Josefin menatap Lorrin, tapi alih-alih menatap balik, si pemuda sibuk memerhatikan murid-murid Josefin. Dia baru sadar kalau ada mereka, karena sejak tadi disibukkan oleh Necromencer yang merepotkannya minta ampun.
Mereka saling pandang. Para makhluk abadi congkak itu menatap Lorrin dengan rendah dan remeh, seolah dia tak lebih dari seekor semut pengganggu. Lorrin mau tak mau tertawa dalam hati. Padahal mereka lebih lemah darinya. Bukan hal susah memenggal kepala maupun menyayat tubuh mereka.
Mungkin menyenangkan melihat mayat mereka terpotong-potong.
Chase berdecih. "Makhluk-makhluk itu tetap saja menjijikkan," katanya.
"Kalian tampaknya kehilangan akal sehat ya?" tanya Edyth, tersenyum miring dan memainkan jari bercat ungunya. Pakaian wanita itu ialah gaun pendek selutut, sarung tangan berenda, dan sepatu berhak tinggi.
Salah outfit, tapi tak ada yang berkomentar. Lorrin sendiri berpikir Edyth sengaja berpakaian begitu supaya dikotori darah. Dia sangat suka sensasi bajunya penuh darah.
"Josefin, sepenting itukah dendammu sampai melakukan ini? Kau membenci penyihir dan ingin memusnahkan mereka, kami, tapi lihatlah di sisi-sisimu. Mereka adalah penyihir, terlebih Pemimpin Menara. Kauingin menyingkirkan mereka? Mereka yang akan melenyapkanmu lebih dulu," lanjut Edyth. Kebencian berkobar di matanya, tak seperti Josefin yang setenang air.
Varl menjawab. "Jangan pikirkan ucapannya. Kita berada di sini atas kehendak Putra Mahkota, kita disatukan oleh beliau. Kita takkan berpecah belah. Bukan begitu, Josefin? Kau tak berpikir membunuh kita 'kan?" Penyihir berjanggut tipis dan memakai anting permata itu memandang Evaine rendah.
Josefin mengangguk. "Kalian sekutuku."
"Sebaiknya kau tanya perpecahan itu pada Menara Penyihir. Keputusan gila kalian ini membuat perpecahan besar," balas Evaine.
"Memangnya itu urusan kami?" tanya Osric, menaikkan alis. "Biarkan pemimpin yang tersisa itu menentukan pilihan mereka, tapi kami ragu mereka akan berpihak pada kalian. Perpecahan ini sudah terjadi sejak lama, Evaine, bersembunyi di balik menara-menara tanpa sepengetahuan siapapun. Jangan lupakan itu."
Evaine tersentak. Lorrin mau tak mau menatap gurunya. Dia tinggal di Menara Penyihir Timur, tapi tak mengetahui perpecahan diam-diam macam apa yang mereka maksud. Teman-temannya, murid-murid Evaine, pun saling menggeleng satu sama lain.
"Apa maksudnya?" Lorrin bertanya. Evaine tak menjawab.
"Menara sudah goyah sejak lama, jadi tak heran perpecahan semacam ini bakal terjadi. Gara-gara sang Guru." Ketika Osric menyebutkan nama itu, kedengkian menguar jelas di suaranya.
"Sang Guru yang sangat konyol, bisa-bisanya dia berkata seperti––"
"Cukup!"
Evaine melepaskan bola api sebesar rumah. Ledakan pun terjadi, membuat gempa sejenak dan orang-orang menjerit ketakutan. Beberapa dari mereka tak selamat, tapi Evaine tak peduli dengan hal itu.
"Sekali lagi kau berkata aneh-aneh tentang sang Guru, akan kugorok lehermu."
"Cih, coba saja."
Maka dengan itu, pertarungan antar Pemimpin Menara Penyihir pun terjadi. Varl mundur, kekuatan destruktif para penyihir itu akan melenyapkannya dalam sekali tepuk.
Mereka bertarung sangat sengit, bruntal, tampa aturan. Kerusakan terjadi di mana-mana. Ledakan terus-menerus terjadi, membuat lubang di tanah dan membakar pepohonan di sekitar. Kalaupun bukan api, kekuatan elemen lain sama mengerikannya. Sangat merusak.
Evaine melawan Osric dan Greta, sementara Edyth melawan Josefin. Kedua wanita itu tak mengenal keanggunan dalam gaya bertarung mereka, terutama Edyth. Cara Edyth tertawa karena serangan Josefin meleset, cara Josefin menatap dingin dan terkesan acuh tak acuh, dan cara kekuatan mereka saling bertabrakan dan menghancurkan. Semua membuat orang-orang meremang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Who the Real Villain? [2]
Fantasy-Sang Penyihir atau sang Putra Mahkota- Kethra telah mengumpulkan sekutu yang cukup untuk masa depannya yang tenang saat monster menghancurkan Kekaisaran. Dia berniat jauh-jauh dari kekacauan, tidak mencemplungkan diri dalam bahaya. Namun, tampaknya...