"Aku memberikan kalian kesempatan. Kalian bisa menghidupkan mereka kembali, tapi hanya kali ini."
"Mengapa kalian mengizinkan kami?"
"Kami hanya ingin memberikan kesempatan. Kami berharap dia memperoleh akhir yang bahagia. Di kehidupan pertama, dia menderita. Di kehidupan kedua, dia mulai merasakan apa itu bahagia, tapi akhir kehidupannya mengenaskan. Dia tak pantas berakhir seperti itu. Dan Henrietta lebih mengenaskan. Tak ada kebahagiaan di ratusan kehidupannya."
"Kalau begitu, harusnya kalian memberi kami kesempatan untuk menghapus kutukannya!"
"Kutukan kuno tak dapat dihapus, Apollo. Kami diam karena hal itu. Kalian takkan menemukan cara memanipulasi kutukan itu. Jika kalian memindahkannya ke orang lain, itu adalah tindakan biadab. Orang itu tak bersalah, dia tak semestinya menjadi objek pemindahan."
"Kalian––"
"Kami tahu apa yang kalian pikirkan. Kalian pikir mengorbankan orang lain untuk menyelamatkan Kethra kalian itu hal terpuji? Tak ada yang pantas dikorbankan di sini, Apollo, Artemis."
"Jadi, sekarang kalian memberi kami kesempatan menghidupkan mereka?"
"Ya. Jangan lupa berdoa, supaya mereka mendapatkan kebahagiaan. Baik Kethra, maupun Henrietta."
𖤓𖤓𖤓𖤓
"Sial, sial, sial!"
Seorang perempuan berambut pirang berlarian di pinggir jalan, menyenggol banyak orang dan mengundang amarah mereka. Namun, dia sempurna mengabaikan mereka. Peluh dan degup jantung bahkan sama sekali tak dia pedulikan.
Dia melihat jam di ponsel lagi –– entah itu untuk yang keberapa kali, dia sama sekali lupa –– dan kembali mengerang.
Pukul sembilan lebih lima belas menit.
Sebentar lagi tes masuk ke universitas impiannya akan dilaksanakan. Dia sudah menyiapkan banyak hal untuk hal itu. Belajar mati-matian sampai lupa tidur dan makan, bolak-balik perpustakaan sampai ditegur pustakawan karena mau tutup, dimarahi ibunya karena selalu lupa waktu. Jika tak ada Ayah, mungkin Ibu tak bisa dikendalikan. Untung ayahnya pengertian dan selalu mendukungnya.
Segala hal sudah dia siapkan. Hari ini adalah babak penentuannya, tapi dia malah terlambat bangun. Alarm lupa tak dinyalakan, ayah dan ibunya pun juga lupa hari ini tes masuk. Mereka menawarkan mengantarnya, tapi dia menolak. Mereka bakal terlambat pergi bekerja nanti.
Napas gadis itu terengah-engah. Netral hijau kekuningannya menatap bangunan universitas yang mulai kehilangan. Langkahnya pun kembali terpacu, meski sekarang benar-benar pegal. Dia menatap diri sendiri, memastikan penampilan masih layak. Ajaibnya, setelah ditampar angin musim panas, bajunya tetap rapi meski agak basah.
"Aku terlambat." Kesadaran itu membuatnya makin panik.
"Aw!"
Baru saja mulai berlari lagi, dia menabrak seseorang. Mereka sama-sama terjatuh, mengerang kesakitan saat menghantam trotoar.
Dia menatap orang yang menabraknya dengan kesal. Pantat, kepala, dan lengannya sakit, tapi dia tak bisa memarahi gadis itu. Dia sendiri juga bersalah. Berlari sembrono tanpa melihat sekitar.
Gadis itu memiliki rambut hitam dengan mata biru langit. Dia memakai hoodie krem, celana ketat, dan sepatu berhak sedang. Kalung emas putih menggantung di lehernya yang memiliki bekas luka melintang. Tampaknya dari pisau.
![](https://img.wattpad.com/cover/329875587-288-k130398.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Who the Real Villain? [2]
Fantasía-Sang Penyihir atau sang Putra Mahkota- Kethra telah mengumpulkan sekutu yang cukup untuk masa depannya yang tenang saat monster menghancurkan Kekaisaran. Dia berniat jauh-jauh dari kekacauan, tidak mencemplungkan diri dalam bahaya. Namun, tampaknya...