Rena tak mengerti. Ia sungguh-sungguh tak mengerti. Menghadapi segala perubahan sikap Andreas secara tiba-tiba dan tak terduga, terasa seperti mencemari logikanya. Mulai dari kemunculan dadakan lelaki itu semalam, pelukan mengejutkan yang ia berikan, tawaran gila untuk menjadikannya teman tidur, hingga perubahan sikap aneh lainnya pagi ini di meja makan.
Semua menjadi sangat membingungkan untuk Rena cerna. Dan ia rasanya bisa mati berdiri jika menyimpan segala kemelut ini seorang diri. Untuk itu, mencari nama Mala di layar kontak adalah pelarian terbaik. Ia membutuhkan seseorang sebagai tempat membagi keresahannya. Tentu saja dengan sedikit improvisasi kebohongan agar tidak membocorkan identitas si sumber kekacauan.
"Ya apa lagi, Ren. Udah jelas, kan? Kalau sampai main peluk-peluk begitu, apalagi sempat nawarin buat bawa kamu ke ranjang, itu tandanya dia memang minat sama kamu."
Rena mendengus kesal. "Aku udah bilang tawaran teman tidur yang dimaksud bukan apa yang otak kotor kamu bayangkan, Mal. Jangan membelokkan pembicaraan sampai jadi berkonotasi negatif begitu!"
"Lah, memangnya kamu pikir laki-laki normal di dunia ini yang ngajak perempuan ke ranjangnya buat apa lagi kalau bukan untuk bercocok tanam? Umur kamu dua tahun lagi mau tiga puluh, Ren. Masa yang gitu aja nggak peka, sih? Udah mirip perawan buta pengalaman aja!"
Rena terdiam.
"Tunggu...," timpal Mala serentak seperti tersadar sesuatu. "Astaga! Jangan bilang kamu memang benar-benar masih perawan?"
Rena memutar bola mata. "Pembahasan kamu udah mulai melebar, Mal."
Tapi Mala yang bertabiat keras kepala, tetap bersikeras di ujung sambungan. "Gila! Kamu pacaran sampai setua ini ngapain aja, Ren? Sampai-sampai belum sempat buka segel? Anak SMA aja di luar sana udah berani nelan pil KB dan jago borong pengaman. Ya ampun, Rena."
"Bisa nggak kita kembali saja ke pembicaraan utama?" tanya Rena makin dibuat risih. Tujuannya menelepon Mala adalah untuk mengurangi sedikit kemelut pikirannya, bukan malah dibuat tambah sakit kepala. "Kalau kamu terus melipir ke topik perawan atau apapun itu, aku bakal mutusin sambungan sekarang juga," ancamnya.
Rena tahu, sebagai wanita karir yang turut bergaul di tengah gemerlap kehidupan Ibukota, membuat gadis-gadis seperti Mala terbiasa dengan kisah percintaan yang cukup bebas. Hal-hal yang justru dianggap tabu oleh norma, merupakan gaya hidup normal bagi mereka yang bersarang di lingkungan sejenis itu.
Mala hanya satu dari sekian rekan di tempat kerjanya yang mengadopsi kehidupan bebas romansa serupa. Dan mungkin Rena hanya satu dari bagian kecil orang di lingkungan sosialnya yang masih menjalankan kehidupan konservatif, bertolak belakang dari kebiasaan itu.
Mala bisa saja akan lebih histeris dari ini kalau sampai tahu pengalaman nolnya tentang hubungan antar lawan jenis karena sama sekali tak pernah merasakan pacaran selama 28 tahun ia hidup. Jangankan terpikirkan mencari pasangan, memikirkan mau makan apa besok dan tanggungan lain biaya hidup keluarganya saja ia susah.
"Sorry," lirih Mala. "Aku cuma penasaran aja, soalnya cuma kamu satu-satunya perempuan dewasa yang aku kenal masih----"
"Mala," peringat Rena.
"Oke, oke. Aku nggak akan bahas itu lagi. Jadi intinya kemungkinan besar orang yang kamu maksud itu punya ketertarikan khusus sama kamu. Entah itu bisa diartikan sebagai rasa suka atau cuma godaan sesaat untuk mencari keuntungan."
"Tapi tetap aja, Ren. Dia itu tipe bajingan yang harus kamu waspadai. Karena nggak ada namanya cowok baik-baik memeluk cewek yang bukan istri atau pacarnya dengan gampang, apalagi sampai menawarkan menjadi teman tidur. Meskipun secara harafiah dia bilang benar-benar hanya untuk tidur. Bisa saja itu cuma modus para buaya rawa zaman sekarang! Jangan sampai kamu kemakan jebakan mereka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels
عاطفية[On going] Andreas Pramoedya tak pernah membiarkan siapapun mengusik ranah pribadinya. Sikap dingin dan tertutup pria itu makin tak tersentuh saat Namira istrinya memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan tragis. Kematian Namira yang penuh tragedi, s...