Bab 49. Dia yang Hancur

291 27 3
                                    

Rena menatap dreamcatcher yang berayun pelan dicumbu semilir angin sore. Tergantung pada jendela terbuka tak jauh di depannya. Ia merasa cukup puas walaupun tampilan benda itu tak secantik yang biasa ia temukan di toko-toko.

Lagipula untuk ukuran pemula seperti dirinya, penangkal mimpi itu cukup terlihat mengagumkan meski hanya didesain ala kadarnya dengan alat dan bahan seadanya. Benang rajut, lingkaran kayu, solasi warna, lem tembak, gunting, dan bulu kemoceng, tidak sulit baginya menemukan kumpulan benda itu dengan sedikit bantuan Mbok Irma.

Rena memeluk tubuhnya sendiri sembari merapatkan jarak pada jendela berkusen lebar di hadapannya. Membiarkan gerakan rumbai-rumbai piringan penangkal mimpi itu menyapu kepalanya saat kembali tertiup angin. 

Berbanding terbalik dengan kamar yang ia tempati, ruangan ini tidak memiliki balkon luar dan hanya dihiasi empat jendela besar berdampingan menghadap langsung ke arah barat mata angin, memungkinkan sinar matahari sore secara leluasa merangsek masuk menudungi kepalanya. 

Rena melayangkan pandangan ke arah halaman belakang dari tempat ia berpijak. Sebuah bangku kayu berukuran lebar dinaungi deretan pohon bugenvil ungu membentuk setengah kubah di bawah sana, menjadi saksi pembicaraan mendalam antara ia dan Mbok Irma kemarin sore. 

Ia memutar mundur jarum ingatan ketika Mbok Irma mengajaknya duduk di bangku itu, setelah suasana canggung bersih-bersih yang dilakukan keduanya usai Rena menemukan buku harian tua milik seseorang yang terlalu tabu diungkit keberadaannya, tidak hanya untuk Mbok Irma sendiri, tapi juga bagi siapapun yang ada di lingkup rumah villa ini.

Meskipun terlihat didasari perasaan ragu, wanita paruh baya itu tetap menepati janjinya pada Rena, membagi kisah pahit yang terlalu segan untuk digali kembali.

"Rahayu Setiawan." Mbok Irma mulai menerawang dengan senyum pahit terulas di bibirnya. "Nama yang secantik parasnya."

"Wanita yang bahkan terlalu muda untuk sepantaran usianya menyandang status seorang istri dan ibu. Mbok bahkan nggak pernah lihat binar hidup di matanya sejak hari pertama bekerja di tempat ini."

Rena mendengarkan dalam hening tanpa berniat sedikitpun menyela. Ia berusaha meraba-raba ke mana hilir percakapan ini akan bermuara.

"Ada yang bilang, pohon pernikahan yang ditanam dengan cinta dan ketulusan di tanah subur pun, suatu saat bisa layu berujung mati jika tak pernah lagi dipupuk dan terawat oleh pemiliknya."

"Apalagi untuk ukuran pohon pernikahan yang ditanam paksa di tanah yang tandus? Tak perlu menunggu jeda hari untuk membuatnya mati dalam kekeringan."

"Mungkin itu yang bisa Mbok ibaratkan atas pernikahan Tuan dan Nyonya yang dibangun hanya berlandaskan nama baik keluarga karena tak ingin tercoreng oleh aib kehamilan di luar nikah. Terlebih lagi jika janin yang tercipta itu hadir karena pemaksaan sepihak. Bisa bayangkan bagaimana perasaan sang korban harus tinggal serumah berbagi waktu seumur hidup dengan seseorang yang meninggalkan trauma teramat mendalam baginya?" 

"Korban?" Rena menautkan alis tak mengerti.

"Pemerkosaan...." Mbok Irma berujar sendu. "Kesalahan fatal terbesar yang pernah dilakukan Tuan Antonio di masa muda. Bahkan sempat akan menghancurkan masa depan laki-laki itu jika saja jalur mediasi antar kedua keluarga harus berujung hukum."

Rena tak tahu tubuhnya sudah sekaku apa mendapati satu fakta yang menghantam secara tak terduga. Ia bahkan kehilangan kata-katanya sendiri untuk merespon kalimat mengejutkan yang baru saja dilemparkan wanita itu.

"Walau bukan berasal dari kalangan terpandang seperti keluarga Pramoedya, orangtua Nyonya Rahayu yang berlatar sebagai tenaga pendidik yang sangat mengagungkan nama baik di atas segala-galanya, akhirnya lebih memilih pernikahan sebagai jalan tengah paling mungkin. Daripada membiarkan anak mereka harus berujung menambah aib keluarga, melahirkan bayi dari seorang ayah yang berstatus napi." Mbok Irma melanjutkan tanpa memudarkan raut sendunya.

"Mbok memang tidak memahami serinci mungkin tentang masa lalu pernikahan Tuan dan Nyonya, dan hanya mendapatkan sekilas cerita tentang masa kelam mereka dari orang-orang yang bekerja lebih lama di tempat ini. Tapi satu hal yang sangat Mbok sesali, adalah harus melihat Den Andreas tumbuh menjadi korban kebencian dari sosok yang harusnya melimpahi dia dengan cinta dan kasih sayang."

Rena bisa lihat bagaimana kabut basah membayang di mata wanita paruh baya itu. Hingga tanpa sadar, hatinya juga ikut dibuat tercubit.

"Tidak ada seorang anak yang dapat memilih ingin terlahir dari rahim siapa dan dalam kondisi keluarga bagaimana. Bahkan jika itu adalah sebuah kesalahan, seorang anak tetap layak mendapatkan cinta orangtuanya. Karena bukan mereka sendiri yang meminta dilahirkan ke dunia dan dianggap aib oleh kesalahan yang justru tak pernah mereka lakukan."

"Tapi kebencian Nyonya sudah terlalu mengakar kuat untuk melihat sisi itu. Dorongan trauma masa lalu dan perilaku ringan tangan Tuan, semakin menutup hatinya untuk menyadari dan melihat bentuk cinta lain yang mungkin saja bisa menjadi obat kesakitannya. Yang bisa dia temukan pada seorang putra yang selalu memandangnya penuh ketulusan."

"Kebencian itu...," lirih Rena. "Apa sampai juga menjurus pada sentuhan fisik?" Ia berusaha menahan getar bibirnya ketika tulisan-tulisan yang menyebutkan luka dan tamparan di buku harian tersebut melintasi ingatannya.

Mbok Irma mengangguk samar. Tatapannya kini beralih ke arah kolam ikan yang mulai dijatuhi satu persatu dedaunan kuning gugur diterpa angin. "Setiap kesakitan yang ditinggalkan Tuan Antonio, akan dibayar lunas oleh anaknya setiap kali Nyonya terlalu frustasi mencari pelampiasan."

"Satu memar dibayar satu memar, satu luka untuk satu luka, semua sudah jadi makanan hari-hari untuk Den Andreas," timpal Mbok Irma dengan seulas senyum pahit yang  kembali membuat hati Rena semakin teremas.

"Bahkan puncaknya setelah pertengkaran hebat Tuan dan Nyonya  di umur Den Andreas yang ke tujuh tahun, nyaris membuat anak itu berakhir celaka, jika saja salah satu dari pekerja rumah terlambat melerai amarah Nyonya yang nyaris membunuh anaknya sendiri dengan satu cekikan tangan."

"Sa-sampai sebegitunya?" gagap Rena dirundung gusar.

Mbok Irma kembali mengangguk. "Tapi luka fisik dan penyiksaan apapun rasanya belum sebanding dengan luka batin yang dirasakan anak umur tujuh tahun itu, saat menyaksikan dengan mata kepala sendiri ibunya tewas menggantung diri di langit-langit kamar, usai seminggu yang lalu nyaris membunuhnya."

Mbok Irma kini beralih menatap Rena dengan genangan air mata yang siap tumpah dalam satu kerjapan. Sedangkan Rena sudah mematung kaku kehilangan suaranya. "Dia bahkan nggak menangis sedikitpun waktu mengantarkan ibunya ke liang peristirahatan terakhirnya. Karena air mata dan mentalnya sudah luluh lantah tak bersisa di hari di mana dia ditinggalkan dengan cara paling menyakitkan."

Wanita itu meletakkan sebelah telapak hangatnya menyentuh punggung tangan Rena.

"Makanya saat pertama kali Mbok mendengar berita kematian tentang istrinya dari Den Lukman, Mbok ikut terluka diam-diam karena untuk kedua kalinya harus ikut melihat anak itu ditinggalkan dengan cara kesakitan yang sama."

"Dari luar, dia mungkin akan terlihat baik-baik saja. Tapi jauh di dalam sana...." Mbok Irma meremas punggung tangan gadis itu dengan perasaan gulana. 

"Anak itu mungkin benar-benar sudah hancur dan tak tertolong."

Rena makin mendekap erat tubuhnya bersamaan dengan ingatan sore kemarin teramat membekas di benaknya. Bola mata coklat madu itu kini berlabuh pada penangkal mimpi yang tergantung di atas kepalanya.

"Apa mimpi buruk kamu malam itu juga bagian dari kenangan menyakitkan di masa lalu?" monolog Rena pada keheningan.

"Kalau memang sebegitu menyiksa, kenapa kamu masih mempertahankan rumah ini dan semua kenangan pahit di dalamnya, ketika kamu sendiri tahu itu hanya akan menyakitimu lebih dalam lagi?"

"Kamu ... benar-benar orang yang rumit, Andreas."

Head Over HeelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang