Rena kembali menyampingkan tubuh menghadap ke sisi kiri, setelah posisi tidur sebelumnya tak membantu banyak untuk ia terlelap. Waktu yang sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, masih belum mampu memanggil rasa kantuk membawanya berlabuh ke dunia mimpi. Ia masih terjaga di tempat tidur bersamaan dengan perasaan gusar yang sedari tadi menggelayut di dada.
Usai kepergian Mala beberapa jam lalu setelah menurunkannya di depan kontrakan, hal pertama yang Rena lakukan ketika memasuki kamar adalah melemparkan tubuh letihnya ke atas kasur, menelungkup menenggelamkan seluruh wajahnya ke permukaan bantal demi mengurai sedikit saja sesak yang ada.
Ia bahkan mengabaikan dress putih brokat yang masih melekat di tubuh penatnya. Memberi sedikit ruang untuk setiap rasa lelah dan pikiran carut-marut mendapatkan pelepasan sekilas. Namun apa yang ia cari selama berjam-jam waktu bergulir itu, tak kunjung menemui titik terang. Alhasil, ketika malam semakin beranjak larut hingga menjelang subuh, Rena masih terjaga dengan kegusaran hati yang sama.
"Aku nggak tahu apa yang mungkin akan terjadi ke depannya, Ren. Semoga Pak Antonio nggak akan menanggapi secara serius masalah ini."
"Dan jalan terbaik sementara untuk kamu adalah menghindari apapun interaksi dengan Pak Andreas mulai besok. Sekalipun dalam bentuk ketidaksengajaan, kamu harus bisa meminimalisir peluang yang akan merusak nama baik kamu, kalau-kalau kejadian ciuman itu tersebar lebih luas dari yang kita kira. Karena satu-satunya korban yang akan paling dirugikan di sini adalah kamu sendiri, Ren."
Perkataan dan nasehat terakhir Mala sebelum berlalu pergi dari hadapannya, masih terus saja berputar di kepala Rena sepanjang malam. Melekat begitu erat sampai-sampai ia kesulitan untuk dibuat terlelap. Semua masalah baru yang datang, seperti gulungan ombak yang menenggelamkannya tanpa peringatan. Sehingga tanpa sadar ia sudah terombang-ambing di laut lepas kehilangan arah.
Rena bangkit dari posisi tidurnya karena merasa usaha yang ia lakukan untuk dijemput lelap, terasa sia-sia belaka. Gadis itu pun memilih duduk menyandarkan diri ke kepala ranjang. Memeluk kedua lutut seraya menatap langit-langit temaram di atasnya dengan pandangan hampa.
Rena tahu, efek bola salju dari kejadian di parkiran hall tadi bersama Andreas Pramoedya akan memberi dampak negatif yang sangat signifikan dalam hidupnya. Cacian dan tatapan sinis orang-orang mungkin adalah tanggungan paling ringan yang akan ia terima ke depan.
Ia bisa saja berkeras hati menutup mata dan telinga dari pandangan hina dan cibiran sekitar, karena dirinya juga pernah melewati masa-masa kelam itu sebelum mencapai titik seperti sekarang. Hanya saja, Rena rasanya tak akan sanggup jika kepelikan yang terjadi ini justru akan menghancurkan seluruh pencapaian karir yang digapainya dengan berdarah-darah dan air mata.
Rena tak akan sanggup melewati kehancuran terbesar kedua dalam hidupnya jika sampai neraka terburuk itu benar-benar datang. Apalagi di saat ada tanggung jawab besar sementara dibebankan di atas kedua pundaknya. Rena tak tahu lagi apa ia masih akan sanggup bertahan dihimpit kerasnya takdir penuh tragedi semacam ini.
Sama seperti perkataan Mala, di dalam hati Rena juga berharap banyak bahwa Antonio Pramoedya tidak akan menindak lanjuti masalah ini lebih jauh lagi. Atau setidaknya jika boleh berharap lebih, semua sakit kepala dan kemelut yang tercipta karena sosok seperti Andreas, tidak lebih dari mimpi buruk yang menjadi salah satu bunga tidurnya, dan akan hilang dengan sendirinya ketika fajar pagi menyongsong tiba.
Namun sayang, tidak ada mimpi buruk dengan rasa sakit sepilu dan senyata ini. Rena tahu dan cukup menyadari itu. Sehingga untuk kesekian kali, ia hanya bisa memeluk kembali kedua lututnya, dan diam-diam tersedu dalam kesunyian ruang.
***
Bunyi pesan masuk dan dering panggilan yang terus menari-nari di layar gawai, tidak cukup untuk membuat Andreas tergerak meraih ponsel bergetar itu dari atas nakas. Masih dengan posisi tengkurap menghadap bantal, pria itu enggan membuka mata sekalipun nada dering panggilan yang sama sudah mengusiknya cukup lama.
Tanpa melihat langsung nama kontak yang tertera di layar, Andreas tahu bahwa hanya Antonio lah yang sanggup bertingkah menyebalkan sepagi ini untuk mengganggu waktu istirahatnya. Apalagi semenjak semalam Andreas telah menyepelekan pesan dan panggilan beruntun dari lelaki paruh baya itu.
Setelah dering panjang tak berkesudahan tersebut, ponsel yang terus meneriakan panggilan dari nomor yang sama itu pun berhenti dengan sendirinya. Pertanda bahwa penelepon di seberang sana sudah mencapai batas akhir dari kesabaran.
Namun batas akhir kesabaran itu rupanya tak menghentikan kekeras kepalaan Antonio untuk tak melepaskan kebejatan putranya begitu saja. Maka sebagai ganti, pria setengah baya itu memutuskan untuk datang langsung ke apartemen Andreas di tengah-tengah waktu sarapan. Mengkonfrontasinya dengan seluruh gejolak murka yang ada."Kamu benar-benar sengaja ingin melemparkan kotoran ke muka Papa dan keluarga Sanjaya, hah?! Apa yang sedang ada di otak keparat kamu sampai nekat melakukan hal memalukan seperti itu?!"
Andreas menyesap kopi hitamnya dalam diam, membiarkan Antonio berteriak sepuas hati memuntahkan semua amarahnya.
"Aksi gila kamu bahkan tertangkap mata orang-orang direksi dan klien penting yang juga ada di sana! Mau ditaruh di mana nama baik Pramoedya kalau berita ini sampai menyebar luas? Apa kamu tidak memikirkan resiko ke depan sampai sejauh itu, hah?"
Andreas masih bergeming menikmati rasa pahit kopi yang mengaliri kerongkongannya.
"Dan kamu tahu apa bagian yang paling membuat Papa nggak habis pikir dengan jalan pikiran sialan kamu itu, Deas? Berani-beraninya kamu menukar kesetiaan Namira dengan berciuman bersama jalang rendahan yang entah kamu pungut darimana!"
"Apalagi mempertontonkan aib tersebut di depan umum tanpa pikir panjang! Ke mana otak kamu, Deas?"
"Apa kamu nggak memikirkan sedikitpun bagaimana perasaan mendiang istri kamu dan keluarganya kalau sampai tahu kejadian ini?"Andreas meletakkan cangkir kosong yang selesai mengisi sarapan paginya. Melirik pada Antonio di seberang meja yang masih terbakar amarah, Andreas berujar tenang. "Tidak perlu repot-repot bersimpati pada orang yang sudah mati, apalagi saat tubuh mereka sudah terkubur beberapa meter di dalam tanah. Percayalah, itu hanya akan buang-buang waktu."
"Andreas!"
"Lagipula aib yang anda sebutkan tadi tidak akan berpengaruh banyak pada keluarga Sanjaya selama hal itu tidak mengusik karir politik dan kesejahteraan brangkas harta mereka."
"Anak sialan---"
Bangkit dari kursi seraya tak mengindahkan teriakan menggelegar Antonio, Andreas melanjutkan kalimatnya. "Kalau tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, saya pamit berangkat sekarang. Ada rapat evaluasi bulanan pagi ini yang tidak boleh saya lewatkan."
Pria itu kemudian meraih jas abu-abu dan tas kerja yang terletak tak jauh dari jangkauannya. Bersiap melangkah keluar dari ruang perdebatannya bersama Antonio. Ia tidak ingin urusan dan jadwal pentingnya di pagi ini harus terhalangi oleh pertikaian tak penting mereka di meja makan.
"Kamu dan wanita itu benar-benar tak ada bedanya," Antonio berujar sinis saat Andreas hendak beranjak dari hadapannya. Dengan raut menantang, ia menyorot tajam ke arah lelaki yang masih memasang raut tak peduli tersebut. "Kalian berdua memang persis sama. Sangat serupa. Tidak heran, darah memang selalu lebih kental dari air, kan? Menjadi benalu dan pengacau selalu ada dalam nadi keturunan menjijikan seperti kalian."
Mendengar itu, ujung bibir Andreas terangkat tipis. "Terima kasih. Saya akan menganggap itu sebagai pujian," tuturnya, sembari meneruskan langkah meninggalkan Antonio yang kembali tersulut memaki dan menyerapahinya di belakang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels
Romansa[On going] Andreas Pramoedya tak pernah membiarkan siapapun mengusik ranah pribadinya. Sikap dingin dan tertutup pria itu makin tak tersentuh saat Namira istrinya memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan tragis. Kematian Namira yang penuh tragedi, s...