"Saya belum sempat menyampaikan masalah ini sewaktu anda mendarat dari Makassar kemarin. Meskipun belum ada surat panggilan resminya, tapi beberapa anggota direksi mulai mendesak para komisaris untuk mengambil sanksi tegas atas tindakan konferensi pers anda minggu lalu, yang dianggap berpengaruh merusak nama baik perusahaan di mata masyarakat."
Andreas membiarkan suara Lukman tetap terjangkau di telinganya seraya ia menuruni undakan tangga beranda. Berjalan menuju Alphard hitam miliknya yang terparkir di pekarangan.
Semenjak turun dari mobil dengan terburu-buru semalam, ia sempat melupakan pengisi daya gawainya yang tertinggal pada dashboard di dalam sana. Selain itu, ada beberapa berkas penting dari hasil negosiasi sengketa tanah kebun kakao Sulawesi yang belum ia keluarkan dari mobil setiba di apartemen kemarin.
"Para petinggi berencana sepakat melangsungkan rapat jajaran eksekutif untuk mengusulkan pemberhentian sementara anda sebagai Direktur Utama," sambung Lukman dari seberang panggilan.
"Penurunan saham perusahaan yang cukup menyentuh presentase krusial di bursa sejak foto skandal anda tersebar luas, ditambah berita klarifikasi minggu kemarin yang heboh di media massa, menjadi pertimbangan mereka untuk menindaklanjuti perkara ini dengan tegas."
"Bagian buruknya mungkin akan ada kudeta yang menginginkan pencopotan jabatan anda secara permanen. Tergantung dari hasil akhir rapat dengan pemegang saham di RUPS nanti."
Andreas bersandar pada pintu mobil, dengan ponsel masih terapit di telinga kanan. "Tidak perlu menunggu surat panggilan resmi. Minggu depan, atur pertemuan saya dengan anggota direksi maupun manajemen. Biar saya dengar sendiri permasalahan langsung dari mereka."
"Ba-baik, Pak." Lukman terdiam sejenak sebelum melanjutkan. "Apa anda baik-baik saja?" tanyanya sedikit segan.
"Maksud saya, masalah ini sangat memungkinkan membuat anda kehilangan banyak hal. Termasuk jabatan anda."
"Justru akan lebih aneh kalau saya tidak terancam apa-apa setelah kekacauan yang terjadi." Andreas mendongak menatap biru langit di atasnya, ia mengesah pelan. "Lagipula pemberhentian yang ingin dilakukan harus disesuaikan dengan undang-undang perseroan yang berlaku. Jadi saya akan mengajak mereka yang terlibat protes untuk diskusi terbuka terlebih dulu, sebelum memutuskan lanjut membawa perkara ini ke rapat pemegang saham."
"Dan jika mereka semua sepakat untuk satu suara?" Lukman kembali bertanya hati-hati. "Apa anda akan bersedia mundur dari kursi eksekutif?"
"Aturan tetap aturan." Andreas membalas dengan nada tenangnya. "Sama seperti saya yang menyeret bajingan-bajingan kelas kakap sebelumnya mundur karena menyalahi wewenangan perusahaan. Saya juga akan memberlakukan hal yang sama untuk diri sendiri jika terbukti melanggar kredibilitas kepemimpinan."
Lukman sekali lagi terdiam. Ia bisa mendengar ketegasan dari setiap kalimat Andreas. Bekerja nyaris lima tahun dengan pria itu, cukup membuat Lukman mengenal segala tabiat Bosnya. Ia tahu Andreas selalu memegang dan menepati apa yang telah mulutnya lontarkan. Termasuk janji pengunduran diri ini.
"Saya mengerti," sahut Lukman akhirnya.
"Jangan lupa bawakan rangkuman perbaikan mesin produksi yang rutin kamu laporkan selama saya di luar kota, sampai laporan terbaru Jumat kemarin untuk saya tinjau keseluruhan." Andreas kembali mengingatkan tujuannya menelepon personal asistennya itu, selain meminta Lukman membawakan baju ganti selama ia berada di sini.
"Sekalian laptop dan iPad yang ada di ruang kerja apartemen saya, karena saya juga membutuhkannya."
"Baik, Pak. Saya usahakan dua tiga jam sudah menyusul ke sana."
Andreas menutup sambungan setelah pembicaraan singkat di antara mereka. Lelaki itu masih bersandar pada pintu mobil seraya menatap awan berarak pada biru cakrawala.
Berita yang disampaikan Lukman, tidak terasa terlalu mengejutkan baginya. Karena sedari awal memutuskan memulai langkah klarifikasi pada media, ia tahu hujatan orang banyak hanya sebagian kecil dari dampak pilihan yang ia ambil.Lalu apakah ia menyesali semua itu? Untuk sejauh ini, ia tidak merasakan apapun. Bahkan untuk sebuah penyesalan sekalipun.
Andreas berbalik menarik daun pintu di belakangnya, mengambil dokumen dan charger yang dibutuhkan. Ia nyaris beranjak dari halaman ketika suara menggerung halus tak jauh dari posisinya berdiri, terdengar menyapa telinga. Lelaki itu mengerut kening bersamaan dengan langkah kakinya mengayun menghampiri pohon rambutan tempat suara berasal.
Andreas melengak ke atas, menelisik ke arah dahan rimbun dedaunan. Seekor makhluk kecil berbulu hitam putih, tampak meraung-raung di sana. Tak jauh dari hewan itu, gumpalan bersarang lebah pohon terlihat cukup mengancam.
Andreas mendecak lidah menyaksikan itu. Kenapa bisa sampai nyasar ke sana, sih? Dasar hewan aneh.
Andreas awalnya memilih untuk melangkah pergi dan mengabaikan, tapi raungan halus yang cukup mengusik itu membuat kakinya enggan ditarik menjauh.
Pada akhirnya, setelah sibuk menimbang-nimbang, ia memutuskan menggulung sedikit celana panjang katunnya agar lebih leluasa bergerak, dan hanya butuh sekali lompatan serta pijakan pada batang untuk membantunya merangkak naik.
Lelaki itu sedikit berhati-hati supaya tidak mengusik kumpulan lebah yang mungkin tengah bermukim dalam sarang tak jauh di atas kepalanya. Akan terkesan sangat konyol kalau sampai ia turun ke bawah dengan bibir memble atau mata sipit sehabis dicium pantat lebah.
Berhati-hati, Andreas berpegangan pada batang atau dahan kokoh yang bisa diraih, sembari terus menanjak semakin tinggi menuju makhluk berbulu yang masih merintih beberapa jengkal darinya. Setelah berhasil menggapai anak kucing kesasar tersebut, ia dengan sigap mendekap hewan mungil itu dalam kaus bajunya. Menghindar dari satu dua lebah kecil yang menari-nari di luar sarang.
Andreas hendak melompat turun usai tindakan heroiknya tercapai, karena jarak pijakannya pada batang pohon tak terlalu jauh dari tanah. Namun sialnya, kakinya tak sengaja menjejak cabang yang sudah keropos akibat pohon yang sudah tua dimakan usia, membuat pendaratan lompatan itu justru berakhir terjungkal. Dan mengakibatkan lengan kanannya sukses menghantam tanah.
Gerakan itu pula menyebabkan pohon rambutan asal muasal ia terjatuh ikut bergoyang. Menerbangkan kumpulan lebah yang tengah bermukim dalam sarang, serentak bertolak menjauh. Ada beberapa juga yang sempat menyempil memberikan sengatan ucapan selamat tinggal pada kaki Andreas, sehingga membuat lelaki itu refleks memaki pelan.
Sial! Andreas menggerutu akibat rasa sakit menyerang persendian tangan dan kakinya karena sedikit keseleo setelah terjun bebas, belum lagi tanda mata berupa sengatan makhluk berdengung berpantat lancip itu. Ia mengubah posisi setengah tengkurapnya agar terduduk untuk menetralkan sedikit rasa sakit.
Perlahan, ia meniup-niup bekas luka hasil dari pendaratan darurat barusan, entah yang tertumbuk tanah atau tergores ranting pohon. Di tengah kegiatan mengurangi rasa perih dari luka itu, gerakan pelan dari dalam bajunya, diikuti kepala berbulu yang menyembul ke luar, membuat Andreas sontak mengalihkan pandangan.
Anak kucing bermata biru laut itu ikut bergelung merapat pada perutnya sesaat Andreas mendaratkannya pada pangkuan. Respon yang mau tak mau membuat sudut bibir pria itu tertarik naik.
Dasar. Benar-benar merepotkan.
Ia menopangkan sebelah tangan yang tidak cedera ke belakang tubuh. Bertumpu pada rumput gajah yang menjadi alas duduknya. Sementara satu tangan lain sibuk memainkan telinga mengerucut si kucing kecil di atas pangkuan.
"Hey, kamu harus tanggung jawab karena berhasil bikin saya babak belur begini. Dasar kucing."
Ia kemudian mendongakkan kepala begitu merasakan sedikit semilir angin sejuk pepohonan rindang menyapu helai rambutnya, dan tanpa sengaja netra hitamnya bertumbukan dengan tatapan lekat seseorang dari balkon tak jauh di atasnya. Berdiri entah sejak kapan turut memperhatikan dari sana.
Dan ketika ujung bibir gadis itu terangkat naik, tersenyum begitu lebar ke arahnya, di saat itu juga Andreas sempat dibuat mematung tanpa kata.
"Hey kucing," bisiknya tanpa mengalihkan pandangan. "Sepertinya tanggung jawab saja tidak cukup. Kamu berhasil bikin saya geger otak."
Dan entah kenapa, ia merasa enggan untuk berpaling. Meski barang sedetik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels
Romance[On going] Andreas Pramoedya tak pernah membiarkan siapapun mengusik ranah pribadinya. Sikap dingin dan tertutup pria itu makin tak tersentuh saat Namira istrinya memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan tragis. Kematian Namira yang penuh tragedi, s...