Bab 29. Keindahan

336 36 1
                                    

Andreas mengancingkan kemeja berwarna terakota yang akan ia kenakan. Meski waktu baru tergolong subuh hari, dengan langit fajar belum sepenuhnya menguning menyongsong pagi, pria itu sudah tampak lebih segar dengan rambut basah dan aroma mint pasta gigi setelah keluar dari kamar mandi beberapa belas menit yang lalu.

Selesai berpakaian lengkap, ia pun beranjak menuju sisi sebelah kiri ranjang. Hanya beberapa langkah dari pintu masuk terdapat kasur lipat yang terhampar di lantai bagian sisi tersebut, tempat di mana seseorang sedang meringkuk bagai bayi dalam selimut tengah terlelap di atasnya.

"Lukman," panggil Andreas pada sosok yang masih dibuai kantuk tersebut. 

Namun tak ada jawaban berarti Andreas dapatkan selain dengkuran halus yang lirih terdengar.

"Lukman."

Sekali lagi hanya gumaman pelan yang Andreas dengar sebagai balasan, sembari tubuh personal asistennya itu berganti posisi telentang dengan dengkuran yang kini jauh lebih besar.

Andreas berdecak pelan. Diambilnya ponsel tersemat di saku celana bahan yang ia kenakan, kemudian jarinya bergulir menyentuh layar kontak seseorang. Hanya butuh sepersekian detik sampai bunyi dering panggilan dari ponsel lain yang tergeletak di lantai dingin ruangan ini mulai meramaikan keheningan. 

Lukman yang mendengar bunyi berdering familiar itu, sontak terlonjak bangun seketika. Tangannya bergerak panik mencari-cari sumber suara mengganggu itu dengan mata masih terpejam suntuk. Saat ia berhasil meraih ponsel miliknya yang masih mendendangkan panggilan, ia dengan bergegas langsung menggeser tombol terima tanpa berpikir panjang.

"Sepuluh menit waktu yang kamu punya untuk bersiap-siap. Lebih dari itu saya tinggal."

Lukman yang merasa suara Andreas di seberang telepon terasa begitu dekat di telinganya, secara refleks membuka mata dan nyaris saja melompat kaget saat mendapati Bos-nya itu ternyata sudah berdiri menyorot tajam ke arahnya dengan ponsel menggantung di sisi telinga.

"Lainkali menyahut saat dipanggil, biar saya tidak kira kamu sedang mati suri." 

"Ba-baik, Pak. Saya minta maaf." Lukman menjawab masih dengan melalui ponsel di telinganya. 

Andreas kemudian memutus sambungan panggilan di antara mereka, lalu berjalan menuju pintu keluar karena tidak punya banyak waktu cukup tersisa jika terus berlama-lama di tempat ini. Perjalanan menuju Jakarta di pagi buta demi menghindari kemacetan, perlu dilakukan sesuai waktu yang tepat. Ada banyak kesibukan menanti yang tidak boleh ia lewatkan sedetikpun. 

Sementara Lukman yang ditinggal pergi oleh sang atasan, tak perlu menunggu perintah dua kali untuk mengumpulkan nyawa menyambangi kamar mandi secepat mungkin. Terlebih rasa keram di punggung dan lehernya akibat berbaring semalaman beralaskan kasur lipat tipis disertai udara malam bogor yang cukup menyelekit, membuat seluruh tubuhnya nyaris sekaku papan triplek. Tapi membuat seorang Andreas Pramoedya menunggu lebih lama juga bukan pilihan yang tepat.

Jujur saja, ini adalah pertama kali bagi Lukman harus tidur melantai ketika datang berkunjung ke villa ini. Karena kamar yang biasanya ia tempati harus ia ikhlaskan digunakan bermalam oleh perempuan asing yang dibawa Bos-nya kemari. Mengingat villa ini hanya memiliki lima kamar tidur saja, di mana terdapat dua kamar di lantai atas, satu kamar lagi milik pasangan suami istri penjaga villa, serta dua kamar lain di lantai bawah yang memang sengaja dibiarkan terkunci dan terlarang untuk dimasuki.

Alhasil, sepanjang malam Lukman terpaksa harus bergumul bersama dinginnya udara Bogor di kala larut dengan memeluk tubuhnya sendiri dalam selimut, beralaskan kasur setipis isi dompetnya. Mustahil, kan, kalau ia memaksa menawarkan diri untuk berbagi ranjang dengan Bos menakutkannya itu? Bisa-bisa ia digampar bolak-balik kalau nekat mengutarakan saran tak masuk akal tersebut.

Head Over HeelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang