Bab 54

103 23 10
                                    

Atalya berlari dengan berlinang air mata. Kakinya gemetar ketika semakin mendekat, busurnya menghilang entah ke mana.

Conrad memasukkan pedang semakin dalam, Luther terbatuk-batuk. Darah menyembur dari dada dan mulutnya. Rasa sakit menguasai dirinya, menyebar hingga ke tiap inci sel. Pandangannya mengabur dalam sekejap, tapi masih bisa melihat genangan darah di bawah kakinya. Bilah pedang itu terasa sangat dingin, menembus jantung dan hampir keluar dari tubuhnya.

Pedang Conrad tertanam sangat dalam.

Namun, Luther tak berteriak ataupun mengerang. Dia cuma terengah-engah, mendengar teriakan membahana Atalya yang merobek telinga.

"Apa –– apa yang kaulakukan?!" Atalya dengan marah menusukkan pisau ke Conrad. Pria itu terlambat menghindar, pisau menancap beberapa senti di atas jantungnya. Tusukan Atalya meleset, tapi si Elf sama sekali tak peduli. Ia meninju rahang Conrad, lantas menendangnya habis-habisan.

Atalya berantakan. Luther baru melihatnya seperti itu. Ini adalah pemandangan paling berantakan yang pernah Luther lihat. Atalya yang putus asa menghujani Conrad dengan tinju dan tendangan, mengucapkan berbagai sumpah serapah, dan air mata membanjiri pipinya. Conrad bahkan tak bisa berbuat apa-apa di bawah amukan putri Elf.

Luther menjulurkan tangan, menahan tangan Atalya di udara. Jemarinya menggelugut, sementara napasnya putus-putus dan terasa menyakitkan.

"Cukup, Putri. Jangan membunuhnya."

Luther berusaha tersenyum selembut mungkin, tapi terkesan dipaksakan.

Atalya turun dari tubuh Conrad, memeluk Luther setelah mencabut pedang dengan hati-hati. Ia tak mampu menatap mata Luther, cuma mendekapnya selembut mendekap bayi. Karena perbedaan ukuran tubuh, tangan Atalya tak mampu memeluk Luther dengan benar. Alhasil ia memindahkan tangannya ke leher si pria. Ia tak mengatakan apa-apa saat Luther membalas pelukan. Tangan Luther dengan sempurna memeluk tubuh kecil Atalya.

"Kenapa? Kenapa kau melakukan ini?" Atalya meremas bahu Luther, tak peduli pakaiannya dibasahi darah, tak peduli orang-orang menatapnya yang menangis. Bahkan Enerdhil syok, ia tak pernah melihat Atalya menangis sejak ratusan tahun lalu.

"Anda mengetahuinya, ya?" Luther mengembuskan napas dalam-dalam. Saat Atalya menangis, dia sadar putri itu tahu dia menggantikan kutukannya.

Apakah Apollo pelakunya?

Bukan aku. Suara familier menelusup ke dalam jiwanya. Suara yang tak berasal dari mana-mana. Luther tahu siapa pemiliknya.

Tenanglah, Anakku. Aku akan meringankan sakitmu.

Sedetik kemudian, rasa sakit luar biasa yang menjerat Luther berkurang. Dia menjadi lebih tenang, setidaknya bernapas tak semenyesakkan tadi. Setidaknya pandangannya lebih jelas sekarang.

"Aphrodite memberitahuku. Kau menggantikanku, tato di dadaku palsu. Apollo pasti yang membantumu melakukan ini, entah bagaimana kau berhubungan dekat dengannya. Sampai ia mau membantumu. Apakah aku salah?"

"Tidak."

Luther mengeratkan pelukan, mencium aroma khas tubuh Atalya. Dia tak pernah bermimpi dapat memeluk si putri. Ini lebih menyenangkan dibanding yang dia pikirkan. Jika situasinya normal, kupu-kupu pasti berterbangan di perutnya. Namun, yang dia rasakan saat ini adalah kehangatan dan kesakitan.

"Apakah tak ada cara lain? Apakah kau tak bisa bertanya pada dewa bagaimana memutus kutukan ini tanpa kematian?" Atalya menarik wajah. Kini mereka berhadapan dengan wajah cuma berjarak beberapa senti.

Di jarak sedekat ini, Luther merekam detail wajah Atalya. Tiap jengkalnya tampak begitu indah. Laiknya pahatan. Laiknya malaikat yang jatuh dari langit.

Who the Real Villain? [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang