Bab 38

96 18 3
                                    

Kyllian tak pernah tahu siapa orang tuanya, dan juga tak bertanya. Sri Paus Edgarlah yang menyelamatkannya dari gigitan dinginnya malam, juga gemuruh dari lapar yang menghadang. Dia masih bayi, cuma bisa menangis sekencang-kencangnya, menggeliat di dalam selimut sutra, mengharapkan bantuan.

Edgar membesarkannya dengan kasih sayang, mengajarinya cara berjalan, berbicara, membaca, dan menulis. Dia selalu menceritakan kisah-kisah dewa sebelum tidur, membuat si kecil Kyllian terpesona. Kyllian saat kecil sangat banyak bertanya, dari situlah orang-orang tahu bahwa dirinya pintar. Tak butuh waktu lama bagi Kyllian menghapal satu buku di umur tujuh tahun, menyelesaikan persoalan matematika rumit di usia sepuluh tahun, dan akhirnya diundang Kaisar Tiberius ke istana.

Kaisar terpesona dengan kegeniusannya, dan berkata dia akan menjadi orang terpenting di Kekaisaran. Lantas, benar saja. Pengaruh Kyllian menyebar secepat kilat, semua penduduk Kekaisaran menyukainya, baik dari bangsawan sampai rakyat miskin. Kyllian jugalah yang meminimalisir aksi perbudakan, penculikan, dan pemerkosaan. Banyak nyawa yang telah terlindungi di tangannya.

Orang-orang mengenalnya sebagai cerminan Dewa Cahaya. Kekuatan suci dalam tubuhnya diketahui lebih banyak ketimbang Saint lain, tapi itu adalah rahasia Edgar. Dia sendiri tak tahu ternyata sekuat itu.

Kyllian, tanpa sepengetahuan siapapun, bergaul akrab dengan anak-anak rakyat kota. Dia selalu berhasil menyelinap keluar, berpikir betapa mudah melakukan itu, entah karena keteledoran penjaga atau memang karena kepintarannya. Anak-anak  mengajarkan banyak hal padanya, baik yang positif maupun negatif. Berkat mereka, dia tahu seperti apa kehidupan rakyat biasa. Sehingga dapat memikirkan terobosan untuk menyejahterakan mereka.

Di kuil, Kyllian adalah Saint yang sangat baik, suci, tak pernah berkata kasar, dan dihormati banyak orang. Namun di luar, dia hanyalah anak biasa yang dapat melakukan apapun yang dia inginkan. Menghajar orang dan menyumpah adalah hal yang tak terelakkan.

Dia menyembunyikan itu karena takut Edgar akan menghukum teman-temannya. Lantas dia akan kehilangan kebebasan.

Saat Kyllian menatap Edgar yang mematung di altar dengan kedua mata bergetar hebat dan wajah sepucat kertas, dia bertanya-tanya apakah kebebasan adalah penting lagi.

Dia tak benar-benar menginginkan itu, tapi pasti merasa sangat kosong ketika kehilangannya. Keinginan Kyllian yang paling utama bukanlah kebebasan, melainkan kebahagiaan menjadi pengabdi dewa. Bertahun-tahun dia mencari tahu bagaimana menjadi pengabdi yang setia dan benar.

Namun, keinginan itu tampaknya terdistorsi sekarang. Kini, dia hanya ingin menegakkan kebenaran. Menyingkirkan Edgar dan semua pendeta yang berkhianat dari dewa.

Baiklah.

Itu tujuannya sekarang.

"Ayah, mengapa Anda begitu tega?" Wajah Kyllian setenang air, berlawanan dengan perkataannya yang tegas. Dunia seolah menyingkir, ruang sempit di antara mereka begitu hening dan gelap. Terpecah oleh bunyi, yang digapai kegelapan pekat.

Kyllian beberapa kali memanggil Edgar ayah. Sebutan itu meninggalkan cekikan di kerongkongan, sementara dia ditampar kesadaran bahwa Edgar bukanlah sosok yang selama ini dia kenal.

"Jika Anda tak menginginkan saya menjadi Sri Paus, tinggal katakan saja. Saya akan menolak posisi itu, entah seberapa kuat orang lain membujuk. Bagi saya, yang terpenting bukanlah menjadi Sri Paus, melainkan pengabdi dewa yang setia. Sri Paus memanglah salah satu cara untuk mendekatkan diri pada dewa, tapi saya takkan mengincarnya." Kyllian menjilat lidah. "Seseorang dapat dekat dengan dewa mereka tanpa harus menjadi pemimpin agama."

Edgar masih sama seperti yang Kyllian ingat. Meski dia tak melihat pria itu dengan cara yang sama lagi.

"Anda menuduh saya memperkosa pendeta dan menggunakan sihir hitam. Itu adalah cara Anda menyingkirkan saya? Tapi ... maaf saja, Ayah. Saya berjanji untuk kembali, mengungkap kebenaran setelah sebagian besar orang melupakan keberadaan saya, dan yang terakhir meletakkan Anda ke tempat seharusnya." Kyllian menatap Kethra yang tengah beradu pandang dengan Max. Mata gadis itu teralihkan padanya, dan dia tersenyum.

Who the Real Villain? [2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang