Bab 59. Pembuktian

362 35 2
                                        

Benar. Mereka memang tidak lagi terbilang asing. Semua hal yang terjadi dua minggu belakangan, menjadi bukti nyata bahwa hubungan yang mengikat keduanya justru lebih dari itu. Apalagi saat nyatanya Rena sendiri sudah mulai menerobos batas-batas masa lalu Andreas yang jarang tersentuh siapapun. Melihat kepribadian sosok tersebut lebih dekat dari orang-orang kebanyakan. Menjadi saksi dari luka lama lelaki itu yang memilih terkubur rapat-rapat. Apa yang tidak akan mungkin dilakukan jika mereka benar-benar asing.

Rena cukup tahu. Dan pada akhirnya ia juga menyadari alasan apa yang membuatnya merasa terusik ketika Andreas mengingatkan tentang waktu singkatnya di tempat ini. Awalnya ia pikir keengganan itu murni berasal dari perasaan tak rela karena harus berpisah dari Mbok Irma dan Pak Umar yang sudah ia anggap sebagai orang tua kedua. Atau perasaan keberatan setelah harus melepas suasana tenang dan damai villa ini. Bentuk kenyamanan yang mungkin tak akan ia jumpai di sudut padat Jakarta.

Ya, itu pemikiran awal yang terlintas. Alasan kenapa ia menjadi terganggu oleh kata perpisahan minggu depan yang dicetuskan Andreas. Namun ketika tangan lelaki itu menariknya saat ini, dan mengutarakan keinginan yang sempat membuat Rena menegang kaku di tempat, Rena pun sadar, bahwa sesungguhnya alasan lain mengganjal di hatinya adalah kehadiran Andreas di sekitarnya yang tak mungkin lagi bisa ia jangkau.

Karena ia tahu, ketika mereka sudah kembali menjadi Andreas dan Serena seperti semula, si Bos dan si Kacung yang bernaung di bawah atap perusahaan yang sama, maka Rena tak akan pernah bisa lagi mengenal Andreas sedekat ini. Seleluasa ini. Kalaupun ia ingin, ada banyak pasang mata serta telinga akan menjadi dinding pembatasnya. Pengalaman foto skandal yang pernah tersebar, memaksa Rena untuk berkaca dari pengalaman, supaya ia tidak terjatuh pada lubang serupa untuk kedua kali.

Maka dari itu, ia ingin berusaha menyangkal diri sebisa mungkin. Karena sekali lagi, terlibat dengan seorang Andreas Pramoedya lebih jauh hanya akan menciptakan peluang untuk petaka baru, yang mungkin akan menjeratnya pada situasi rumit seperti yang sudah-sudah.

"Itu bukan urusan saya." Rena menampakan ketegasan di matanya. "Memilih untuk tidak menjadi orang asing, itu hak kamu. Tapi tolong, jangan paksa saya melakukan hal yang sama."

Ia mati-matian menjaga suaranya supaya tidak goyah. "Karena saya memang tidak bisa melihat alasan apapun untuk melakukan itu. Lagipula ciuman dan tidur bersama yang kamu maksud, saya rasa tidak lebih dari bentuk kecelakaan dan empati yang normal dialami siapa saja, termasuk di antara orang asing sekalipun."

"Oh, ya?" Andreas masih mencengkeramnya dengan erat. Tatapan tajamnya menyorot manik coklat Rena sedalam mungkin. "Kalau begitu alasan masuk akal apa yang kamu inginkan agar merasa cukup yakin?"

Andreas melangkah hingga batas jarak tercipta di antara mereka terbentang tipis. "Atau bukti apa yang kamu butuhkan untuk menyadari semua yang terjadi nyatanya lebih dari sekedar kecelakaan dan bentuk empati sialan apapun itu!"

"Katakan, Serena. Beritahu saya," desak Andreas. "Beri saya jawaban logis selain omong kosong yang kamu sebutkan barusan."

Rena bergeming gelisah di tempat. Bukan karena kalimat memojokkan yang diucapkan Andreas, melainkan debaran menggila bercampur kegugupan yang terasa mencekik dadanya, karena jarak terpaut keduanya yang hanya sejauh satu tapak kaki. Bahkan embusan napas pria itu ketika berbicara, begitu nyata ia rasakan menyapu wajah. Dan Rena benci bentuk ketidakberdayaannya saat ini.

"Kenapa diam?" Andreas masih kukuh menghujamnya dengan perkataan sinis serta tatapan tajam. "Kamu sendiri bahkan tidak cukup yakin dengan apa yang kamu ucapkan."

"Andreas...." Rena berujar lemah. "Kamu harusnya mengerti---"

"Saya hanya akan mengerti kalau kamu berbicara sejelas mungkin."

Head Over HeelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang