"Ya, ampun, Ren! Astaga, Ren! Kamu kemana aja, sih? Kamu tahu aku sampai migren pusing tujuh keliling cuma buat nyari---"
Rena menjauhkan sedikit ponsel dari telinga sesaat suara lantang dan histeris Mala melengking di seberang panggilan, sekejap setelah gadis itu mendapati Rena sendiri yang menghubunginya dengan nomor asing entah milik siapa.
Setelah pergulatan dan kemelut yang menambah sakit kepalanya, Rena memutuskan untuk membagi kegusaran ini dengan orang lain yang bisa dipercaya, karena mungkin saja kepalanya bisa meledak detik itu juga kalau terus dipaksakan menanggung beban ini sendirian. Dan Mala adalah satu-satunya orang yang sekarang ini mampu ia pikirkan.
"Aku lagi di keadaan yang nggak membutuhkan omelan panjang lebar kamu, Mal. Jadi tahan dulu apapun yang menjadi pertanyaan histeris kamu itu, karena ada keadaan yang jauh lebih mendesak."
"Ma-maaf, Ren," cicit Mala yang mulai menurunkan volume suaranya. "Aku cuma ... Ya, kamu tahu, kan, gimana khawatirnya aku. Apalagi pas lihat kamu cium---Astaga ular tangga! Ya ampun, Ren! Gila kali, Ren! Kok bisa-bisanya kamu---"
Rena kembali menjauhkan ponsel dari jangkauan pendengarannya, ketika teriakan cempreng Mala sekali lagi merasuki gendang telinga.
"Mala!" tegas Rena berusaha mendapatkan fokus perempuan itu. "Kita nggak akan membahas apapun kalau kamu masih saja histeris dengan pertanyaan-pertanyaan di kepala kamu itu. Aku benar-benar butuh bantuan kamu dalam keadaan genting ini."
"Oke, oke," timpal Mala akhirnya. "Tolong kasih aku waktu buat atur napas sebentar dulu."
Lalu ada jeda cukup panjang menggantung di antara mereka, bersamaan dengan helaan napas naik turun Mala yang masih bisa Rena tangkap samar-samar dari sebelah sambungan.
"Oke, Ren. Aku udah bisa tenang sekarang," sahut gadis itu setelah kembali terhubung ke dalam panggilan dengan perasaan yang lebih tenang dan terkendali. "Jadi sebenarnya apa yang terjadi? Di mana kamu sekarang?"
Rena menarik napas panjang, sebelum memutuskan harus dari mana akan memulai pembicaraan. "Aku lagi di area Kebayoran baru. Dan tolong tunggu dan dengar dulu sampai aku selesai ngomong," seloroh Rena agar Mala tidak berbalik ke mode menyebalkan memotong ucapan seriusnya.
Gadis itu pun menyetujui dengan gumaman. Pertanda bahwa ia hanya akan diam mendengarkan.
Lalu cerita Rena pun mengalir begitu saja. Terbuka sepenuhnya pada Mala tak terkecuali, tanpa ada satupun yang perlu ditutup-tutupi. Bermula dari awal bagaimana ia tak sengaja bertemu Andreas dan Pak Antonio Pramoedya di luar aula acara ulang tahun perusahaan, dan berujung pada Ketidaksengajaannya menguping perselisihan pribadi yang teramat sensitif bagi kedua orang itu.
Kemudian adegan berlanjut pada bagian di mana mojito cocktail mengandung rum yang sempat ia kira adalah mojito mocktail biasa yang sering diminumnya, justru menjadi salah satu pemicu sikap bar-barnya melabrak Andreas karena tingkah arogan pria itu waktu mengetahui dirinya menguping pembicaraan sang ayah dan anak tersebut, dan dapat ditebak hasil akhir seperti apa yang Rena dapatkan ketika melakukan hal frontal secara spontan tanpa berpikir panjang terlebih dulu.
Andreas dengan segala sikap intimidatif dan kegilaannya berhasil membuat Rena terjebak masalah krusial dengan ciuman panas yang pria itu berikan, sebagai bentuk pembalasan atas kelancangan Rena menyiramnya hingga basah kuyup dengan sebotol air mineral. Ciuman yang dilakukan pria itu dengan sengaja di depan umum, dengan saksi mata yang tak bisa dibilang sedikit jumlahnya, sehingga mungkin akan menciptakan skandal baru yang mengerikan di masa depan.
Semuanya Rena ceritakan dengan gamblang, sampai ke bagian mengapa ia harus berakhir di wilayah Kebayoran baru akibat penculikan Andreas Pramoedya. Bahkan tenggorokannya nyaris kering saking panjang dan berapi-apinya ia bercerita.
"Wow." Hanya itu respon pertama Mala setelah Rena menutup semua kisah kesialannya sepanjang malam ini. Bahkan gadis itu pun sempat terdiam di seberang sana karena terlalu terbawa syok.
"Aku nggak ngerti lagi gimana harus menanggapi drama tak terduga kamu, Ren," putus gadis itu. "Situasi di convention hall tadi juga nggak banyak membantu usai ditinggal kepergian kalian berdua. Kamu tahu, kan, kalau bukan cuma aku yang ada di sana dan melihat aksi nekat Pak Andreas di tempat itu?"
Rena bergumam membenarkan. Meskipun membelakangi jalan masuk menuju pintu hall, ia masih bisa mendengar pekikan Mala dan teriakan marah seseorang, sebelum dirinya ditarik paksa oleh Andreas memasuki mobil.
Saat kendaraan Alphard hitam pria itu menyintas keluar dari tempat parkir, samar-samar Rena masih bisa menangkap bayangan beberapa orang yang berdiri menyaksikan kepergian mereka dari spion luar yang terpantul. Meskipun tidak tampak begitu jelas, Rena masih bisa menangkap pemandangan terakhir itu sebelum berlalu.
"Apa kamu tahu kalo Pak Antonio juga ada di sana waktu itu?"
Deg!
Rena tak tahu jantungnya sudah secepat apa mendengar fakta baru yang dibawakan Mala. Kenyataan yang tiba-tiba terasa menancap bagai belati itu, sontak berhasil membuatnya terpaku seketika di tempat. "Maksud kamu? Pak Antonio---"
"Iya, Ren," sergah Mala. "Makanya aku bilang nggak ngerti lagi harus menanggapi bagaimana kekacauan kamu ini."
"Bukan hanya karena ada Pak Antonio yang ikut hadir di sana, tapi beberapa rekan klien dan komisaris penting yang juga mengenal Pak Andreas cukup baik, juga berada di situasi dan tempat yang salah."
"Kamu tahu hari ini bahkan belum genap 24 jam kematian Namira Sanjaya---nggak, bahkan belum genap 10 jam dari waktu pemakaman perempuan itu sebelum skandal ciuman kamu dan Pak Andreas muncul ke permukaan, di depan banyak kerabat dan bahkan orang tuanya sendiri. Kamu bisa bayangkan akan separah apa masalah yang timbul akibat insiden barusan di esok hari, kan, Ren?"
"Aku bahkan nggak sanggup melirik wajah murka Pak Antonio tadi sewaktu kalian sepenuhnya berlalu dari hadapan mereka. Intinya, ini malapetaka yang nggak mudah untuk kita cari jalan keluarnya, Ren. Untuk sekarang, aku cuma bisa kasih kamu peringatan agar nggak lagi bertindak gegabah ke depannya."
Rena memejam mata dengan kernyitan frustasi. Ia jelas tahu efek bola salju sebesar apa yang terancam menimpanya semenjak ia menyadari tentang hari kematian Namira.
Berciuman dengan suami orang di hari yang sama saat si pria harusnya berduka karena kematian sang istri, akan membuat Rena terlihat buruk dan dicap negatif dari sisi manapun oleh banyak orang. Tak peduli sekuat apa pembelaan yang akan ia berikan.
Berita kejadian beberapa saat lalu tentu tidak hanya akan berhenti sampai di parkiran hall itu saja, mengingat banyaknya jumlah saksi mata yang berada di sana. Sekalipun Pak Antonio dan Mala adalah orang pertama yang akan mengunci mulut rapat agar skandal ini tak akan menyebar luas, tapi tak ada jaminan pasti bahwa hal itu juga akan berlaku sama pada anggota komisaris dan beberapa klien yang turut menyaksikan insiden tersebut.
Cepat atau lambat, apa yang telah terjadi di antara dirinya dan Andreas, dengan perlahan atau segera akan berubah menjadi buah bibir, menyebar dari satu orang ke satu orang lain, lalu akhirnya hanya tinggal menunggu waktu sampai seisi gedung perusahaan Ciputra mengetahuinya.
Tanpa sadar, air mata pun perlahan turun mengalir mewakili rasa putus asa di benak Rena. Ia sudah cukup dipusingkan dengan berbagai masalah pengobatan ibu dan hutang sang ayah yang masih tersisa banyak, lalu entah dosa besar apa yang telah ia lakukan di masa lalu, sampai takdir harus menghukumnya dalam lelucon hidup yang ironi ini. Menjebaknya ke dalam drama baru yang tak kalah menyesakkan.
Sekarang bukan hanya nama baiknya saja yang juga akan terancam hina, karir dan kerja keras yang dibangunnya susah payah tertatih-tatih dari bawah, kini ikut turut serta berada di ambang nadir kehancuran. Kalau semua lika-liku hidupnya semakin bertambah sekacau ini, lalu dengan apa lagi dia harus bertahan?
"Ren," panggil Mala hati-hati setelah menyaksikan kebungkaman panjang Rena. "Kamu baik-baik saja? Aku minta maaf karena nggak bisa berbuat banyak, semua terlalu tiba-tiba dan---"
"Mala," potong Rena lirih. "Tolong jemput aku di sini, ya. Secepat mungkin yang kamu bisa."
"Tolong."
KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels
Romansa[On going] Andreas Pramoedya tak pernah membiarkan siapapun mengusik ranah pribadinya. Sikap dingin dan tertutup pria itu makin tak tersentuh saat Namira istrinya memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan tragis. Kematian Namira yang penuh tragedi, s...