Bab 37. Tukang Cari Perhatian

302 37 1
                                    

Rena mengambil alih tugas dapur untuk membersihkan peralatan makan bekas santapan mereka bersama. Sebenarnya hal itu ia lakukan semata-mata agar punya kesempatan menghindar dari resiko terjebak obrolan canggung bersama Mbok Irma maupun Pak Lukman. Karena keduanya masih setia berbincang-bincang di meja makan dengan menyeduh secangkir teh dan mencamil kue Lupis sebagai penutup dari makan malam ini.

Rena yang sempat ditawari ikut bergabung, menolak secara halus dengan beralasan ingin mencuci piring atau membereskan sisa-sisa bekas makanan yang ada. Walau sempat terlibat sedikit perdebatan dengan Mbok Irma karena beliau berkeras agar ia tak perlu repot-repot mengerjakan sesuatu yang bukan tugasnya, pada akhirnya kekeras kepalaan Rena lah yang berhasil memenangkan argumen singkat di antara keduanya.

Ruang menyatu antara dapur dan meja makan yang hanya disekat oleh partisi kerai dan bufet tinggi tempat piring dan gelas kaca diletakkan, membuat dua bagian ruangan itu terhubung satu sama lain. Sehingga kegiatan apapun saat ini berlangsung di meja makan, dapat tertangkap dengan mudah oleh mata atau telinga Rena yang sibuk berkutat dengan piring kotor dari sebelah sini.

"Harusnya Neng Rena biarin aja dulu, biar nanti Mbok cuci besok pagi." Mbok Irma menghampirinya ke dapur sembari menenteng wadah penyimpanan berisi lauk-pauk yang tidak habis, kembali ngotot untuk mengambil alih tugas gadis itu karena bagaimanapun Rena adalah tamu yang tidak seharusnya dibiarkan melakukan pekerjaan rumah sendirian di waktu selarut ini.

"Tanggung, Mbok. Bentar lagi selesai, Kok." Rena menunjukkan dua gelas tersisa, serta panci yang sementara disikatnya. Selain dari itu, semua peralatan makan lainnya sudah tertata rapi dan bersih di rak masing-masing.

Sadar melawan sikap keras kepala gadis itu juga tak ada gunanya, Mbok Irma pun hanya bersikap pasrah membiarkan Rena kembali menyelesaikan pekerjaannya. Sementara ia mulai membuka kulkas di samping lemari gantung, berdekatan dengan bak cuci piring untuk menyimpan daging ayam, ikan, maupun sayur-mayur yang belum sempat tersentuh ataupun masih tersisa banyak.

"Maafin Mbok, ya, Neng." Mbok Irma kembali bersuara saat Rena telah selesai dari pekerjaan mencucinya.
Wanita paruh baya itu kini ikut menarik kursi kosong yang ada di meja dapur, berseberangan dengan Rena yang baru saja menuangkan segelas air dari teko. 

Ragu-ragu, ia menambahkan. "Mbok nggak bermaksud membuat Neng Rena jadi kurang nyaman. Sama sekali nggak seperti itu. Maaf kalau kedatangan Mbok tadi benar-benar bikin Neng Rena justru terganggu."

Rena menggigit bibirnya dengan rikuh. Sebenarnya ia teramat malu kalau harus kembali berputar membahas hal krusial seperti ini. Makanya ia berusaha menghindari percakapan apapun dengan Mbok Irma untuk sementara waktu. Namun melihat bagaimana wanita itu berusaha keras mengajaknya bicara dengan raut bersalah begitu kentara di wajahnya, mana mungkin Rena akan tega membiarkan kesalahpahaman di antara mereka menggantung begitu saja. Dan membiarkan Mbok Irma terus-terusan mengungkapkan rasa bersalahnya.

Menarik kursi, Rena memutuskan ikut duduk berhadapan dengan wanita itu. Seulas senyum tulus ia coba perlihatkan. "Nggak ada yang perlu minta maaf di sini, Mbok. Seperti yang saya bilang tadi, apa yang terjadi tidak seperti yang terlihat. Maksud saya, kami berdua, saya dan Pak Andreas sama sekali tidak...."

Duh, kenapa susah sekali menjelaskan adegan ambigu sumber dari kesalahpahaman itu? Tidak mungkin juga dengan lantang ia menjabarkan bahwa alasan yang mendasari kesalahpahaman tadi adalah bentuk karma instan dari mulut lancangnya karena telah menghina dan memaki Andreas Pramoedya seenaknya. Bisa-bisa citra buruknya di mata Mbok Irma makin bertambah buruk.

"Mbok paham, Neng."

Rena sedikit terhenyak saat Mbok Irma meraih punggung tangannya, dan menepuk-nepuk lembut di sana. "Permintaan maaf Mbok sama sekali nggak merujuk ke hal-hal seperti itu. Tapi lebih pada rasa bersalah setelah membuat Neng Rena kurang nyaman karena sibuk berprasangka yang tidak-tidak tentang apa yang Mbok pikirkan."

"Mbok tahu Neng Rena orang baik. Dan apa yang terjadi antara Neng Rena dan Den Andreas, bukan kapasitas Mbok untuk turut campur di dalamnya. Jadi prasangka buruk apapun tidak pernah terlintas di pikiran Mbok seperti yang Neng Rena khawatirkan."

"Ya meskipun Mbok sendiri hampir dibuat jantungan," kelakar wanita itu, yang mau tak mau ikut menerbitkan senyum kecil di bibir Rena. "Jadi jangan merasa kurang nyaman atau berusaha menjaga jarak lagi, ya, Neng?"

Rena menyadari matanya perlahan memanas, bersamaan dengan buncah perasaan hangat menggelegak di dadanya. Seumur-umur, ini adalah kali pertama ia dipandang begitu tulus dan merasakan penerimaan begitu besar oleh seseorang yang baru dikenalnya dalam hitungan hari. 

Kalau dipikir-pikir, selama ini ia memang terlalu naif memandang dunia dan seisinya dengan sama rata. Buktinya di luar sana, masih ada orang-orang seperti Mbok Irma yang tidak mudah memandang manusia lain penuh penghakiman atau berusaha menjadi Tuhan untuk aib seseorang, yang bahkan tak pernah mereka tahu setiap cerita yang berlatar di baliknya.

Seusai pembicaraan singkat yang terkesan mendalam itu, Rena akhirnya bisa kembali menarik napas lega. Karena ketakutannya tentang pandangan buruk Mbok Irma nyatanya terbukti salah. Ia pun bisa kembali bebas tersenyum dan berbagi cerita bersama wanita itu tanpa perlu lagi terikat oleh rasa sungkan. 

Di saat keduanya sibuk berbincang sambil menikmati kue Lupis yang sudah dipindahkan Mbok Irma dari meja makan ke dapur, mengingat Pak Umar sudah berpamitan masuk kamar untuk beristirahat lebih dulu, suara langkah kaki seseorang yang tiba-tiba muncul dari arah belakang Rena menyela semua aktivitas itu.

Mbok Irma secara refleks berdiri dari tempatnya begitu menyadari siapa sosok yang datang menghampiri mereka. Sembari mengembangkan senyum ramah seperti biasa, ia menyapa sopan. "Den Andreas butuh sesuatu? Atau perlu dibuatkan sesuatu? Biar Mbok bantu sediakan, ya?"

Rena melirik sekilas ke arah lawan bicara Mbok Irma, sekalipun hatinya masih merasa sedikit enggan. Di sana, Andreas juga sempat melemparkan tatapan sepintas ke arahnya, tapi hanya berlangsung hitungan singkat karena lelaki itu segera membuang muka. 

Cih. Rena spontan ikut berdecih mendapati respon tak acuh tersebut. Pria itu bahkan berdiri masih dengan sepiring kue Lupis pada nampan yang tengah dibawanya.

Berdeham samar, Andreas berujar ragu. "Tawaran makan malam yang tadi...." Lelaki itu tampak mengusap tengkuknya sekilas tanpa berniat menoleh ke arah Rena maupun Mbok Irma. "Apa masih berlaku?"

Mbok Irma adalah orang pertama yang mengerjap bingung. "Y-ya?"

Wanita itu berusaha memastikan bahwa apa yang telinganya tangkap, memang bukan sekedar kesalahan pendengarannya saja.

Rena bisa melihat bagaimana Andreas membasahi bibir bawahnya sekilas, tampak tak yakin dengan apa yang saat ini sedang dilakukannya. Tapi lelaki itu tetap berusaha melanjutkan. "Makan malam yang Mbok Irma tawarkan ... apa masih berlaku?" ulangnya lagi, kali ini sudah menatap langsung ke arah Mbok Irma.

Mendengar pertanyaan tak terduga yang dilontarkan Andreas, wanita itu dengan serentak mengangguk teramat antusias. "Masih, Den. Tentu saja masih berlaku. Den Andreas beneran mau makan sekarang? Oh tunggu, biar Mbok siapkan nasi dan lauknya dulu, ya."

Tanpa menunggu lama, Mbok Irma sudah cekatan menyibukkan diri menyediakan bakul nasi, piring, serta gelas bersih. Tak lupa juga sayur-mayur, daging, dan ikan yang belum lama ia taruh ke dalam kulkas ikut segera dipanaskannya.

Bahkan Rena yang kehadirannya sesaat terlupakan oleh kedatangan Andreas, ditinggalkan begitu saja di meja dapur saat Mbok Irma dengan raut sukacita menuntun Andreas kembali ke meja makan seraya mempersiapkan kebutuhan perut lelaki itu.

Mau tak mau, Rena pun dibuat berdecak dongkol. Dasar laki-laki labil tukang cari perhatian! 

Head Over HeelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang