Bab 41

96 23 13
                                    

"Bagaimana dengan ikatanku?" tanya Kethra, mengusapkan tangan ke tato di lengan bawahnya yang tercetak sangat tebal dan mengerikan. Itu akan tampak indah di mata orang lain. Anjing dalam tato tak terlihat seperti sebuah penghinaan sama sekali, melainkan karya seni yang sangat mahal.

Tinta hitamnya meliuk-liuk laiknya akar, membentuk seekor anjing dewasa yang berposisi menantang. Cakar di kaki depan anjing itu keluar, besarnya barangkali cukup untuk menembus jari manusia. Sementara kaki belakang menopang sebagian besar bobot badannya, tampak gagah dan berisi.

Ini sudah tengah malam, tapi tak ada yang bisa tidur. Termasuk dirinya. Mereka pasti hanya berguling-guling di atas kasur, cemas, memandang jendela, dan menahan keinginan untuk menerobos keluar.

Mereka ingin tahu apa yang terjadi di luar sana. Namun, Vaeril yang telah memprediksi itu menempatkan lebih banyak penjaga di mansion, mereka takkan bisa keluar. Setidaknya, sampai perang diumumkan.

Istana telah mengetahui semuanya, mereka kini tengah merundingkan peperangan. Anak penerima berkah pun memberitahukan ini pada kerajaan masing-masing, meminta bantuan dan memperkuat pertahanan.

Besok pagi buta, rapat akan diadakan. Jika hari ini hanya dihadiri oleh bangsawan Kekaisaran, besok juga akan dihadiri oleh perwakilan tiap kerajaan di dunia. Pemberitahuan itu sudah cukup membuat mereka tak perlu berpikir dua kali untuk datang ke perundingan. Mereka harus menyelesaikan masalah ini dengan bersatu padu, bukan malah egois dengan berlindung di balik kerajaan.

Para Kerajaan dan Kekaisaran telah memperhitungkan semua ini sejak rantai segel mulai putus. Mereka berjanji akan berkumpul di Kekaisaran Athmenia jika monster berhasil bebas.

"Ikatan itu tak bisa diputus, itulah yang kutahu sejauh ini." Weiss berhenti sejenak, menenggak anggur merahnya. "Tapi jika Max mati, maka ikatannya akan otomatis terputus."

Kethra memutar-mutar gelas anggur, dia baru minum beberapa tetes. Dia masih asing dengan rasa yang membakar tenggorokan khas alkohol, mengingat jiwanya masih anak SMA. Namun, dia tak dapat menolak saat Weiss mengetuk pintu kamarnya, membawa dua botol anggur, dan mengajak minum.

Mereka pun berakhir minum di kamar Kethra, duduk di dekat jendela. Cahaya rembulan menyorok dari balik awan-awan, suara burung hantu menguasai udara. Malam ini berkali-kali lebih suram dan sunyi. Masyarakat belum tahu kabar terbebasnya monster, tapi aura pekat telah menguasai Kekaisaran. Mereka mungkin sudah mendapat firasat, yang dikirimkan oleh angin-angin.

"Aku harus membunuhnya?" Kethra merasa aneh dengan gagasan itu. Bukan karena takut membunuh orang lain, tapi risiko yang harus ditanggung untuk melakukannya.

"Tidak perlu kau, siapapun dari kita dapat membunuhnya. Jika kau yang melakukannya, itu mustahil. Kau berada di bawah pengaruhnya. Kau adalah ... anjingnya." Weiss mengerutkan kening, mual karena pemikiran itu. "Jika dia memberikan perintah, maka kau harus mematuhinya. Tidak peduli seberapa susah perintah itu."

"Bagaimana kalau dia menyuruhku bunuh diri? Setelah dia mendapat entah-apa yang dia inginkan dariku. Atau bagaimana jika dia menyuruhku membunuh kalian? Aku takkan sanggup melakukannya." Kethra menunduk, mengusir bayangan dia membunuh sahabat-sahabatnya.

"Maka berdoalah dia tak menyuruh itu." Weiss tersenyum, mengusap lengan bawah Kethra. Sentuhan dinginnya membuat si gadis meremang, tapi dia tak beringsut.

"Kira-kira bagaimana kabarnya sekarang? Mendekam di penjara dengan santai?"

Weiss menggamit tangan Kethra, menghabiskan anggur di gelasnya dalam sekali teguk. Kethra mendelik, ular ini sudah mulai mabuk. Cara tersenyum dan bertingkahnya aneh. Pipinya pun memerah, tampak samar di bawah cahaya temaram lilin. Kethra menengok botol, ternyata sudah habis satu. Dia tak tahu Weiss minum sebanyak itu, dia menghabiskan satu gelas saja rasanya butuh seabad.

Who the Real Villain? [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang