Mereka kembali ke ruang di mana Henrietta dan Kethra muncul pertama kali. Kedua gadis itu diguncang emosi, terutama Henrietta. Dia tak menyangka dirinya sendirilah yang mengutuk Max. Itu berarti secara tak langsung dia pencipta cabang-cabang dunia yang kini hancur. Jika saja dia tak mengutuk Max, maka ratusan cabang takkan tercipta. Dengan begitu, ribuan nyawa pun selamat.
Namun, dia pun tak dapat memikirkan kemungkinan jika tak mengutuk Max. Pria itu mati begitu dirinya melempar kutukan. Kekuatan dewa menyertai kutukan itu, sehingga dapat membunuhnya.
Henrietta menjambak rambut, air matanya menetes. Dia duduk di sofa, lantas memeluk diri sendiri. Dia merasa sangat frutasi.
"Aku tahu apa yang kaupikirkan." Artemis mengusap kepalanya. Kethra duduk di seberang, berkutat dengan pikirannya sendiri.
"Kalian ini ... hobi sekali menyalahkan diri sendiri, ya?" sang dewi menggunakan sihir penenang, tangisan Henrietta pun mereda. Bahunya turun, wajahnya terangkat.
Artemis menghela napas dalam hati. Ia bukanlah orang yang lembut, ia sangat tegas dan keras. Namun, untuk mereka, entah kenapa ia tak bisa berperilaku demikian. Ia menyayangi mereka.
Jadi, Artemis menghapus air mata Henrietta, dan memastikan Kethra tetap tenang. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dari gadis itu, tapi ia menggunakan sihir penenangnya. Artemis pun duduk di sebelah Kethra, memerhatikan anaknya dengan mata kelam.
Aku harus memberitahunya, batin Artemis. Ini sangat menyakitkan, tapi ia tak bisa diam. Leher anaknya terluka karena suntikan paksa Kellen. Apa yang disuntikkan si Pemburu Naga bukanlah hal yang sepele.
"Ingin melihat Luther?"
Kethra mengangguk. Dia harus bertemu Luther.
Artemis tahu yang dipikirkan Kethra. "Tidak, tidak. Kalian takkan bertemu dengannya. Dunia Bawah tak bisa dimasuki semudah dan sembarangan seperti itu, tapi tenang. Lihat ini." Ia melambaikan tangan, di udara muncullah sebuah citra layar yang menampilkan Luther dan Apollo.
Layar itu bukan seperti TV, tapi lebih seperti air. Sedikit bergelombang, tapi videonya sangat jelas.
"Luther!" Kethra maju, kerongkongannya sesak begitu melihat ksatrianya berdiri di pinggir sungai. Itu pasti sungai Styx, tapi mengapa ia sudah sampai di sana? Kethra yakin upacara pemakaman Luther belum dilaksanakan.
Namun, itu jelas-jelas Luther. Pria yang menemani sebagian hidupnya. Pria yang kini tersenyum pada Apollo, dan wajahnya berseri. Dia tak kelihatan sedih, justru puas.
"Luther adalah anak kesayangan Apollo. Ia berjanji satu hal pada ksatriamu itu."
Kethra mengepalkan tangan, menahan kesedihan yang membeludak di dadanya. "Ia meminta Dewa Kematian mencabit nyawa Luther dengan lembut. Ia juga mendampingi Luther menuju Dunia Bawah. Ksatriamu tak butuh pemakaman, begitu nyawanya dicabut, dia memasuki Dunia Bawah."
"Apakah ... Apollo akan memastikannya bahagia di sana?" Kethra tak mau Luther menderita.
"Tentu saja. Dia akan masuk ke Elysium. Dia berkorban demi Atalya, dia pantas disebut pahlawan. Namun ... tanpa hal itu sekalipun, Luther tetap masuk ke sana."
Apollo dan Luther berjalan di tepi sungai, sambil berbincang-bincang. Luther menjawab santai, beberapa kali tersenyum. "Di tiap cabang kehidupan, Luther dimasukkan ke Elysium. Dia bukan Sri Paus, maupun pemilik berkah, tapi dia sangat dekat dengan Apollo melebihi siapapun. Dia mencurahkan seluruh kehidupannya pada Apollo. Kakakku pun merasa kagum. Saat aku melihat cabang-cabang kehidupan itu, aku menemukannya meminta Dewa Kematian untuk menjaga Luther."
Artemis mengusap rambut Kethra. "Untuk kali inipun, jangan khawatir. Dia aman. Justru kau yang tak aman."
Kethra berbalik, alisnya terangkat. Artemis melambaikan tangan, citra pun menghilang. Kethra menggapai udara, berharap dapat memegang Luther. Namun, udara kosonglah yang dia dapatkan. Dia menelan kenyataan pahit susah payah, berharap dapat menghabisi pembunuh Luther.
![](https://img.wattpad.com/cover/329875587-288-k130398.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Who the Real Villain? [2]
Fantasy-Sang Penyihir atau sang Putra Mahkota- Kethra telah mengumpulkan sekutu yang cukup untuk masa depannya yang tenang saat monster menghancurkan Kekaisaran. Dia berniat jauh-jauh dari kekacauan, tidak mencemplungkan diri dalam bahaya. Namun, tampaknya...