Bab 21. Sekali Lagi Terjebak

356 27 0
                                    

"Apa-apaan itu tadi?" Mala yang belum lama sadar dari serangan kejut, dengan refleks segera mendekati Rena sesaat setelah gadis itu berpindah duduk di meja kubikelnya sendiri.

Mas Tian yang juga berada di lajur digital marketing berseberangan dengan kubikel keduanya pun ikut melemparkan tatapan penasaran serupa. Tapi Rena terlalu lelah atau mumet untuk menjelaskan secara detail apa yang sudah ia lewati sampai harus berakhir menjadi bahan panggul Direktur mereka sendiri.

Sekalipun kepergian Andreas telah berlangsung sedari 10 menit lalu, suara dan tatapan menyelidik beberapa karyawan di ruangan ini yang sempat menyaksikan sedikit keributan penuh drama itu, rasanya belum mau sirna membayang-bayangi Rena untuk beberapa waktu ke depan di jam kantor tersisa. 

Rena pun seratus persen yakin, dugaan orang ketiga akan semakin melekat kuat di belakang namanya usai pertunjukkan gila Andreas yang menyeretnya dua kali dalam pusat perhatian orang banyak. Tapi Rena sudah terlalu lelah memikirkan berbagai kemungkinan itu, karena mau dipandang dari segala sisi pun cap negatif sudah terlanjur mencoreng citra baik yang ia miliki. Alhasil ia hanya kembali menelungkupkan kepala ke meja kerja, seraya menghela napas panjang. 

"Aku padahal cuma meleng dikit ikut meeting di luar." Mala masih terlihat tak ingin melepaskan Rena begitu saja tanpa penjelasan. Apalagi dengan semua kejadian tak terduga yang matanya tangkap barusan. "Dan pulang-pulang langsung disuguhi pemandangan adegan kuli panggul oleh kamu dan Pak Andreas. Aku yang nggak punya riwayat penyakit jantung apapun lama-lama bisa ikut jadi kronis juga, Ren, kalau keseringan dikasih syok dadakan seperti tadi."

"Bukannya aku udah pernah bilang untuk menghindari jenis komunikasi apapun dengan Pak Andreas agar mencegah berbagai kemungkinan dan asusmi buruk ke depannya? Kalau udah kayak begini, nama kamu juga yang ujung-ujungnya akan kembali berakhir jelek, kan?"

Ya, Rena tahu. Sangat tahu. Ia juga berusaha seharian penuh menghindari pertemuan bahkan berpapasan secara tak sengaja dengan pria itu, jauh sebelum mengetahui ledakan dahsyat dari skandal ciumannya akan menyebar luas di masyarakat. Kepercayaan dirinya juga terpupuk karena yakin bahwa mereka berdua tak akan saling bersentuhan selama terus berada di jalur dan lantai berbeda. 

Hanya saja, permintaan Antonio Pramoedya yang secara mengejutkan tiba-tiba ingin menjumpainya, membuat Rena tak sempat berpikir panjang akan peluangnya bersinggungan kembali dengan sosok Andreas saking besar rasa panik dan cemas akibat harus menghadapi kemarahan Antonio. 

Dan dapat ditebak hasil akhir apa yang ia tuai ketika perjumpaan tak sengaja itu sekali lagi terulang. Berakhir menjadi gunjingan orang sudah pasti bagian paling utama yang harus ia terima. Karena segala sikap Andreas yang selalu seenak hati, tak akan pernah membuat segala sesuatu berjalan mudah untuknya.

Melihat betapa frustasi raut nelangsa Rena, Mala ikut menghela napas berat seraya berusaha menyapu lembut pundak gadis yang sedang tengkurap putus asa itu. Ia melirik sekilas ke arah Mas Tian yang masih tak lepas memperhatikan pembicaraan keduanya dari seberang kubikel. Meminta dengan kode tersirat pada lelaki itu membantu mengambil minuman di pantry divisi untuk menjadi sedikit penenang di tengah kemumetan masalah rekan kerja mereka.

Mas Tian yang paham situasi, tak membutuhkan waktu lama untuk segera berdiri dari kursi kerjanya. Melangkah menuju pantry, kemudian menyeduh teh hangat sebagai sarana penenang terbaik. Sedangkan Mala berusaha menemani Rena pada titik nadir perempuan itu. Menunjukkan kehadiran dirinya sebagai penguat agar Rena tak perlu merasa sendiri menghadapi kesulitan ini. Sembari sesekali juga ia tak segan melemparkan tatapan sinis pada bisik dan tatapan curi pandang dari rekan sedivisi mereka yang masih terus membicarakan Rena diam-diam.

***

Langit Jakarta yang telah menggelap ditelan kelabu malam, ternyata masih belum cukup membuat para pengincar berita yang memadati lobi utama tower perusahaan berkurang jumlahnya. Tekad mereka untuk tidak pulang dengan tangan kosong sebelum mendapat konfirmasi langsung seperti yang diinginkan, menjadikan kumpulan banyak orang itu tetap nekat menunggu di sana sampai hari berganti larut dan kondisi kantor mulai tampak lengang.

Head Over HeelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang