"Nggak usah ditunggu, Neng. Si Aden nggak akan datang. Mbok baru dapat kabar dari Den Lukman waktu kemarin berkunjung, pas ngambil pakaian kerja Den Andreas yang Mbok cuci minggu lalu."
Rena sedikit tersentak saat suara Mbok Irma yang muncul dari arah belakang, menyela lamunannya. Dengan gelagapan dan pipi bersemu merah, ia tersenyum canggung. "Sa-saya nggak nunggu siapa-siapa, Mbok. Cuma pengen ngadem di teras sini aja."
"Oalah, Mbok pikir Neng Rena yang keseringan nongkrong di teras depan tiap sore akhir-akhir ini, memang karena lagi nunggu si Aden yang sudah satu minggu nggak muncul-muncul."
Rena sontak menggeleng cepat. Bahkan terlalu cepat sampai Mbok Irma mengerutkan dahi.
"Mana mungkin." Ia kembali tertawa canggung. "Saya memang butuh udara segar sehabis seharian kerja di kamar, Mbok."
Wanita paruh baya itu manggut-manggut pertanda paham. Meskipun Rena sempat menangkap seulas senyum kecil terukir di bibirnya. Membuat gadis itu merasa bantahannya barusan sudah terlanjur ditangkap lain oleh Mbok Irma.
"Kalau gitu Mbok buatkan teh dan siapkan camilan sore juga, ya. Kebetulan di pasar tadi pagi Mbok borong cukup banyak kue kering."
Ragu-ragu, Rena mengangguk. "Terima kasih," ujarnya agar pembicaraan canggung ini segera berlalu.
Namun rupanya Mbok Irma tidak berpikir demikian, dan justru sekali lagi mengulum senyum penuh maknanya. "Tapi yang Mbok bilang tadi itu benar, Neng. Nggak usah ditungguin. Soalnya si Aden dari minggu lalu berangkat ke luar kota. Tapi Mbok sendiri nggak tahu baliknya kapan."
Pipi Rena sontak makin dibuat panas oleh kelakar Mbok Irma yang sarat akan godaan. Namun wanita setengah baya itu sudah lebih dulu berlalu sebelum Rena kembali protes atau berusaha meluruskan apa yang diucapkan barusan.
Tapi lagipula siapa yang coba ia bohongi di sini?
Menangkup wajah dengan tangan, Rena menggeram tertahan menyadari kebodohannya. Bisa-bisanya ia terpanggil setiap sore menghabiskan waktu di kursi beranda depan, dan secara tak terduga selalu menatap ke arah jalanan gerbang di kejauhan dari balkon kamar tiap kali ada mobil memasuki halaman villa.
Kebiasaan aneh yang justru mengundang pemikiran nyeleneh dari Mbok Irma barusan.
Ia juga tidak mengerti kenapa harus selalu memusatkan perhatian pada ponselnya setiap kali ada notifikasi atau panggilan masuk, lalu serentak merasa kecewa ketika yang muncul justru pesan dari Mala atau Kayla. Sungguh, Rena benar-benar tak lagi mengerti dan mengenal dirinya sendiri.
Gadis itu sedikit merebahkan punggungnya pada sandaran kursi, menatap hampa langit-langit teras di atas. Pikirannya berkelana pada semua kejadian yang berputar seminggu belakangan ini. Walaupun jarang memantau perkembangan apapun tentang berita media di luar sana, Mala yang secara rutin bertukar kabar dengannya tak pernah keberatan menjadi informan gratis, sekalipun tanpa Rena minta.
Skandal yang sempat melibatkan dirinya dan Andreas, perlahan berangsur-angsur surut setelah wawancara klarifikasi minggu lalu yang dilakukan pria itu. Identitasnya sebagai wanita dalam foto juga sudah tak lagi seheboh ketika pertama kali berita tentangnya muncul ke permukaan. Semua kebencian dan hujatan khalayak ramai rata-rata lebih dialirkan pada Andreas, dengan dirinya menjadi pusat simpati sebagai korban. Tidak seperti sebelumnya, di mana ia nyaris kenyang oleh kecaman orang ketiga atau penghancur rumah tangga dari berbagai pihak.
Rena menghela resah seraya menatap ponsel yang redup hening di tangannya. Setelah hari di mana terakhir kali ia mengirimkan pesan gambar dreamcatcher yang susah payah dibuatnya pada lelaki itu, ia dan Andreas memang tak lagi bertukar kabar apapun, atau lebih tepatnya Andreas tak pernah membalas pesan itu setelah terlihat jelas bahwa si penerima sudah melihat isi pesannya. Sehingga kadang membuat Rena berpikir-pikir, apa mungkin pria itu justru menganggap dirinya terlalu kekanak-kanakan dengan memberikan hal-hal absurd dan kolot semacam itu?

KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels
Romance[On going] Andreas Pramoedya tak pernah membiarkan siapapun mengusik ranah pribadinya. Sikap dingin dan tertutup pria itu makin tak tersentuh saat Namira istrinya memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan tragis. Kematian Namira yang penuh tragedi, s...