Aku bisa melihatnya, karena kini jarakku semakin dekat.
Mereka sepertinya, tidak sadar akan kedatanganku.
Sedangkan kakakku tampak tertawa sinis. Dia sepertinya, sudah memprovokasi Om Wiguna.
Om Wigu terlihat mencengkeram kerah baju kakakku
Aku panik, sungguh takut. Takut mereka berkelahi.
“Om!” teriakku panik.
Mereka menoleh ke arahku.
Om Wigu melepaskan cengkeraman tangannya, dari kerah kakakku.
Tapi, raut wajahnya masih terlihat jelas penuh emosi.
Aku langsung menarik tangan Kak Amar, agar sedikit mundur ke belakang.
Aku berdiri di tengah-tengah, diantara kedua pria yang terlihat tengah emosi itu.
Aku berusaha menengahi mereka. “Ini ada apa sebenarnya? Kenapa kalian bertengkar?”
Aku menatap mereka bergantian.
Aku bisa melihat tatapan mereka sedikit melembut.
“Dia yang mulai duluan!” Kakakku berkata sengit.
“Ck ck kakakmu itu yang selalu membuatku emosi!” ujar Om Wiguna, tak kalah ketusnya.
Sekarang ini kita sedang menghadiri pestanya Kak Pras, apa pantas kalian malah bertengkar begini? Kalian seperti anak-anak!” ketusku, berapi-api.
Aku bahkan menaikkan intonasi bicaraku, sehingga setengah membentak.
Om Wigu dan Kak Amar tampak kaget. Mereka menatapku dengan tatapan penuh keterkejutan.
Mungkin terkejut mendengar aku yang membentak mereka, padahal biasanya aku berkata dengan lembut dan ceria.
Jangankan mereka, aku sendiri merasa terkejut. Karena bisa berkata dengan nada membentak begitu.
Sebelumnya, mana pernah aku bicara dengan nada tinggi seperti ini.
“Astagfirullah hal Adzim.” Aku beristigfar beberapa kali dalam hati.
“Emm, maaf,” ucapku pelan, aku merasa bersalah dan malu.
Mereka tidak ada yang menjawabku, raut wajah mereka sama-sama dingin.
“Apa kalian tidak ingin berdamai? Itu akan lebih baik, daripada kalian bertengkar terus, hati kalian tidak akan tenang.” Aku menatap mereka bergantian, ingin melihat bagaimana perubahan raut wajah mereka.
“Terlalu sulit untuk aku bisa melupakan semua luka, yang telah kakakmu torehkan dihatiku Sekar!” Om Wigu berkata dingin, lengkap dengan nada bicara penuh penekanan meski pelan.
Lalu. Om Wiguna melengos pergi meninggalkan kami.
“Om!” panggilku.
Tapi, dia terus melangkahkan kakinya tanpa menoleh padaku sama sekali.
Pria hangat dan selalu tersenyum manis itu, kini berubah dingin dan datar.
Dia tak lagi mau menatapku sama sekali.
Hati ini tiba-tiba saja berdenyut nyeri, kenapa? Ada apa denganku? Apa karena aku merasa sangat bersalah atas apa yang telah kakakku ini lakukan padanya di masa lalu?
“Sekar!” Kakakku memanggil.
Aku menoleh kepadanya.
“Sudah kubilang jangan dekat-dekat dengannya,” ujar kakakku dingin, dia menatapku dengan raut wajah yang terlihat sedih.
Kuhela napasku pelan.
“Aku butuh penjelasanmu kak!” Kutatap kakakku lekat, dia mendesah, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Kak! Ceritakan semuanya dengan jujur. Agar, aku paham. Aku tidak mau hanya mendengar cerita dari versi Om Wigu saja,” ujarku dingin, aku agak marah padanya sebenarnya.
Tak menyangka, kalau ternyata kakakku seorang pebinor, yang sudah merusak kehidupan rumah tangga Om Wiguna.
Kak Amar mengerutkan dahinya. “Dia menceritakan apa saja padamu?” tanyanya penasaran sepertinya.
Mungkin merasa aneh atau tidak percaya, kalau Om Wiguna mau menceritakan masa lalunya padaku.
Aku bukanlah siapa-siapanya!
“banyak, dia menceritakan banyak hal padaku. Tentang masa lalunya. Tentang sebuah pengkhianatan, dan aku baru tau kalau orang yang dimaksud Om Wigu adalah kakakku sendiri.”
Aku menatap kakakku itu dengan tatapan penuh kesedihan dan penuh sesal.
Menyesalkan, pengkhianatan yang telah dia lakukan itu, sehingga menorehkan luka dihati Om Wigu.
“Raut wajah kakakku tampak muram. Dia balas menatapku lekat dengan sorot mata penuh kesedihan.
"Semuanya tidak seperti yang kamu pikirkan Sekar," desah Kak Amar.
"Kalau begitu ceritakan semuanya padaku kak, agar aku tahu apa yang sebenarnya terjadi." Kutatap kakakku lekat, dengan tatapan penuh harap.
Dia mengangguk pelan. “ Kakak akan menceritakan semuanya padamu Sekar. Tapi nanti, karena sekarang kita harus memberikan selamat kepada Pras dan istrinya dulu.
Kak Amar menggenggam tanganku, seperti seorang ayah yang sedang menuntun putri kecilnya saja.
Aku mendengus. “Kak, aku sudah dewasa. Tidak perlu menuntunku seperti ini segala,” ujarku sambil mengerucutkan diri.
“Tapi bagiku, kamu tetap anak kecil. Apalagi ada Wiguna,” desahnya dengan nada yang sepertinya cemas.
“Om Wigu memang punya masalah denganmu Kak, tapi dia baik-baik saja denganku.” Aku membela Om Wigu, karena dia memang baik selama ini.
Meski setelah tau kenyataan, kalau aku adiknya Kak Amar, dia berubah dingin dan seperti yang sedang menghindariku.
Kak Amar menghentikan langkahnya, membuatku ikut menghentikan langkahku juga.
“Apa kamu sedang membelanya?” tanyanya tidak suka.
Dia menatapku dengan tatapan tajam dan penuh selidik. “ Kamu menyukainya?” lanjutnya.
“Huuuh, apaan sih kak. Aneh pikiranmu itu, mana mungkin aku suka Om Wigu!” ketusku dengan jengkel, karena kakakku itu sepertinya tidak percaya perkataanku.
“Tapi kamu terlihat sedang menyukainya,” makin memojokkanku.
“Tidak!” jawabku datar dan tegas.
“Baguslah kalau tidak, karena kakak tidak akan setuju, mana mau punya adik ipar pria dingin seperti dia!” ujar kakakku itu dengan tegas.
Pria dingin? Aku jadi memikirkan perkataannya. Selama aku mengenalnya, Om Wigu adalah pria hangat, lembut dan baik. Tidak ada dingin-dinginnya sama sekali.
“Ayo! Cepat jalan!” Kak Amar menarikku kembali, agar berjalan dengan cepat.
Di sepanjang perjalanan menuju ke ballroom, kami sama sekali tidak bicara lagi sedikit pun.
Aku begitu sibuk dengan pikiranku sendiri, tentang kata-kata kak Amar yang mengatakan kalau Om Wigu adalah pria dingin.
Aku juga sedang memikirkan tentang masa lalu seperti apa, sehingga membuat hubungan Kak Amar dengan Om Wigu begitu buruk.
Memikirkan alasan dibalik pengkhianatan yang dilakukan kakakku itu dengan istrinya Om Wigu.
Kami pun sampai di ballroom.
“Ayo!” Kak Amar mengajakku menghampiri mempelai.
Kak Pras sudah menatapku intens dari tempatnya berdiri. Dia begitu tampan dan terlihat maskulin,
Sedangkan Clarisa, dia begitu cantik dalam balutan gaun pengantin warna putih bertabur mutiara itu.
Mereka begitu serasi.
Aku terus menghela napas panjang dan pelan.
Tenanglah Sekar! Tenang! Aku berusaha menenangkan diriku sendiri.
“Tenanglah Sekar, kakak yakin kamu bisa!” rupanya Kak Amar bisa merasakan kegelisahanku.
“Heheh, apaan sih. Aku tidak apa-apa kok! Aku kan udah move on,” tertawa kecil, yang sebenarnya untuk menutupi kecemasanku saja.
“Halah kakak tau, kalau kamu sekarang sedang cemas,” tertawa mengejekku.
Aku tidak menyahutnya lagi, karena kami sudah sampai di hadapan pengantin.
Kami naik ke panggung tempat mereka berada.
Kak Amar menyalami Kak Pras, bahkan memeluknya. Tidak lupa mengucapkan selamat, atas pernikahan mereka.
Lalu menyalami dan mengucapkan selamat kepada Clarisa.
Sedangkan aku, masih diam mematung sambil menghembuskan napas dan menata hatiku yang masih terasa berdenyut hebat.
Ternyata, menghadiri pernikahan mantan begitu menyesakkan dada.
Dari sini aku baru sadar, ternyata aku belum sepenuhnya move on.
“Aku masih mencintaimu Kak Pras,” raungku dalam hati.
“Sekar!” Kak Amar menarik tanganku. “Ayo ucapkan selamat,” katanya dengan nada kesal.
Aku mengedipkan mata beberapa kali. Sempat bingung sebentar, kuhembuskan napas kasar.
Lalu segera menyalami Clarisa, dan tersenyum tulus padanya.
“Selamat ya Clarisa, semoga kalian bahagia selalu dan langgeng sampai tutup usia,” mengulurkan tanganku, diiringi senyuman.
Clarisa menatapku tidak suka, sedetik kemudian, dia mengubah raut wajahnya menjadi lebih ramah. Meski masih terkesan terpaksa.
Clarisa menerima uluran tanganku, dengan senyuman terpaksanya itu.
“Terimakasih,” ucapnya sedikit dingin.
Aku paham rasa tidak sukanya padaku. Aku adalah mantan kekasih suaminya, terlebih Kak Pras masih menunjukkan perasaannya padaku secara teran-terangan.
Aku hanya berusaha tersenyum ramah.
Kak Amar menungguku di samping Kak Pras.
Aku menghampiri Kak Pras. “ Selamat Kak atas pernik...,” belum sempat aku melanjutkan perkataan. Kak Pras tiba-tiba saja memelukku dengan erat.
Aku sungguh terkejut luar biasa. Berusaha melepaskan pelukannya itu.
Dia malah mengeratkan pelukannya dan membisikkan sesuatu kepadaku.
“Maafkan aku Sekar, maukah kamu memaafkanku? Aku mohon tunggulah aku. Jangan berpaling dariku untuk pria mana pun, apalagi Om Wiguna. Kumohon tetaplah mencintaiku.” Dia bahkan menitikkan air matanya, hingga terasa membasahi bahuku.
Aku diam untuk sesaat, hatiku pun terasa sakit berdenyut-denyut.
Hingga suara seseorang yang terdengar marah, meski pelan.
“Sekar!” nada suaranya penuh penekanan, dia bahkan menarik tanganku dengan kuat.
Hingga, pelukan kami terurai.Bersambung...
Cek cerita lainnya mirastory 👇
Terbit di Joylada 👇
Cek Chanel YouTube resmi mirastory 👇
1. Mirastory Chanel
2. Mommira chanelTerimakasih
Salam
Mirastory

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang Terhalang Takdir
RomanceMenjadi Janda di usia muda bukanlah keinginannya, tapi nyatanya itu terjadi pada Sekar. Hingga sosok Andi membuatnya jatuh hati, namun kembali ia patah hati. Merantau ke kota untuk move on dari Andi. Namun kisah cinta yang rumit kian menanti. Pras s...