Bab 3

199 40 4
                                        

Lorrin melangkahkan kakinya di halaman istana, bersiul pelan sembari memasukkan tangan ke saku. Jubahnya terpasang secara asal-asalan, lengan bajunya tergulung hingga ke siku, dan kalung yang tergantung di lehernya berkilauan di bawah cahaya lampu taman dan rembulan. Surai merahnya lebih berantakan dibanding biasanya, tapi menguarkan aroma peach dan kayu manis karena disemprot pewangi. Dia menggunakan sihir pesona untuk menyembunyikan kantung mata tebal, akibat begadang setiap hari.

Lorrin tak bisa menyingkirkan perasaan bahagia karena mempelajari sihir, bahkan jika itu harus merelakan kesehatannya. Dia pun jarang berinteraksi dengan para murid Penyihir Es Abadi, murid yang keberadaan dan identitasnya disembunyikan dari publik. Lorrin berpikir tak ada yang memiliki ambisi sebesar dirinya, dan dia bangga dengan fakta itu.

Lorrin menyapukan pandangan ke balkon lantai empat. Balkon paling lebar dengan hiasan emas dengan bunga tulip putih-kuning di penyangganya. Tangannya melambai, mendeteksi sihir Henrietta yang sudah akrab sejak kecil. Henrietta tak memiliki sihir yang kuat, tapi sihirnya sudah mengenal sihir itu dan selalu berhasil mendeteksinya. Ada kecocokan di antara sihir mereka. Dan Lorrin merasakan sihir Henrietta menjerit senang bertemu dengan sihirnya.

"Dia di sana," bisik Lorrin. Sihir tembus pandangnya telah melewati sihir keamanan istana dengan mudah, sihir itu bukanlah apa-apa dengan sihir yang menyelimuti kastil es. Lorrin pernah menggunakan sihir itu di kastil dan dia berujung dibekukan oleh sihir keamanan. Dia menjadi bahan tertawaan setelahnya, dengan sang guru yang menghela napas panjang seolah sudah lelah hidup.

Yah, sejujurnya Lorrin mengira gurunya memang lelah hidup, tapi memilih menjalaninya tanpa gairah.

"Sudah lama sekali aku tak bertemu denganmu." Lorrin menyunggingkan senyum lebar, segera merapikan rambut berantakannya dengan jari.

Gejolak kebahagiaan membuncah dan memukulnya sampai di tenggorokan, mengaduk-aduk perutnya yang terisi bacon dan kopi. Tangannya diselimuti kegelian yang tak dimengerti, menyengat ujung jari dan mengirim sensasi memabukkan ke seluruh sarafnya. Wajahnya merona, membayangkan wajah teman masa kecil yang tertawa dengan pipi tercolek tepung. Itu adalah kenangan lima tahun yang lalu. Jantungnya berdegup kencang membayangkan senyum dan suara Henrietta.

"Kau sudah seperti orang kasmaran," celutuk Chase yang melingkari bahunya. Lorrin mendengus. "Aku sudah lama tak bertemu dengannya, tentu saja aku bersemangat."

Chase menguap, membuka mata secara acuh tak acuh. "Kau sendiri yang memilih tak mengirim kabar." Selama di kasil, berdiam di kamar Lorrin di sepanjang hari, menghela napas lelah setiap kali Lorrin kembali ke kamar dengan keadaan payah. Dan bukannya beristirahat, dia malah berlatih dan bersemedi. Yah, setidaknya tak ada yang mengganggu karena Penyihir Es Abadi melarang keras seorang pengganggu di kastelnya. Hidup bersama dengan Edyth lebih sulit, tapi psikopat itu tak pernah menyakitinya.

"Aku tak mau membuatnya khawatir." Lorrin memindahkan Chase ke pelukan lengannya, rubah itu makin berat sehingga bahunya sering pegal. Chase menggerutu, telinganya terangkat karena mendengar langkah kaki mendekat.

"Lorrin Lundlar dengan berbagai kekhawatirannya," cibirnya. Lorrin mengerut, mengalihkan pandangan ke istana Putra Mahkota. Istana yang lebih megah dan besar serta keamanan yang berkali-kali lipat lebih parah ketimbang istana Henrietta.

Kenapa sihir keamanannya setebal itu? Lorrin gundah karena fakta tersebut. Istana Putra Mahkota memiliki sihir keamanan lebih besar daripada istana Kaisar, terutama di bagian tengahnya. Itu sudah cukup membuktikan jika Maxime memiliki suatu rahasia yang tak diinginkannya bocor atau diketahui orang lain. Keamanan itu hanya bisa diterobos dari dalam, Lorrin menganalisa. Meskipun sebagian besar orang bakal mundur tanpa menganalisis karena tebalnya sihir.

Who the Real Villain? [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang