Bab 18

128 24 0
                                    

Seketika tawa Weiss meledak, ia menelan kukis dan terbatuk di tengah jalan, juga tergelak bukan main. Warren mengulurkan teh, berusaha membantu sedakannya. Weiss menelan teh cepat-cepat, tak memedulikan rasa manis dan lembut yang mengalir di lidahnya. "Aku memang tak bisa membohongimu," ujarnya.

"Jika kau mau menutupi sesuatu, jangan melirik ke samping. Aku sudah hapal. Jadi, katakan apa yang kausembunyikan." Kethra asli adalah pemerhati andal, Iseul bukan. Namun, berkat ingatan si nona asli, dia bisa tahu Weiss sedang menyembunyikan sesuatu atau tidak. Dia juga hapal gerak-gerik Vaeril, Warren, dan teman-temannya.

"Adik Erik pernah beberapa kali ke Kekaisaran, dia menggunakan kereta api, tujuannya adalah kota Fotha. Aku memiliki tiketnya, tapi yang menjadi pertanyaan adalah untuk apa dia ke sana? Aku sudah bertanya pada beberapa orang di kota itu, apakah mereka tahu di mana tempat tinggalnya. Mereka berkata kalau dia menginap di hotel selama dua hari saja, kemudian pergi entah ke mana –– aku belum menemukan jejaknya.

"Lalu aku bertanya pada pemilik dan petugas hotel, apakah dia pernah bercerita sesuatu. Mereka menjawab tidak. Faktanya, adik Erik ini tak pernah berinteraksi dengan orang-orang di hotel. Namun, beberapa orang mengaku melihatnya menemui seseorang di luar lantas menaiki kereta kuda."

"Dia dijemput, tapi ke mana?" balas Warren. Si ular menggeleng lagi. "Aku masih menyelidikinya dengan bertanya pada petugas perbatasan. Semua kota yang berdekatan dengan Fotha sedang kuselidiki."

"Berapa banyak informan yang kaukerahkan untuk ini?"

"Lima belas, semuanya adalah informam kepercayaanku. Aku tak bisa mengerahkan sembarang anak buahku, karena ini menyangkut kalian. Keluarga yang sangat dekat denganku. Aku mengambil sumpah setia dari mereka, tapi aku sendiri yakin tak semuanya setia padaku. Beberapa mungkin penyusup," jelas Weiss sembari mengangkat bahu. Ia tak mudah percaya, oleh karena itu, untuk mengurus hal-hal privasi dan sensitif, ia mengerahkan informan kepercayaan.

"Intinya, kau tak mau penyelidikan ini terbongkar," tukas Kethra. Weiss mengangguk. "Siapa tahu di antara mereka ternyata adalah mata-mata musuh kita? Kita akan kecolongan langkah kalau begitu. Nah, lalu, bagaimana dengan Erik?" Ia mengalihkan pembicaraan. Dua Chandier saling pandang, mengirim isyarat mata.

Warren menjawab, "Dia aman di vila kami, tapi jika pembuktian sudah ditetapkan, maka mau tak mau dia dibebaskan. Terakhir kali dia terlihat bersama kami, jika dia tak hadir dalam pembuktian, maka bangsawan lain akan menyalahkan kami. Mereka akan menuduh kami menyembunyikannya. Lagipula, pasukan pencari akan menemukannya cepat atau lambat. Apalagi kalau mata-mata Putra Mahkota ikut campur, bisa ruwet. Itu akan disamarkan sebagai hasil pencarian, tapi tetap saja. Itu ulah mereka."

"Jadi, kalian akan menyerahkannya pada pengadilan?"

Mereka mengangguk. Itu adalah keputusan bersama mereka, meskipun Warren dan Vaeril awalnya menolak mentah-mentah. Menyuruh Erik dikembalikan ke Clemanel. Kethra berhasil meyakinkan mereka. Itu adalah keputusan teraman.

"Dia sudah setuju," lanjut Kethra. "Dia tak memihak kalian, atau siapapun," pikir Weiss, menelengkan kepala.

"Ya, dia sangat netral. Meskipun dia sakit hati karena ucapan Kethra, dia penasaran akan kebenarannya. Kebenaran apakah Kethra anaknya atau tidak. Mau bagaimanapun, dia sangat mencintai Ibu, dan itu seperti orang kasmaran," balas Warren seraya melepas sarung tangannya karena telapak tangannya lembab akan keringat.

"Bagaimana dengan saksi mata, yang menguping pembicaraan kalian?" Weiss menyugar rambut dengan jemari, tatapannya menelisik pada burung gereja yang bersarang di pohon dekat jendela, memperhatikan mereka tanpa minat, tapi tak kunjung tidur. Bulan mengintip dari gumpalan-gumpalan awan muram, bersinar samar bertemankan beberapa konstelasi. Tak terdengar kesibukan apapun di luar sana, senyap di antara suara burung hantu dan derik serangga.

Who the Real Villain? [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang