Bab 8

166 38 4
                                        

Iris Max berkilat marah. Henrietta pernah berkata serupa, membuat darahnya naik ke puncak kepala. Henrietta yang lemah dan penurut lebih baik daripada Henrietta yang pemberani dan pembangkang.

Alisnya naik dan cengkeramannya mengerat. "Tapi kau tak dapat berbuat apa-apa."

"Saya akan menemukan cara, pasti. Saya akan pergi darisini, membalas perbuatan Anda!" Suara Henrietta naik satu oktaf. Max menunduk, membuat wajahnya sejajar dengan gadis itu. Napas mereka bertembung, Henrietta refleks menahan napas karena tak sudi berbagi udara bersama bajingan perusak hidupnya.

"Jadi sekarang kau tak mencintaiku lagi?" Ekspresi Max tampak sakit hati. Henrietta menyemburkan kata-kata pedas sementara matanya mulai memanas. "Hanya orang gila yang mencintai orang yang telah menyakitinya." Hatinya sangat sakit, dan pikirannya melayang ke memori-memori kebersamaan mereka.

Itu sangat indah. Dia merasakan kupu-kupu yang berputar dan menari-nari di perutnya, bibirnya yang mengulas senyum terbaik, dan pipinya yang merona karena godaan Max. Semua kenangan itu berpilin dan mencekiknya di bawah kesadaran, membuat dadanya sesak dan perih di atas kekecewaan.

Max melepas pegangan pada dagu Henrietta, mundur beberapa langkah pantas terkekeh pelan. Air mata merembes dari pelupuk si gadis. Tak ada yang bisa dilihatnya dengan jelas, hanya garis-garis buram yang panas dan menusuk mata. Dia bersuara serak, hidungnya meraup udara sebanyak mungkin seperti seekor ikan yang terdampar di pantai. Kedua tangannya memeluk tubuh, seolah dirinya telah dilemparkan ke kutub tanpa mantel tebal.

"Pergi, Putra Mahkota!" Henrietta menjaga suaranya tetap tegas, meski tak banyak berpengaruh, karena kekehan Maxime tambah menggila. Dia benar-benar menikmati Henrietta yang tak berdaya.

Henrietta mengambil pisau yang tersimpan di sakunya. Pisau itu tak pernah meninggalkannya karena itu adalah alternatif jika dia mengalami bahaya.

"Dasar! Apa yang kaulakukan?!" Tangan Max meraih-raih udara, mukanya merah karena marah, iris hijau itu meredup dan semakin tajam. Bibirnya digigit erat sampai berdarah, menyaksikan Henrietta yang memiliki keberanian secuil tapi malah menodongkan pisau ke lehernya sendiri.

Kekuatan dewa takkan menyakiti diriku, tapi pisau ini akan mudah melakukannya, batinnya. "Pergi, atau saya akan menyakiti diri saya sendiri. Bukankah Anda sangat memerlukan saya?" Suara dan tangan Henrietta bergetar hebat saat berkata begitu, tapi dia sama sekali tak menjauhkan pisau.

Max tak bisa berkata-kata, alhasil dia mengangguk dengan keputusasaan palsu. "Baiklah, aku akan pergi. Jangan lupa makan." 

Max melangkah pergi, melewati badan Henrietta yang menggigil seperti es.

Henrietta ambruk ke lantai, air mata menetes deras dari pipi dan membasahi kerah gaunnya yang berenda, napasnya tersenggal-senggal seperti habis lari maraton. Lidahnya mengecap besi berkarat, yang tertelan menuju jurang kemarahan dan kemuakan. Dia mendengar Max menyanyikan sesuatu di lorong, benar-benar tak takut jika Henrietta menyakiti dirinya sendiri.

"Keparat."

Max pasti menilai jika Henrietta hanya menggertak, tapi dia tetap pergi. Matanya membara dan bergaris emas di tepian. Mata khas pemilik berkah, yang hanya aktif pada kondisi-kondisi tertentu.

Kethra melangkah keluar dari kamar mandi, memandang Henrietta dari kejauhan tanpa berkedip. Dia membuka mulut, sebelum akhirnya menutup lagi karena tak tahu harus berkata apa. Fisik dan batin Henrietta diguncang berkali-kali gara-gara Max selalu mempermainkannya. Kethra menduga ini bukan kali pertama Henrietta melakukan tindakan nekat dan hanya mendapat cemoohan.

Kethra menyaksikan Henrietta yang dibanjiri air mata. Perasaannya bersatu, diaduk-aduk sampai mendidih, dan fisiknya digempur oleh kepayahan batin yang ingin menghajar apapun yang dilihat.

Who the Real Villain? [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang