Andreas mengetuk-ngetukan jemarinya pada daun pintu bagian dalam mobil, menatap guyuran hujan menerpa kaca di sampingnya. Satu jam lagi dari sekarang konferensi pers akan diadakan, tapi Lukman sudah menjemputnya lebih dulu ke apartemen karena kondisi tubuhnya belum cukup pulih sepenuhnya diajak menyetir sendiri.
Jalanan licin dan kepadatan lalu lintas Jakarta mungkin akan sedikit membuat perjalanan mereka terhambat. Untuk itu Lukman mempercepat kedatangan setengah jam lebih awal, karena si personal asistennya itu juga harus memastikan bahwa semua persiapan yang ada telah berjalan sebagaimana mestinya.
"Pak Komisaris Utama tadi menghubungi saya, dia minta alamat tempat konferensi pers anda dilangsungkan, karena ponsel anda yang sedari tadi susah dihubungi. Kemungkin Beliau juga akan menyusul hadir di sana." Lukman membuka pembicaraan setelah keheningan melingkupi seperempat perjalanan mereka. Ia diam-diam melirik wajah Andreas yang masih terlihat sedikit pucat, meskipun demam pria itu sudah surut sejak kemarin.
"Beliau tadi sepertinya terdengar cukup kesal," imbuh Lukman hati-hati. "Mungkin sebaiknya anda perlu menghubunginya langsung."
Andreas memang sengaja mematikan akses komunikasi ponselnya nyaris seharian karena tahu Antonio Pramoedya pasti akan merongrongnya tiada henti, hanya untuk memastikan bahwa ia tidak menciptakan kekacauan lain dari jadwal temu klarifikasi dengan pihak media hari ini.
"Biarkan saja," gumam pria itu tampak tak peduli. "Justru akan sangat aneh kalau seorang Antonio Pramoedya tidak berulah di kondisi seperti ini. Jadi abaikan saja."
Meskipun ragu, Lukman terpaksa mengangguk mengiyakan. "Baik, Pak." Walau bagaimana pun perintah Andreas adalah sesuatu yang mutlak baginya.
"Oh, ya, Pak. Terkait jadwal keberangkatan anda ke Makassar dengan Pak Remond minggu depan, saya sudah booking tiket untuk penerbangan subuh hari." Lukman mengalihkan topik pembicaraan pada hal lain yang lebih penting.
Setelah pertemuan dengan Remond Hartanto dari divisi perkebunan membahas perluasan kebun kakao di Sulawesi Selatan, pria itu memang meminta bantuan sang Direktur Utama agar turun langsung ke sana untuk bernegosiasi dengan warga lokal terkait perkara sengketa tanah yang menghambat kelancaran pembangunan proyek.
Seperti biasa, Andreas dengan segala integritas profesionalisme kerjanya akan selalu mengusahakan permintaan itu, tak peduli sekalipun kondisi fisiknya belum lama sembuh dari demam tinggi. Dan untuk perjalanan kerja Andreas kali ini, Lukman tak bisa turut hadir menemani pria itu seperti sebelumnya, karena masih ada permasalahan mesin produksi pabrik di Tangerang yang harus ia pantau untuk dilaporkan rutin selama Andreas berada di luar pulau.
"Saya sengaja ambil penerbangan di jam itu, supaya anda masih punya satu hari tersisa untuk dipakai beristirahat di hotel sekitar Makassar. Sebelum dijemput supervisor pabrik sana ke daerah terpencil untuk meninjau lokasi lahan proyek yang terjebak sengketa tanah," imbuh Lukman kembali menjelaskan.
"Soal penginapan selama anda menetap, Pak Remond sudah mencarikan tempat cukup nyaman untuk anda. Yang tentunya masih berdekatan dengan lokasi proyek. Hanya saja kondisi daerah yang belum terjangkau secara total oleh jaringan seluler, akan cukup mempersulit anda berkomunikasi lancar lewat ponsel ataupun mengakses internet."
"Terkait akomodasi, ada mobil jeep yang disewa khusus selama satu minggu membantu anda menyusuri medan terjal untuk akses ke tempat peninjauan."
Andreas masih menatap hilir-mudik kendaraan dari jendela sampingnya. "Satu minggu," gumam Andreas lirih, seakan memang hanya ditujukan untuk dirinya sendiri.
"Iya, kurang lebih satu minggu anda akan ada di sana." Lukman yang sempat menangkap gumaman Andreas, ikut membenarkan.
Menyandarkan punggung ke jok penumpang, lelaki itu tampak menghela napas panjang. "Ya, satu minggu. Sepertinya saya butuh waktu satu minggu untuk mencerna semuanya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels
Romance[On going] Andreas Pramoedya tak pernah membiarkan siapapun mengusik ranah pribadinya. Sikap dingin dan tertutup pria itu makin tak tersentuh saat Namira istrinya memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan tragis. Kematian Namira yang penuh tragedi, s...