"Selama satu minggu di sana, Pak Remond akan secara langsung memenuhi semua akomodasi dan kebutuhan anda. Jika memerlukan sesuatu, anda hanya perlu mengontak Beliau."
"Terkait masalah akses jaringan yang cukup sulit, akan ada petugas penginapan yang bersedia mengantarkan anda ke pemukiman lebih ramai yang cukup ramah signal kalau diperlukan."
"Saya akan selalu rutin melaporkan perkembangan perbaikan mesin produksi pabrik di Tangerang melalui laman surel, dan bisa anda pantau dari sana setiap rinciannya ketika mendapatkan akses jaringan memadai."
"Vitamin dan obat dari dokter kemarin-kemarin, sudah saya sisipkan ke salah satu kantung bagian dalam koper. Anda mungkin masih membutuhkannya, mengingat kesehatan anda juga belum pulih sepenuhnya."
"Ada tas kecil serbaguna berisi perlengkapan P3K juga yang sudah saya masukan tadi ke dalam koper sebagai pertolongan pertama kalau ada kecelakaan kecil tak disengaja. Atau buat jaga-jaga kalau misalnya---"
"Lukman." Andreas memotong ucapan panjang lebar personal asistennya itu di sebelah sambungan panggilan. "Saya hanya satu minggu meninjau lokasi proyek dan menyelesaikan kendala sengketa tanah di sini, bukan sedang dikirim ke perbatasan Suriah atau lokasi antah berantah manapun."Lukman yang mendapat respon dingin tersebut, jadi salah tingkah sendiri. "Ma-maaf, Pak. Saya hanya khawatir karena tidak bisa mendampingi anda secara langsung. Apalagi kesehatan anda belum---" Lukman spontan mengatup mulutnya rapat-rapat karena mendengar dengkusan samar Andreas ketika ia nyaris kembali keceplosan mengungkit hal serupa. Tingkahnya benar-benar sudah mirip istri kedua saja.
"Ka-kalau begitu saya pamit tutup teleponnya. Pak Remond bisa diandalkan jika ada hal lain yang mungkin Bapak butuhkan." Kemudian dengan tampak terburu-buru, bunyi panggilan diakhiri menjadi penutup dari pembicaraan singkat mereka.
Andreas mendesah sepintas seraya menumpukkan kedua tangannya ke belakang menyangga tubuh, usai mengantongi kembali ponsel ke saku jaket denim yang ia kenakan. Lelaki itu duduk di undakan anjungan tempat pantai Losari didirikan. Melabuhkan pandangan lurus menatap hamparan biru laut bermandikan cahaya matahari sore tersaji di depan sana.
Langit jingga yang membingkai senja, menunjukkan sudah cukup lama waktu bergulir ketika sesaat lalu ia menginjakkan kaki ke pantai di pusat kota Makassar ini. Tapi rupanya pria itu masih enggan untuk segera beranjak dari posisinya. Dan memilih bergeming mengudut satu dua batang tembakau. Menikmati desir angin dan belaian suara ombak sedikit lebih lama.
Masjid 99 kubah yang berdiri megah di lahan reklamasi tepi pantai di seberang jarak pandangnya, menjadi salah satu panorama yang baru pertama kali dilihat Andreas setelah cukup lama tak menginjakkan kaki ke kota Daeng tersebut. Selain untuk kunjungan kerja, mungkin bisa dibilang ini adalah satu-satunya hari di mana ia menikmati sedikit keindahan Kota Makassar, setelah lebih dari dua puluh tahun lalu mengunjunginya bersama Antonio sewaktu daerah itu masih bernama Ujung Pandang.
Bangunan masjid unik di kejauhan, terlihat seperti kue tart raksasa berwarna cerah yang mengerucut ke atas, dengan kubah-kubah berukuran sedang di desain melingkar pada setiap sisi tingkat bangunan, dan satu kubah berukuran paling besar menaungi puncaknya.
Sentuhan warna merah, oranye, hingga kuning di setiap arsitekturnya, membuat masjid itu tampak paling mencolok di antara bangunan-bangunan tinggi kota lainnya. Terlihat selaras dengan masjid terapung terbesar di provinsi atau mungkin Pulau ini. Dan Andreas cukup menikmati pemandangan baru itu untuk menjadi pelepasan dari rasa penat, selain langit menguning oleh senja di garis cakrawala.
Setelah mendarat cukup pagi di bandar udara Sultan Hasanuddin bersama Remond Hartanto untuk kunjungan proyek kali ini, lelaki itu menjadikan waktu luang tersisa dengan beristirahat di kamar hotel sepanjang siang, kemudian mencari sedikit udara segar dengan berjalan-jalan sore mengelilingi kawasan pantai Losari tak jauh dari hotel persinggahannya. Sebelum nanti berjam-jam kemudian, ia harus kembali disibukkan oleh perjalanan panjang menuju daerah terpencil dari lokasi proyek tujuan.
Kurang lebih 20 menit ia bergeming di posisi itu sampai akhirnya senja sudah menyusut digantikan kelabu malam yang mulai meraja. Lampu-lampu kota di pesisir pantai yang terlihat memantulkam cahaya dari permukaan air laut yang berbatasan dengannya, mengingatkan Andreas bahwa sudah waktunya ia memutar badan beranjak dari sana. Apalagi rekan kerjanya Remond Hartanto sudah dua kali menghubungi untuk mengajaknya bergabung makan malam bersama petinggi lain dari anak perusahaan Ciputra di kota ini.
Di sepanjang jalan menuju tempat parkir, Andreas masih bisa menangkap kasak-kusuk beberapa orang yang berpapasan dengannya. Tatapan menilai dan juga mungkin keterkejutan, tak segan mereka tunjukkan ketika merasa tidak asing setiap kali menatap ke arah lelaki itu.
Ya, sepertinya pemberitaan media terkait klarifikasi skandal kemarin, cukup menjadikannya sebagai pusat perhatian orang banyak. Bahkan ke bagian selatan pulau Sulawesi sekalipun.
"Pramoedya. Dia Andreas Pramoedya yang itu.""Suami dari mantan artis terkenal yang bunuh diri nabrak tol kemarin-kemarin, kan? Kok bisa ada di sini?"
"Aslinya ternyata jauh lebih ganteng, ya, daripada di TV kemarin."
"Apaan! Percuma juga ganteng kalo kelakuan minim moralitas kayak gitu. Lagian yang namanya cowok ganteng di dunia ini cuma ada dua spesies. Kalau bukan belok jadi pemuja tumbuhan berbiji, ya ujung-ujungnya pasti brengsek."
"Hush, jangan keras-keras, nanti kedengaran orangnya."
Andreas mengabaikan setiap bisikan bercampur hujatan samar itu. Tak mengambil pusing sedikit pun. Ia dengan tenang melanjutkan langkah menuju kendaraan terparkir yang disewakan salah satu orang perusahaan selama kegiatannya di sini. Jarum jam sudah menunjuk pukul setengah tujuh malam, menandakan bahwa dirinya memang sudah terlalu lama berada di tempat ini sedari sore.
Pria itu baru saja mengeluarkan kunci mobil dari saku jaket denim, namun gerakannya membuka pintu terurungkan saat tatapan matanya justru terpaut pada gerai kerajinan tangan dan oleh-oleh khas kota tak jauh dari posisi ia berdiri.
Sebuah benda mungil berkilau diterpa lampu kios kecil digantung berjejer dengan cenderamata lain, entah kenapa sedikit menarik atensinya. Alih-alih masuk duduk ke kursi belakang kemudi, ia memutuskan mengayunkan langkah menuju apa yang menjadi pusat fokus netranya saat ini.
Lelaki itu menatap kalung emas putih dengan bandul berbentuk matahari yang sempat menyita perhatiannya dari kejauhan, sesaat setelah kakinya berhenti di depan gerai. Aksesoris tersebut tampak menjadi satu-satunya yang berbeda, sangat kontras bersanding di antara kalung dan gelang hand made tergantung memanjang di bagian paling luar. Dan tanpa sadar, jemarinya sudah bergerak menyentuh bandul berukiran cantik itu.
"Buat pacarnya, ya, Bang?" penjaga gerai yang merupakan pemuda berusia pertengahan dua puluhan, menginterupsi Andreas, sehingga membuat pria itu menurunkan tangannya pada buah kalung tersebut.
"Eh, atau jangan-jangan buat istrinya, ya?" Lelaki itu tak sengaja melirik cincin yang melingkar di jemari kiri Andreas. Lalu langsung mengasumsikan bahwa pelanggan yang datang berkunjung ke gerainya ini mungkin saja sedang mencari oleh-oleh untuk sang istri.
Andreas berdeham samar, seraya membuang pandangan ke arah cenderamata lainnya. "Saya hanya lihat-lihat."
"Ohhhh." Pemuda itu membulatkan mulutnya pertanda paham. Lalu kembali tersenyum seramah mungkin."Ya udah, Bang. Tapi kalau sekiranya tertarik, jangan sungkan panggil saya di belakang ya."
Kemudian anak muda itu sudah berbalik masuk dan duduk di kursi belakang etalase menonton siaran entah apa dari ponselnya.
Sementara Andreas kembali melayangkan tatapan pada kalung emas putih yang tergantung di atas kepalanya. Alisnya menukik tanda berpikir keras. Setelah butuh pertimbangan cukup panjang, ia akhirnya mendesah sekilas, kemudian mengambil kalung tersebut dan membayarnya.
Gadis itu menghadiahinya sebuah piringan penangkal mimpi, jadi mungkin tidak ada salahnya kalau ia sedikit bermurah hati.
Lagipula kalung matahari ini ia rasa tidak buruk juga.

KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels
Romantizm[On going] Andreas Pramoedya tak pernah membiarkan siapapun mengusik ranah pribadinya. Sikap dingin dan tertutup pria itu makin tak tersentuh saat Namira istrinya memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan tragis. Kematian Namira yang penuh tragedi, s...