Bab 41. Untuk Sekali Saja

302 35 3
                                    

Rena tak pernah merasakan ketakutan sebesar ini saat berhadapan dengan tatapan murka seseorang yang menghujamnya begitu mengerikan. Netra itu seolah menyimpan kemarahan besar seolah siap melenyapkan atau mematahkan pergelangan tangannya jika ia sedikit saja salah bersuara. Apalagi melihat bagaimana tubuh itu menjulang di atasnya dengan raut penuh intimidasi, semakin membuat Rena terperanjat bisu tanpa kata.

"Apa yang kamu lakukan, Sialan?!" desis lelaki itu tajam. Remasan kian bertambah kuat pada pergelangan tangannya, berhasil meloloskan ringisan kesakitan dari getar bibir Rena. Tapi ia terlalu takut untuk sekedar mengucap sepatah kata. 

"Jawab!" sentak Andreas kembali saat tak mendapat jawaban apapun.
Mendengar itu, Rena kembali terperanjat dengan bibir makin mengatup rapat. Hingga tanpa sadar, satu tetes air mata pun jatuh meluruh dari pelupuknya karena rasa takut yang tiba-tiba melanda. Hal yang justru membuat pria di hadapannya sontak terperangah.

"Bangsat!" Andreas memaki pelan begitu sebuah kesadaran berhasil membawanya kembali berpijak ke dunia nyata, sesaat setelah semua hal mengerikan apa yang baru saja dilewatinya di alam bawah sadar sana. Menghempas tangan yang sempat berada dalam cengkeramannya, pria itu segera menarik diri dan melangkah mundur mengurai jarak tipis di antara mereka.

Ia mengusap kasar wajahnya dengan frustasi. Sesekali makian atau umpatan terdengar meluncur keluar dari mulutnya. 

Sementara Rena yang berhasil terlepas dari rasa sakit di pergelangan tangan---yang mulai menampakan bekas kemerahan akibat jejak remasan Andreas, masih terduduk bungkam menyorot pria itu dalam keheningan. 

Apalagi ketika kedua matanya secara tak sengaja menangkap jejak peluh makin membanjiri wajah serta tubuh bagian atas lelaki itu, terlihat dari cetakan keringat pada bahu kemejanya. Bersamaam dengan helaan napas berat setengah terengah yang kentara menunjukkan kondisi tidak baik-baik saja dari sosok tersebut. Sehingga untuk seketika, berhasil menghapus sejenak semua rasa takut Rena berganti menjadi kekhawatiran.

"Pergi," perintah Andreas tanpa menoleh ke arahnya. Tapi Rena yang terlalu fokus menelusuri keadaan laki-laki itu, justru tak sempat mendengar atau menggubris titah yang Andreas ucapkan. Dan memilih menatap lurus sosok yang berdiri tak jauh di depannya itu dengan penuh pertimbangan.

"Apa kamu tuli?!" bentak Andreas ketika tak mendapatkan respon berarti. "Saya suruh kamu pergi dari sin---"

"Panas," potong Rena dengan spontan, tanpa sempat berpikir panjang. "Badan kamu ... panas."

Ia bahkan sudah lupa dengan ketakutan yang dirasakannya tadi, dan justru mengumpulkan keberanian membalas tatapan lekat Andreas. Karena ada hal jauh lebih penting sekarang tengah berputar di kepalanya. "Kamu demam. Badan kamu sangat panas."

Gadis itu berdiri dari sofa, melangkah perlahan dan hati-hati mendekati Andreas. Ketika keduanya sudah berdiri saling berhadapan dalam rentang jarak satu langkah, meski didasari sedikit keraguan, ia memberanikan diri mengulurkan tangan seraya berjinjit mendaratkan telapaknya pada dahi lelaki itu. Hal yang refleks membuat Andreas terkesiap mundur.

"Kamu sempat menggigil dalam tidur. Keringat kamu bahkan sampai sebanyak itu, suhu badan kamu terlalu tinggi untuk sekedar dianggap demam biasa---"

"Selain berpura-pura tuli, ternyata kamu juga cukup idiot memahami perkataan orang lain." Andreas menepis tangan yang berusaha kembali menyentuh dahinya dengan kasar. Memilih kembali mengatur jarak di antara mereka sejauh tiga langkah.

Rena menggeram dalam hati. Sebenarnya ia bisa saja mengabaikan Andreas dan membuang jauh-jauh rasa empatinya ketika melihat kondisi tubuh lelaki itu yang tampak tak baik-baik saja. Namun sekali lagi, hati nurani sialannya yang sulit diajak bekerjasama, terpaksa menahan keinginan Rena untuk bersikap tak peduli.

Jadi bukannya merasa tersinggung atau kembali terintimidasi, Rena justru memilih mengikuti apa yang hatinya titahkan. "Di kotak obat yang kemarin ada beberapa pilihan tablet penurun panas yang bisa diminum. Mungkin kompresan air dingin juga bisa sedikit membantu mempercepat prosesnya. Selain itu, hanya perlu ditambah istirahat cukup supaya besok nanti kondisi kamu sudah jauh lebih baik."

"Kamu bisa minta Pak Umar atau Mbok Irma mencari kontak dokter terdekat di sekitar sini besok pagi. Tapi sebelum itu, kamu harus mencoba meredakan sedikit panas di tubuh kamu dulu."

"Saya masih meminta kamu pergi dengan cara baik-baik. Jadi pakai otak tumpul kamu untuk memahami itu," balas Andreas sengit. Ia benar-benar terusik dengan kekeras kepalaan gadis di hadapannya.

"Saya bantu ambil obat yang kamu butuhkan. Dan mungkin juga baskom air dingin untuk mengompres panas suhu badan kamu." Rena mengabaikan ancaman tersebut.

"Saya tidak pernah memberi kelonggaran pada siapapun, bahkan untuk ukuran perempuan seperti kamu sekalipun. Jadi buang saja semua omong kosong itu. Karena apapun kondisi saya saat ini, sama sekali bukan urusan kamu." 

"Kamu mau air mineral yang dingin atau suam-suam kuku untuk dipakai minum obat? Kalau kamu juga butuh mengisi perut sebelum itu, masih ada banyak makanan di kulkas yang bisa saya panaskan."

"Sialan, Serena! Apa kamu benar-benar ingin menguji saya?!" Andreas menyambar lengannya dengan kasar. Melayangkan tatapan menusuk, bukti dari kesabarannya yang mulai menipis. "Saya sedang tidak bermain-main memperingatkan kamu!"

"Kamu sudah kelihatan nyaris tumbang seperti itu, kenapa harus keras kepala, sih?!" bentak Rena tak kalah geramnya. Balasan yang serentak membuat keduanya sama-sama terkejut oleh ketidakpercayaan.

Rena yang tak menyangka mampu menyalak selancang itu, diam-diam merutuk dalam hati karena telah berani menyiram bensin pada api kemarahan Andreas yang sedang tersulut. Sementara Andreas sendiri yang tak menyangka akan mendapat balasan seperti itu, hanya mampu tertegun.

Rena tahu ia telah jauh menjatuhkan diri pada masalah baru, menantang Andreas dengan keberanian atau mungkin sikap pura-pura beraninya barusan, adalah sebuah tindakan paling bodoh. Tapi menyesali dan memilih mundur pun, ia tahu sudah terlanjur terlambat dan tak ada gunanya. Apalagi setelah perkataan ngotot berbalut kelancangan yang baru saja ia lemparkan. 
 
"Jangan menguji saya." Andreas kembali bersuara setelah kertediaman cukup panjang di antara mereka. Meskipun nada bicaranya sudah tak sekeras tadi, tapi masih ada ketegasan yang bisa Rena tangkap di baliknya. "Berhenti jadi keras kepala dan dengarkan saja. Karena saya tidak tahu sejauh mana batas kesabaran saya akan mampu menghadapi kamu."

"Nanti." Rena menimpali dengan dagu terangkat yakin. Ikut menegaskan kegigihan di matanya. "Kamu bisa memberi perhitungan pada saya nanti." 

Entah mendapat keberanian dari mana, gadis itu ingin sekali bertepuk tangan dan memberikan penghargaan pada sikap pura-pura tangguhnya setelah cukup bernyali membalas ucapan Andreas, meskipun kakinya saat ini sudah seluntur jelly karena mati-matian menyembunyikan rasa gugup.

"Tapi sebelum itu, biarkan saya menyelesaikan apa yang harus saya lakukan," imbuh Rena seraya menurunkan cengkeraman Andreas dari lengannya. Yang anehnya dibiarkan pria itu begitu saja tanpa perlawanan. 

"Jadi tolong. Hanya untuk saat ini," pinta Rena sungguh-sungguh.

"Melunaklah sedikit saja dan biarkan saya membantu kamu." Kemudian tanpa menunggu jawaban atau persetujuan, Rena pun memutar langkah beranjak dari sana. Menuju tangga yang akan membawanya turun ke lantai bawah. 

Meninggalkan Andreas yang masih bergeming hening di tempatnya. Memandang lekat dalam bungkam punggung gadis itu hingga benar-benar hilang sepenuhnya dari jangkauan mata.

Head Over HeelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang