Bab 5

157 37 4
                                    

Sebagian dari diri Kethra tertawa terbahak-bahak, mengejeknya kenapa mengurusi hal ini. Hujaman itu terlalu menyakitkan, menyadarkan bahwa dia sangat tak menginginkan hal ini. Dia tak ingin dilanda gelombang ketidakpastian.

Warren menggamit tangannya, menyalurkan kehangatan khas kakak yang membuatnya bersandar pada pria itu. "Kau putri keluarga ini, Kethra. Tak ada yang bisa mengubah itu."

Bibir Kethra terasa kelu. "Jika ternyata aku anak haram, apakah itu akan mengubah segalanya?" Dia takut jika keluarga ini tak menerimanya. Perasaannya sudah tumbuh terlalu besar, dia tak siap menerima hukuman karena membiarkannya tumbuh begitu saja.

Kenapa perasaan kasih sayang saja tak pantas dia rasakan?

Dia menggigit bibir karena pemikiran itu.

Warren mengusap rambut adiknya, kemudian menciumnya. Kethra terbelalak karena perlakuan itu, merasakan hatinya membuncah dan perutnya tergelitik seperti dikerubungi ribuan kupu-kupu. Senyuman Warren mengembang, menelusup ke celah-celah terdelam di darah Kethra. Mengirim sentakan laiknya listrik yang menjalar di kabel-kabel tembaga.

"Berhenti memikirkan hal yang tidak-tidak. Kau adikku, kau putri Ayah, kau adalah bagian Chandier. Entah rumor itu benar ataupun tidak, tapi yang kukatakan tadi adalah kepastiannya." Warren, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, mencium dahi Kethra.

Perut Kethra terasa dibalikkan karena kesenangan yang membuncah. Pipinya memerah, membuat Warren dan Vaeril terkekeh. Gadis yang sangat dingin seperti kutub kini memerah karena curahan kasih sayang keluarganya. Itu menularkan perasaan menghangat di antara mereka.

Vaeril pindah di samping Kethra, mengacak-acak rambut anak bungsunya. Iseul mencetak senyum manis di bibirnya, untuk pertama kali sejak memasuki tubuh Kethra. Dan dia pikir itu bukan perasaannya saja, melainkan juga perasaan Kethra asli.

"Kau putriku, dan akan selalu menjadi seperti itu sampai kapanpun. Jangan pikirkan ucapan orang-orang, abaikan seperti yang selalu kaulakukan. Kau adalah Chandier, dan Chandier adalah kau. Kami menerimamu."

"Terima kasih." Kethra meneteskan air mata, tenggorokannya seperti tercekik karena buncahan perasaan, hidung dan matanya panas karena sentuhan kedua anggota keluarganya.

Warren menghapus air mata Kethra, mengecup pipinya karena gemas. Adiknya yang menangis terkesan sangat lucu dan membuatnya tersentuh. Dia seperti melihat Kethra versi balita yang menangis karena jatuh di selokan.

"Kakak!" Kethra menamparnya. "Aku sudah sembilan belas! Itu bukan umur di mana kau bisa menciumku tiga kali!" Kethra berjanji akan menceburkan dirinya ke selokan dan mencuci wajahnya dengan kembang tujuh rupa. Bukannya jijik, dia cuma malu bukan main.

Warren tertawa terbahak-bahak, air mata sampai keluar dari kelopaknya. Vaeril mati-matian menahan tawa, meskipun wajahnya semerah tomat. Kethra bersungut-sungut, melupakan citranya sebagai putri Duke dingin.

Di dalam benaknya, Kethra mengukir kejadian ini dan akan mengingatnya sampai kapanpun. Dan ini juga berlaku bagi Warren dan Vaeril.

Memori hari ini adalah salah satu yang terindah di antara ketiganya. Di mana mereka berkumpul, menangis dan tertawa, bersama-sama.

Seekor ular mendesis, naik ke sofa dan membuat Warren menjerit tertahan. Ular itu membuat suara seperti tertawa –– kalau Kethra tak salah, karena memang kesannya begitu. Ular mamba tersebut memiliki panjang dua meter, sisiknya hitam obisidan yang berkilau di atas cahaya gemeretuk api. Tubuhnya tergolong ramping untuk ukuran dua meter, tapi ia sanggup membuat siapapun lari terbirit-birit dan terkencing-kencing.

Ular itu meliuk-liuk, lidah bercabangnya terjulur pada Kethra. Ia mendekatkan wajahnya dengan Kethra, meneliti ekspresi gadis itu yang sangat lucu. Kethra gelagapan, semakin ingin menceburkan diri ke selokan karena orang lain melihat ekspresinya.

Who the Real Villain? [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang