Bab 35

96 18 3
                                    

"Tidak ada siapapun yang akan terbunuh," balas Kethra. Matanya terasa sangat panas, terdorong oleh sakit tak berbentuk yang merongrong dadanya. Dinding kembali dibangun, kali ini berkali-kali lipat lebih tebal ketimbang biasa. Ekspresinya kembali mengeras, tapi tak cukup menyembunyikan kegetiran dalam dirinya.

Atalya menggeleng, cekalannya bertambah kuat. "Tidak apa-apa, biar aku saja yang terbunuh. Kau tak perlu melakukannya dengan tanganmu sendiri, lemparkan aku kawanan binatang buas, atau beri aku racun setiap hari. Ada narkoba dalam tubuhku, jadi hanya perlu sedikit sentuhan lagi, maka aku akan meninggal."

"Bagaimana kau bisa mengatakannya dengan tenang? Apa yang ada di pikiranmu?!" Kethra melepaskan cekalan Atalya, kedua tangannya menangkup bahu Elf itu. Dia berusaha menemukan kebimbangan, atau apapun yang menyatakan bahwa ada bagian dalam diri Atalya yang tak rela mati. Namun, mata jernih itu tak menunjukkan apapun. Malahan, Atalya terasa berusaha menembus matanya.

Kethra, dan semua yang ada di ruangan ini, masih tak tahu kekuatan unik Atalya.

Sang putri melihatnya. Ketakutan Kethra akan kehilangan mereka. Dan itu seperti sebuah trauma, seolah Kethra sudah pernah kehilangan sebelumnya.

Sebenarnya, siapa dirimu, Kethra? batin Atalya. Saat ini, Kethra kelihatan seperti seseorang yang menjalani kehidupan berat sejak kecil, padahal gadis itu dibesarkan tanpa kekurangan apapun. Apakah ini karena dia tak mendapatkan kasih sayang yang semestinya?

"Yang ada di pikiranku hanyalah cara untuk membuat kami berdua sama-sama mati. Kau–– kalian –– takkan menyukainya. Satu kematian lebih baik ketimbang dua, bukan begitu?"

Yang lain tak mampu menjawab, mulut mereka terlalu kelu dan kerongkongan mereka sangat sesak. Luther diam-diam menyelinap keluar, tak ada yang sadar, sementara dia pergi ke tempat terpencil di mansion itu. Sepanjang jalan menundukkan kepala guna menyembunyikan air mata.

"Morrigan?" Kethra mendongak, menantikan Morrigan mengatakan sesuatu. Sang vampir mencengkeram tato di dadanya, berharap itu bisa dicabik-cabik sampai habis. Ia ingat jelas kejadian hari itu. Oliver memberikan darahnya untuk ritual kutukan, juga melukiskan tato di dada mereka. Naga itu cuma tersenyum dingin, menikmati setiap jeritan yang mereka keluarkan. Karena setiap garis yang ditorehkan, mengundang teriakan kesakitan bagi siapapun pemiliknya.

"Kerajaan hanya memiliki aku, itu benar. Aku berada di posisi Putri Mahkota setelah membunuh bajingan itu, tapi jujur saja, menjadi Putri Mahkota bukanlah keinginanku sepenuhnya. Aku ingin bersenang-senang, mengelilingi dunia bersama kalian."

Atalya memotong. "Kau bisa melakukannya. Berpetualanglah bersama mereka, dan biarkan aku mati." Ia sudah banyak berpetualang, ia puas dengan semuanya. Ia memiliki rumah, keluarga, dan orang-orang yang menyayanginya. Tidak seperti Morrigan yang harus bertahan hidup sejak kecil, tak mengerti apa itu kasih sayang, apalagi keluarga. Atalya telah mempersembahkan keluarga untuknya. Yaitu Kethra, Luther, Folca, dan lain-lain.

Itu sudah cukup. Morrigan harus bahagia.

"Tidak." Mata Morrigan berkilau merah, sebutir kristal bening keluar dari kelopak matanya. Ia mendongak, pipinya bersemu merah karena sedih dan marah. Vampir itu mendekap Atalya, tubuh kecilnya terasa pas di tubuh ramping sang Elf. Suasana hening dan mencekam menguasai ruangan, hanya ada suara tangis Morrigan yang terdengar.

Weiss menunduk, tampak kehilangan akal sehatnya. Folca, Payne, dan Rae saling pandang. Mereka beringsut, bergabung dengan Krynt yang sejak tadi berdiri di pojok kamar dan menyilangkan tangan di depan badan. Ia mengawasi, tidak ikut campur, dan seperti berusaha membuat orang lain tak sadar akan keberadaannya.

"Aku ingin kau ikut denganku. Kita menjelajahi dunia bersama-sama."

"Kita takkan bisa melakukan itu."

Who the Real Villain? [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang