Bab 42

111 19 4
                                    

Persidangan dilakukan keesokan harinya. Tempat yang digunakan dua kali lipat lebih besar ketimbang aula yang biasa dipakai. Itu mirip tempat teater, tapi lebih mewah dan berkelas.

Para perwakilan Kerajaan dan Kekaisaran saling bersalaman satu sama lain, tapi tak banyak berbicara. Mereka duduk, membisu, menunggu yang lain datang sembari melihat sekitar dengan acuh tak acuh. Ketegangan tergambar jelas, alhasil mereka tak bisa berbincang-bincang.

Kethra melihat aula yang telah terisi setengahnya, kemudian berbalik. Menemukan kaisar Tiberius di belakangnya. Mereka tengah menunggu di belakang aula, sementara ajudan Tiberius menyambut para duta.

"Kethra, apakah tato itu menunjukkan tanda-tanda?"

Tiberius tahu semuanya karena mendengarkan ucapan Weiss hari itu, tapi dia belum tahu kalau Kethra menyelinap masuk ke istana demi menyelamatkan Atalya dan Morrigan. Sekarang bukan hal baik menyeret permasalahan itu, kerajaan Elf dan hampir dapat meminta balas dendam kapan saja.

Kethra akan mengurusnya nanti. Setelah perang ini selesai, atau kapanpun saat situasi memungkinkan.

"Tidak, sampai sekarang belum. Saya tak merasakan sakit sama sekali sejak tato ini muncul. Yah, prosesnya memang menyakitkan, nyawa saya seperti tercabut. Tapi setelah itu hilang sama sekali." Kethra mengangkat bahu, berlagak tak peduli padahal dia was-was kalau Max memberikan perintah dan dia tak dapat melakukan apa-apa selain menurut.

"Maafkan Max. Aku sama sekali tak menyangka dia ternyata seperti ini." Ada begitu banyak beban yang ditanggung Kaisar. Mukanya kelihatan sangat suram dan lelah.

Kethra menggigit lidah, dia takkan memaafkan pria itu, tapi tak mungkin berkata demikian di hadapan Tiberius. Pria parobaya itu tampak lebih tua sepuluh tahun dalam sekejap, dia tak mau menambah bebannya.

"Saya baik-baik saja, Yang Mulia. Jangan pikirkan saya." Dia tersenyum, memikirkan berbagai cara membalas Max tanpa terkesan mendendam.

"Skandal besar ini akan menghancurkan Kekaisaran, bahkan sebelum invasi monster."

"Kekaisaran takkan hancur, percayalah. Kita masih memiliki banyak orang. Saint Kyllian telah kembali, dan rekan-rekan saya bersiap untuk membantu Anda." Vaeril memberitahu rekan-rekan Kethra yang membantunya membongkar aib Max, dan Tiberius tahu sekali nilai mereka.

Mereka cukup untuk menopang Kekaisaran yang goyah.

"Terima kasih, dan jujur saja, aku mulai meragukan kesetiaan para bangsawan." Tiberius menepuk bahu Kethra, sang gadis membuka mulut, tapi sebuah suara menginterupsi mereka.

"Kaisar," panggil Vaeril. Pakaian resminya lebih sederhana ketimbang biasa, tapi tak ada yang peduli dengan hal itu. Siapapun yang ada di tempat ini memakai pakaian yang lebih sederhana –– meskipun dalam lingkup kesederhanaan ini, masih bertabur emas.

"Semua sudah berkumpul, ayo keluar."

"Baiklah, Vaeril. Kethra, apa kau yakin mengecek keadaan Max sekarang?"

Kedatangan Kethra ke istana memang bukan untuk menghadiri perundingan, melainkan mengecek Max yang dipenjara di menara. Penjara itu tepat di luar kompleks istana, dan untuk ke sana membutuhkan perizinan. Apalagi Max ditempatkan di lantai teratas, para kriminal tingkat tertinggi biasa berada. Penjagaannya terlampau ketat, dan Kethra tak merasa adanya keperluan menyelinap lagi.

Dia pun meminta izin terang-terangan.

"Saya akan berkunjung diam-diam, memastikannya saja, tak menghadap maupun berbicara dengannya. Tak ada yang perlu dirisaukan, Baginda."

Ini hanyalah kunjungan kecil, tak berguna, tapi dia perlu melihat keadaan Max sekarang dan memperhitungkan rencana yang mungkin akan dilakukan pria itu. Ketenangannya dalam menghadapi ini patut dicurigai.

Who the Real Villain? [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang