Luther telah memikirkannya sepanjang malam, nyaris tak bisa tidur sehingga mengalamai insomnia. Dia memikirkan Atalya sepanjang malam. Saat perang, pikirannya teralihkan. Kesadarannya meneriakkan bahwa itu bukan waktu di mana dia memikirkan Atalya.
Luther mencengkeram pedang erat-erat, memikirkan berbagai cara bunuh diri yang tak terkesan seperti bunuh diri. Dia harus membuatnya terjadi sealami mungkin sehingga takkan ada yang curiga.
Yah, saat kejadian itu, Luther bertanya-tanya mengapa Atalya menatapnya dengan sendu. Seolah ia memiliki sesuatu yang ingin dibicarakan, tapi tak bisa mengatakannya sama sekali.
Luther tersenyum dalam hati, menyaksikan Atalya dalam keadaan sehat membuat hatinya yang gundah gulana menjadi tenang. Dia mencari sosok putri itu di tengah-tengah perang, menemukannya bertarung di samping Enerdhil dengan gagah berani. Wajah galaknya sukses membuat siapapun merinding.
Oh, ia sudah kembali, batinnya gembira. Seringai, sorot mata, cara melambaikan tangan, dan cara memegang busur. Semuanya telah kembali. Dia menyaksikan Atalya yang selama ini dia kenal.
Sosok yang menjadi cintanya telah kembali.
Andai saja dia bisa menyaksikan Atalya untuk waktu yang lama, meskipun si Elf nanti jatuh cinta bahkan menikah dengan orang lain. Dia tak masalah. Dia tak membutuhkan pembalasan ataupun pengakuan. Cukup dengan Atalya yang bahagia dengan orang-orang di sekitarnya.
Luther menebas kepala seorang prajurit bayaran. Dia mengembuskan napas lelah, hatinya terasa diremas-remas, lantas menggeleng-geleng pedih. Tak seharusnya dia meragukan pilihannya sendiri.
Dia rela menyerahkan nyawanya.
Dia tak menyesal sama sekali.
Namun, sepucuk harapan mengembang begitu saja.
Dia ingin melihat Atalya lebih lama. Mungkin sampai ia diangkat menjadi Ratu Elf. Mungkin sampai ia menjadi ibu. Menyaksikannya menimang anak kecil pasti menyenangkan.
"Sadar Luther, sadar." Dia menampar diri sendiri dan menginjak-injak harapan itu. Dia tak boleh serakah. Keserakahan itu hanya akan menghambatnya. Apollo telah memberinya kesempatan, dia tak boleh menyia-nyiakan ini.
Tanpa Luther sadari, ekspresi Atalya saat ini hanyalah dibuat-buat. Elf itu pandai bersandiwara, keluarganya saja kadang kebingungan membedakan mana sikapnya yang asli dan mana yang sandiwara.
Atalya menutupi kegelisahannya. Panah-panah melesat dari busurnya, menusuk tepat di sasaran. Banyak sekali panah yang ia lepaskan dengan busur sihir, dan hanya ada beberapa yang meleset. Dia memasukkan semua emosinya dalam lesatan panah itu.
Apakah pengganti itu benar-benar Luther, tapi mengapa? Mengapa dia melakukan ini?Apakah cinta dapat membuat orang sampai begitu?Hati Atalya terasa perih, entah mengapa. Pokoknya ia sakit melihat orang berkorban untuknya. Ia benci ini.
"Ack!"
Luther mengerang, pedang menyayat dadanya secara melintang. Dia jatuh, mendengar tawa puas dari penyerang itu. Luther menatapnya lekat-lekat, menyingkirkan pikirannya secepat kilat. Inilah mengapa dia tak mau memikirkan Atalya. Fokusnya bakal buyar, dan dapat berujung membuatnya terluka.
"Jangan melamun, Luther."
"Kau mengenalku?"
"Kita berasal dari kawasan yang sama, Nak. Kawasan perang. Kau lupa?"
"Kau... berasal dari Zetladen?" Itu adalah kota asal kelahiran Luther, yang merupakan kawasan perang puluhan tahun lalu. Luther tak begitu ingat masa lalu itu, karena dia masih kecil. Dan trauma membuatnya makin susah mengingat masa-masa tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who the Real Villain? [2]
Fantasy-Sang Penyihir atau sang Putra Mahkota- Kethra telah mengumpulkan sekutu yang cukup untuk masa depannya yang tenang saat monster menghancurkan Kekaisaran. Dia berniat jauh-jauh dari kekacauan, tidak mencemplungkan diri dalam bahaya. Namun, tampaknya...