Ada alasan mengapa Apollo dan Artemis tak bisa ikut campur langsung di masalah dunia Kethra. Padahal mereka sangat kuat, menjatuhkan Max bukanlah hal sulit sama sekali. Tinggal menyebut sebaris kalimat, maka Max akan dikembalikan ke Dunia Bawah. Kutukannya dapat dicabut karena memiliki penawar.
Hanya beberapa kutukan yang memiliki penawar, kutukan terikatnya Atalya dan Mor bukan salah satunya. Dikarenakan kutukan itu sangat tua, bahkan sudah ada semenjak masa Olympus baru dibentuk. Apollo masih ingat dua manusia yang terikat kutukan itu.
Dan kutukan pengulang waktu adalah kutukan yang serta merta diucapkan. Seseorang mengutuk Max karena emosi mendalam. Ditambah dia orang yang kuat, menambah buruk isi kutukan itu.
Kutukan yang diucapkan secara frontal dengan kutukan yang hakikatnya sudah ada sejak dulu adalah dua hal yang berbeda. Kutukan frontal memiliki penawar, tapi tidak dengan kutukan kuno.
Jika itu kutukan kuno, dewa pun kesusahan mengakalinya.
Kembali ke bahasan awal, mengapa mereka tak dapat terjun langsung.
Itu karena hukum. Dewa-dewi tak dapat ikut campur urusan manusia seenaknya, mereka lebih sering menjadi perantara. Jika mereka berani terjun langsung, maka hukuman dari Moirai siap menanti.
Mereka sangat takut pada Moirai, jadi amat menghindari masalah dengan Dewa Takdir itu.
Apollo dan Artemis pun berjuang sebisa mereka. Mengirim novel ke Korea, memastikan Iseul membacanya, lalu memasukkan jiwa gadis itu ke dalam tubuh Kethra. Karena cuma Kethra yang jiwanya mati saat itu, kebetulan dia sangat dekat dengan Max.
Setelah itu, mereka diam. Menyaksikan semua yang dilakukan Kethra dan Henrietta. Moirai juga menyaksikannya.
Dan sampailah hari di mana Moirai mengizinkan saudara kembar itu untuk turun tangan saat perang. Mereka tak menyia-nyiakannya. Ini adalah kesempatan pamungkas dan satu-satunya. Padahal mereka telah menyiapkan skenario membimbing Kethra menemukan cara melepas kutukan Max.
Yaitu dengan menusuk Max dengan pisau yang berusia seratus tahun dan dilumuri darah Henrietta.
Kenapa Henrietta?
Ya, itu alasan yang akan diketahui nanti.
Namun, karena perizinan itu, mereka ikut campur dengan bebas.
"Kalian takkan bisa menghalangiku––"
"Ssttt."
Artemis meletakkan telunjuk di bibirnya. Apollo melambaikan tangan, lira muncul dari udara. Ia memangkunya di bahu, mulai memainkan musik bernuansa emas itu. Max tersentak, seluruh tubuhnya tak dapat bergerak. Begitu juga dengan semua orang di medan perang. Hanya dua dewa yang dapat bergerak, seolah waktu membeku di sekeliling mereka –– makhluk rendahan yang takkan bisa menyamai dewa.
Pemikiran itu menyentak Max, dia memelototi Apollo.
Musik yang dimainkannya sangatlah indah. Itu adalah musik terindah yang pernah diketahui siapapun. Melodinya mengandung berbagai emosi, yang meledak-ledak dan mendayu di saat yang bersamaan. Irama itu tak pernah didengar oleh mereka seumur hidup. Irama itu tak dapat disamakan dengan seluruh permainan musik yang selama ini mereka dengar.
Apollo memejamkan mata, menikmati tiap nadanya. Di menit pertama, musiknya melambangkan kesenangan dan kebahagiaan. Melonjak-lonjak, bersemangat.
Artemis berbicara. "Wahai, kau harus sadar kau bukanlah siapa-siapa."
Menit kedua, nadanya melambangkan kesedihan dan kehilangan. Mendayu, pelan, dan sangat bermakna. Tiap melodinya membuat hati tersayat-sayat dan ingin mengeluarkan air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who the Real Villain? [2]
Fantasi-Sang Penyihir atau sang Putra Mahkota- Kethra telah mengumpulkan sekutu yang cukup untuk masa depannya yang tenang saat monster menghancurkan Kekaisaran. Dia berniat jauh-jauh dari kekacauan, tidak mencemplungkan diri dalam bahaya. Namun, tampaknya...