Taman samping dengan saung kayu jati dinaungi pohon-pohon flamboyan berbunga cukup rindang, selalu menjadi tempat ternyaman Mateo menghabiskan sisa senja untuk mengusir suntuk. Entah hanya sekedar membaca beberapa lembar halaman buku falsafah hidup, mengikuti perkembangan berita terbaru dari layar mini tablet miliknya, atau sekedar memberi pakan pada kumpulan koi dalam kolam berundak batu alam seperti apa yang bisa Andreas lihat ketika ia mengayun langkah mendekat.
Sebuah cerutu dengan asap mengepul terselip di bibir keriput lelaki tua itu, satu kebiasaan yang sulit hilang sekalipun paru-paru rentanya berteriak kewalahan. Andreas tak perlu heran darimana ia mewarisi kebiasaan candu menyecap batang nikotin setiap kali ia merasa kalut, mengingat kakeknya sendiri adalah pencetus nomor satu menurunkan kebiasaan memuja racun karsinogen itu.
Derit kayu terdengar sesaat setelah Andreas ikut mendaratkan diri ke atas saung tempat Mateo masih bergeming duduk. Dirogohnya bungkusan rokok yang selalu ia kantongi ke mana pun, kemudian menyalakan pemantik dan menyesap ujung batang di tangannya. Seiring asap tembakau itu berembus membelah udara, Andreas menjatuhkan pandangan pada riak air ketika kumpulan koi di bawah sana saling berebut jatah pakan yang dilemparkan Mateo.
"Melihatmu masih bernapas dengan tenang setelah semua kekacauan yang terjadi, sepertinya nyalimu terbilang cukup besar untuk menginjakan kaki ke rumah ini tanpa beban apapun."
Ujung bibir Andreas melengkung tipis mendapati kalimat sindiran telak yang dicetuskan Mateo tanpa basa-basi. Benar-benar sebuah sambutan selamat datang yang menarik.
Menyanggah kedua tangan ke belakang tubuh, Andreas mendongak menatap magenta petang yang mungkin sebentar lagi surut digantikan kelabu malam. Sebelum berujar membalas ucapan sarkas tersebut. "Sebenarnya rasanya tidak setenang itu, mengingat seorang Mateo Pramoedya tidak akan pernah membuat segala sesuatu berjalan mudah." Ia melirik sekilas ke arah lelaki tua di sampingnya. "Termasuk permintaan kunjungan makan malam keluarga seperti ini."
"Ya, dan kamu datang satu jam lebih awal dari waktu yang seharusnya." Mateo beringsut dari posisi semula, melepaskan kotak pakan dari genggamannya. "Tapi mungkin itu lebih baik, karena setidaknya kita punya cukup banyak waktu untuk berbicara dengan santai."
Andreas tahu tidak akan pernah ada pembicaraan santai jika berhadapan langsung dengan Mateo, sekalipun pria itu dengan sendirinya mengatakan demikian. Karena makna obrolan santai yang terpatri di benak keduanya sudah pasti berbeda jauh satu sama lain. Bagaimanapun juga, kakeknya adalah sosok yang sulit untuk ia prediksi isi kepalanya.
"Katakan saja," tembak Andreas langsung. Ia juga tahu bahwa Mateo bukan tipe manusia yang gemar berbasa-basi. "Penjelasan mana yang ingin Kakek dengar lebih dulu? Skandal yang telah menyebar luas selama hampir sebulanan ini? Atau berita pemberhentian saya dari jabatan eksekutif Ciputra?"
Mateo memposisikan diri bersandar ke kolom pembatas saung seraya meraih secangkir teh linden yang sedari tadi juga menemani waktu senggangnya. "Tidak keduanya, Deas. Tujuanku memintamu berkunjung kemari bukan untuk sebuah penjelasan."
"Kamu meremehkanku kalau berpikir aku terlalu buta untuk mengetahui setiap detail tindak-tandukmu di luar sana."
Andreas sama sekali tidak merasa terkejut mendengar penuturan sarkastik Mateo yang sarat makna mendalam, karena pria itu selalu mampu melakukan apa saja yang ia inginkan, termasuk menggali apapun tentang ruang geraknya selama beberapa minggu belakangan ini. Meskipun ia masih perlu meraba dan mewaspadai sejauh mana lelaki itu mengetahui segalanya. Berbeda dengan Antonio, kakeknya ini adalah sosok yang selalu harus Andreas perhitungkan.
"Aku membebaskanmu bertindak sesuka hati selama ini bukan berarti tanpa batasan, Deas," ujar Mateo masih dengan raut terulas tenang. "Terlebih jika hal itu sudah menyangkut nama baik keluarga Pramoedya, tentu tidak mungkin bagiku hanya memantau kembali dalam diam tanpa turun tangan, bukan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels
Romance[On going] Andreas Pramoedya tak pernah membiarkan siapapun mengusik ranah pribadinya. Sikap dingin dan tertutup pria itu makin tak tersentuh saat Namira istrinya memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan tragis. Kematian Namira yang penuh tragedi, s...