"Nona Kethra?!" Mata merah itu membulat, di bawahnya tampak samar kantung yang ditutupi riasan, tapi riasan itu sendiri terkesan dibubuhkan secara asal-asalan. Sama sekali tak rata. Bibirnya demikian pucat dan pecah-pecah. Rambut pirangnya jatuh dengan ikal-ikal yang saling terjalin karena tak disisir. Tulangnya terekspos di balik kulitnya, menonjol di beberapa bagian, membuat cekungan pendek, mempersilahkan urat dan otot melewatinya seperti jalinan akar. Gaun gadis itu hanya selutut, dan tak mengembang. Dia jelas tak meninggalkan kamar ini sejak pagi, hanya meringkuk di balik selimut, melirik ke mana-mana karena tahu ada Bayangan, merasakan bisikan-bisikan Max yang mengancam.
Kethra mengusap kepala Henrietta. "Kapan terakhir kali Anda makan?" Alisnya bertaut. Dia tak suka melihat orang kurus seperti ini. Sebelum Lorrin pergi saja dia menyuruhnya makan dua porsi sekaligus. Walaupun itu tak membantu banyak, tapi membuatnya puas.
Mata Henrietta seketika sembab. Dia melompat ke pelukan Kethra, menjerit sangat keras sementara air matanya mengalir bak sungai. Tangannya mencengkeram bahu Kethra erat-erat, seolah takut akan kehilangannya sebentar lagi. Kethra meringis tanpa sadar, kuku Henrietta menghujam dalam di pakaiannya. Saintess itu meraung-raung, menyebut nama Kethra berkali-kali sampai suaranya serak bukan main.
"Nona! Nona! Syukurlah! Akhirnya saya bertemu dengan Anda! Terima kasih sudah datang! Saya benar-benar putus asa! Saya tak bisa melakukan apa-apa karena mata-mata itu!" Henrietta berteriak sekencang-kencangnya, melepas semua emosi yang terpendam dalam dirinya selama ini. Emosi yang menyembur sangat deras, mengirim gelombang keterkejutan pada Kethra. Dia juga merasakan emosi itu, seolah-olah dia juga mengalaminya.
Kethra mengelus-elus rambut Henrietta, mendesis dengan lembut dan menenangkan. Dia berbicara seperti ibu yang menenangkan anaknya karena mimpi buruk. "Sudah. Tidak apa-apa. Saya ada di sini, Anda tak perlu khawatir lagi. Maaf karena sudah datang terlambat. Maaf karena telah mengingkari janji saya."
Henrietta tersedu-sedu. Seluruh wajahnya merah karena menangis, meninggalkan kesana pucat mengerikan seolah itu tak pernah ada sebelumnya. Dia mendongak, menemukan Kethra tersenyum tulus dengan tatapan yang tak pernah dia tatap sebelumnya.
Kethra tahu seperti apa perasaan Henrietta. Ingin memberontak sesuatu tapi tak pernah bisa melakukannya. Ditekan oleh keadaan dan orang-orang, tanpa bisa mengatakan satu kebenaran saja. Mata dan telinganya berfungsi, tapi bibirnya tertutup rapat. Mata dan telinganya harus mendengar dan melihat hal-hal buruk, menerima tanpa bisa menjawab.
Itu adalah Iseul. Dirinya.
"Tidak apa-apa, tenanglah." Kethra tanpa sadar meneteskan air mata, luka lama yang merongrong dadanya kini terbuka lagi. Sayatannya melebar, nalurinya memintanya untuk tertutup. Dia terengah-engah secara internal, luka itu menyakitkan dan membuatnya ingin menangis.
Dia kadang lupa, bahwa dirinya hanyalah anak SMA Korea berusia enam belas tahun yang mendapat banyak luka. Dia selalu menghadap ke depan, membuka lembar dan memikirkan hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang –– seolah dia akan mati jika tak memikirkannya barang sekali –– dan menutup lembar-lembar masa lalu. Dia bahkan lupa, betapa sakit lembar-lembar itu.
"Ini adalah kesalahan saya. Saya terlalu lemah, saya tidak secerdik Anda yang bisa menemukan solusi entah berapa sulit masalahnya," cicit Henrietta sembari menghapus air matanya. Perasaannya perlahan tenang, ombak deras yang menghadang pantai kini berganti guyuran ringan menggelitik kaki. Matanya memancarkan kebahagiaan, tapi bibirnya mengerucut dan pandangannya menatap ke bawah.
Kethra duduk, menggenggam kedua tangan Henrietta yang dingin. "Jangan menyalahkan diri sendiri. Jika saya di posisi Anda, saya juga akan begini. Tidak berdaya, tak bisa melakukan apa-apa selain menangis." Kethra tertawa miris, menatap langit-langit untuk mencegah lebih banyak air mata mengalir.

KAMU SEDANG MEMBACA
Who the Real Villain? [2]
Fantasy-Sang Penyihir atau sang Putra Mahkota- Kethra telah mengumpulkan sekutu yang cukup untuk masa depannya yang tenang saat monster menghancurkan Kekaisaran. Dia berniat jauh-jauh dari kekacauan, tidak mencemplungkan diri dalam bahaya. Namun, tampaknya...