Bab 6

189 35 2
                                        

Lorrin melangkah di lorong istana dengan muka masam. Hawa dingin yang menusuk lengannya sama sekali tak dia pedulikan. Pakaiannya hanya berupa kaus tanpa lengan, sementara dinding-dinding istana dibuat dari es permata murni. Maka bisa dibayangkan betapa dinginnya.

Lorrin menatap mukanya di dinding yang mengilap. Meringis menemukan dirinya dalam keadaan kacau. Rambutnya seperti sarang burung, kantung mata yang membayangi dirinya semakin tebal, dan pipinya menirus sampai mencetak tulang dengan sangat baik. Otot tampak jelas di bawah kulit pucatnya yang seputih tulang. Bibirnya pecah-pecah, nyaris merembeskan darah.

"Nyonya Josefin. Saya sudah kembali." Di depan pintu maha besar yang memiliki ukiran sangat rumit dan di atas daun pintunya terdapat patung kepala serigala. Pintu itu berderak, engselnya tak bersuara, tapi decitan terdengar karena gesekan pintu dengan lantai marmer.

Ruang singgasana, yang memiliki jendela-jendela sempit di setiap sisi dindingnya. Patung-patung serigala menghias tiap pojokan, berteman dengan obor-obor permata yang menyemburkan api biru. Kandelir di tengah ruangan dalam keadaan mati, tapi bahkan meskipun begitu, bahan penyusunnya cukup membuat terang dalam keadaan gelap. Permadani tebal yang terbuat dari bulu angsa menghampar dari ujung pintu sampai ke undakan singgasana. Tempat sang Penyihir Es Abadi, Josefin, duduk dengan syal tebal melingkari lehernya. Dan singgasananya yang bertabur permata biru berkilau di bawah cahaya matahari. Secangkir anggur tergeletak di sampingnya.

"Bagaimana? Kau menemukan temanmu?"

Lorrin berlutut di depan singgasana. Chase, melompat ke pangkuan Josefin. Josefin menyukainya karena kekuatan magis dalam dirinya. Dan Chase telah hidup untuk waktu yang lama, enam puluh tahun lebih. Ia adalah makhluk magis yang terpandang, jadi Josefin

"Nyonya, bisakah saya pergi untuk berguru pada orang lain?"

"Siapakah itu?"

"Penyihir Menara Timur. Saya sudah menemukan di mana keberadaannya." Lorrin menghabiskan waktu beberapa hari untuk mencari Penyihir Menara Timur. Sosok yang mungkin akan menjadi guru terakhirnya, sebelum dia melakukan rencananya. Penyihir itu akan sangat membantunya dalam kelancaran rencana, karena ia memiliki sihir yang sangat dibutuhkan olehnya.

Mencarinya ternyata tak terlalu sulit, karena dia memiliki beberapa rekan yang memberitahu tentang penyihir itu. Memang benar apa kata teman masa kecilnya, yang terpenting adalah koneksi. Jika punya banyak koneksi, maka masalah akan selesai.

"Kenapa kau terburu-buru? Kau belum menempuh studi keduamu." Josefin mengusap-usap bulu Chase. Meskipun suaranya datar, orang-orang terdekatnya akan menyadari ada emosi kemarahan di baliknya.

Lorrin semakin menunduk, kaki dan tangannya kedinginan karena lantai, di mana terdapat bayangan samar dirinya di sana. Josefin tak terima murid terbaiknya izin pergi begitu saja sebelum menyelesaikan pembelajaran. Anak emas seperti Lorrin sayang untuk dilepas.

"Saya membutuhkan kekuatan Penyihir Menara Timur. Saya perlu memperlajarinya untuk melakukan rencana saya. Saya harap Anda mengerti. Anda juga tahu kalau saya terobsesi mempelajari sihir. Jadi yang seperti ini bukan hal baru lagi untuk saya," jelas Lorrin.

Perempatan siku muncul di dahi Josefin. Ia memahami cara berpikir dan berpandangan Lorrin. Anak itu sangat kerasa kepala, bahkan sifatnya cenderung ke masokis. Dia takkan berhenti sampai pingsan, bahkan mungkin dia takkan berhenti sampai mati sekalipun.

Josefin menghela napas diam-diam. Murid kesayangannya sangat jahil, keras kepala, tak kenal takut, pembuat onar, dan masokis. Darimana dia mendapat sifat itu?

"Saya mohon izinkan saya, Nyonya. Saya akan kembali ke sini, pasti."

"Jelaskan apa yang terjadi pada sahabatmu."

Who the Real Villain? [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang