Kethra perlahan bangkit, dan semua tertegun. Mereka melihat mata Kethra berubah menjadi biru safir. Warnanya sangat bercahaya dan berkilau, mencolok di antara cahaya temaram senja. Siapapun tak dapat bergerak, kala Kethra berdiri dan tersenyum lebar. Dia tak pernah tersenyum seperti itu.
Namun, serius–– Max bersumpah–– dia makin cantik dan menawan. Senyumannya berbeda dengan Henrietta yang terkesan hangat dan sederhana. Senyuman itu terkesan sangat anggun dan berkelas.
Itu adalah senyuman terbaik yang pernah tercetak di wajah Kethra, tapi Max yakin, sosok yang berdiri di depannya ini bukanlah gadis itu.
Tubuhnya telah diambil alih. Jiwa Kethra sekarang mungkin tertidur di dalam sana.
"Etta!"
Lorrin mencoba menggapai Henrietta yang bangun dengan kaki goyah. Perempuan itu membuka mata, menampilkan warna emas lembut yang tak kalah berkilaunya dengan mata Kethra. Dia terhuyung, menggeleng-gelengkan kepala karena pusing.
Dia menatap Kethra. Kethra berdecih, menatap rendah dirinya. "Dasar lemah, memasuki tubuh anakmu saja sampai pusing begitu."
"Diam! Tubuh ini mati-matian menolakku, jadi agak susah mengambil alihnya." Dia menunjuk Kethra dengan jengkel. Yang ditunjuk memutar mata bosan, ganti menatap Max lekat-lekat.
"Kau –– siapa kau?!" Max mengacungkan pedang, menggertakkan gigi. Aura yang sangat kuat menguar dari mereka, membuat siapapun meremang.
Henrietta terbang mendekat, tersenyum laiknya matahari pada Max. Dia sempurna mengabaikan Lorrin yang berteriak, meminta penjelasan.
"Wahai penjelajah waktu, akhirnya kita bertemu," kata Henrietta. Intonasi suaranya berubah menjadi seperti penyair, memiliki nada tertentu. Suara Kethra pun berubah. Lebih tegas, tiap katanya seperti perintah mutlak.
"Aku sangat menanti hari ini, di mana kita bertemu dan mengakhiri kemalanganmu. Aku tak bisa membiarkanmu terus-terusan hidup, membuat ratusan cabang, dan merusak segala hal yang ada di sana." Henrietta mendesah. "Sejujurnya aku lelah melihatmu terus beregresi."
Dengan perkataan itu, Max langsung tahu siapa perasuk Henrietta.
"Apollo. Kau––"
Henrietta, atau kita panggil saja Apollo, bertepuk tangan. Senyum sumringahnya terpasang. "Ya, ini aku! Apollo, sang Dewa Cahaya. Dan ini ... kau jelas sudah menebaknya." Ia menepuk bahu Kethra.
"Artemis, sang Dewi Pemburu." Kellen melanjutkan. Dia menggeram panjang, lingkaran sihir terbentuk di sekitarnya dan rune-rune bercahaya di lengannya. Jangan lupakan berbagai senjata yang siap digunakan di sabuknya.
Artemis mengangguk, menyingkirkan wajah Apollo yang berdekatan dengan wajahnya. Sungguh. Ia muak menghadapi saudara yang selalu menempel seperti lem. Secara keseluruhan, sifat mereka berbeda jauh. Apollo adalah si matahari yang riang. Artemis adalah si bulan yang dingin.
"Kami, Putra-Putri Leto, yang menurunkan wahyu kepada Kekaisaran." Artemis ikut campur dalam wahyu itu. Ia membantu Apollo karena juga sudah muak melihat hidup Max yang terulang-ulang. Ratusan kehidupan itu berakhir dengan kehancuran dunia. Artemis menyebutnya cabang-cabang dunia yang malang.
"Kami melihat masa lalumu, jadi kami juga melihat ratusan dunia-dunia itu. Saat kau meninggalkannya, ratusan dunia itu rata dengan tanah. Kau mungkin tak tahu, jika tiap kehidupanmu, akan menciptakan cabang dunia baru. Cabang-cabang itu juga tercipta dari penjelajah waktu lainnya," jelas Artemis.
"Benar, cabang itu sudah ribuan sekarang. Tak terhitung lagi. Dan kau .... " Apollo menunjuk muka Max dan mengernyit. "... kau penyumbang cabang terbanyak. Ratusan."
![](https://img.wattpad.com/cover/329875587-288-k130398.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Who the Real Villain? [2]
Fantasy-Sang Penyihir atau sang Putra Mahkota- Kethra telah mengumpulkan sekutu yang cukup untuk masa depannya yang tenang saat monster menghancurkan Kekaisaran. Dia berniat jauh-jauh dari kekacauan, tidak mencemplungkan diri dalam bahaya. Namun, tampaknya...