Dibandingkan dengan apartemen bertipe studio dan tipe satu kamar tidur yang paling sering dihuni para kalangan menengah ke bawah, ruangan besar yang tersaji di hadapannya ini jauh lebih luas berkali-kali lipat dibandingkan hunian apartemen biasa pada umumnya. Desain langit-langit tinggi dan bukaan jendela besar membentangkan horizon, semakin menambah kesan lapang dari interior di dalam ruangan.
Rena mengedar pandangan ke ruang tamu yang didominasi aksen monokrom modern hitam dan putih tersebut. Sedikit sentuhan vintage lampu gantung dan ornamen lukisan dinding, memberikan perpaduan klasik modern yang saling selaras. Di tengah ruangan pula, terdapat meja bundar berunsur logam dan sofa berbahan kulit yang melingkarinya, sehingga tak henti-henti membuat gadis itu berdecak kagum di dalam hati.
Untuk ukuran seseorang yang terlahir dengan sendok emas di mulutnya dan tidur di atas lantai marmer seharga ginjal, merasa was-was mendengar bunyi token listrik akibat tunggakan berbulan-bulan mungkin tidak akan pernah ada di kamus keturunan Pramoedya atau garis konglomerat lain sejenisnya.
Pantas saja sikap angkuh memang tak pernah terlepas dari tipe-tipe orang seperti mereka. Khususnya Andreas, yang kini sudah berjalan masuk menyampirkan dengan asal jas navy miliknya ke punggung sofa, lalu melangkah menuju pantry entah mengambil apa, meninggalkan Rena yang masih terbengong berdiri di depan pintu masuk.
Ya ampun, sekarang ia benar-benar mati gaya harus melakukan apa. Terjebak di ruang pribadi yang sama dengan sosok asing tak dikenalnya dengan baik, bukanlah suatu hal lumrah bagi Rena sendiri.
Apa memang sebaiknya ia memilih tidur di pinggir jalan saja? Daripada melemparkan diri ke kandang singa beresiko tinggi seperti sekarang? Ya, meskipun ia yakin pria sejenis Andreas juga tidak akan sudi melakukan hal kotor yang otaknya bayangkan jika bersangkutan dengan wanita kelas bawah seperti dirinya. Tapi tidak ada salahnya, kan, mencoba untuk waspada dan berjaga-jaga. Apalagi kelancangan Andreas yang menciumnya di tempat umum secara mendadak dan penuh pemaksaan, masih belum bisa ia maafkan.
"Kamar kosong yang bisa kamu tempati terletak di bagian kanan koridor penghubung ruang tamu dan area ruang kerja, berhadapan dengan kamar utama." Andreas sudah kembali ke ruang tamu lengkap dengan botol kaca berisi air dingin yang ditenggaknya. Kemudian dengan santai, pria itu menjatuhkan diri ke atas sofa. Menyandarkan punggung serileks mungkin di sana, seraya mendongak memijat kening dengan mata terpejam.
Rena masih memperhatikan gerak-gerik itu dengan posisi siaga, belum mau beranjak dari tempatnya karena alarm waspada tanda bahaya tak mau berhenti membuat ia terjaga. Siapa yang akan menduga hal berengsek apa yang mungkin akan khilaf dilakukan Andreas jika ia melonggarkan kewaspadaan. Seperti kejadian di parkiran convention hall tadi contohnya.
"Saya tidak butuh satpam tambahan kalau kamu berniat jadi penjaga pintu dan berdiri di sana sampai besok pagi." Lelaki itu melonggarkan dasi yang masih menyimpul kerah kemejanya, agar mendapat ruang cukup untuk bernapas lega.
Rena berdeham pelan. "Sa-saya rasa lebih baik menghubungi teman saya saja, siapa tahu dia mau bersedia menjemput ke sini."
Ya, bayangan Mala yang pasti sudah kebingungan begitu melihat ia ditarik paksa oleh Andreas menjauh dari pelataran parkir, seketika menimbulkan rasa bersalah di benak Rena. Temannya itu pasti kesulitan mencari cara untuk menghubunginya, mengingat ia tidak membawa tas maupun alat komunikasi jenis apapun.
Andreas melirik Rena dari ekor matanya. "Kamu sebegitu takutnya, ya, terjebak di ruangan ini bersama saya?"
"A-apa?" Rena tergagap, tak menduga Andreas mampu membaca pikirannya dengan gamblang dari jarak beberapa langkah kaki tersebut.
"Saya tidak akan melakukan apapun hal kotor yang sekarang ada di pikiran kamu jika itu yang kamu khawatirkan." Ia kembali menenggak minumannya. "Lagipula saya juga tidak berminat meniduri wanita asing yang tidak saya kenali. Apalagi dengan kepribadian bar-bar seperti kamu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels
Dragoste[On going] Andreas Pramoedya tak pernah membiarkan siapapun mengusik ranah pribadinya. Sikap dingin dan tertutup pria itu makin tak tersentuh saat Namira istrinya memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan tragis. Kematian Namira yang penuh tragedi, s...