Bab 53. Harga Kompensasi

288 34 2
                                    

"Lagi-lagi kamu mengernyit dan gelisah dalam tidur."

Suara familiar itu mengalun sendu membelai pendengarannya.

"Apa ini yang selalu kamu rasakan setiap kali kenangan itu datang? Tersiksa hampir sepanjang malam?" lirih suara itu kembali.

"Tapi kamu selalu menyimpan rasa sakit itu untuk kamu nikmati sendiri, Deas. Kamu bahkan enggan untuk membaginya dengan siapapun."

"Kadang orang-orang seperti kita memang lucu. Ingin berteriak meminta pertolongan, tapi di satu sisi juga menolak saat orang lain ingin mengulurkan tangan."

Ia tahu harusnya ia berusaha berhenti. Tidak. Memang sudah sepatutnya ia menarik diri. Namun matanya terlalu sulit diajak terjaga, dan suara itu makin gencar menari-nari mengusiknya di dalam sana. Mencengkeramnya hingga ke batas jurang terdalam.

"Jadi apa jalan keluar terbaik untuk manusia putus asa seperti kita, Deas? Karena bertahan tanpa kepastian dengan jiwa yang sekarat dari dalam, benar-benar hal yang melelahkan."

"Aku berharap setelah semua ini, ada masa di mana kita mendapatkan kelegaan yang kita cari, bahkan dengan cara paling menyakitkan sekalipun."

Bangun.

Setidaknya ia harus mencoba terjaga.

Apapun. Ia harus lakukan apapun agar bisa terjaga. 

Suara itu, nada keputusasaan itu, ia harus terjaga agar tetap memastikan seseorang yang berbicara di samping telinganya masih bisa terjangkau ketika nanti ia membuka mata.

Namun nyatanya, sekuat apapun ia bersikeras melawan alur yang sudah tersusun rapi dan semestinya, ia tetap kalah oleh rasa tak berdaya. Bahkan ketika suara dan kalimat-kalimat sendu itu berubah menjadi alunan piringan hitam memekakan keheningan, tak ada jalan keluar baginya selain menghadapi mimpi buruk ini hingga benar-benar usai.

Pintu berganda itu masih serupa ketika alur kesakitan berganti membawanya pada ruang waktu berbeda. Seiring dengan bunyi melodi lawas yang kian nyaring terdengar, ia dipaksa kembali berdiri terpaku di tempat yang sama. Memandang gentar penghalang kayu jati di hadapannya.

Tapi berbanding terbalik dengan kengerian yang sudah-sudah, kali ini tak ada lagi tangan si kecil kurus kering berayun menyentuh gagang. Melainkan telapak besar seorang pria dewasa yang terulur menggantikan.
Tangan miliknya sendiri. Setelah belasan tahun waktu berlalu.

Bersamaan dengan derit pintu terbuka mengisi kegamangan malam, sumber mimpi buruk itu ternyata masih tetap berada di sana. Memaksanya mendongakan kepala dan saling bersitatap lewat mata telanjangnya. Menyiksa sosok itu untuk yang ke sekian kalinya.

Namun kali ini tak ada lagi wajah wanita paruh baya penuh sorot kebencian yang memandangnya dengan nyalang, melainkan wajah tanpa rona seorang gadis yang menatap redup penuh kekosongan. Tergantung di langit-langit kamar dengan kalung berbandul matahari menghias leher seputih kapasnya. Begitu pucat, dingin, dan tak lagi bernyawa.

Tak seperti si anak kurus ceking yang tersungkur menghantam lantai dengan tangisan menyayat dada, lelaki itu justru bergeming tanpa kata. Terpaku lurus ke arah yang tak mampu membuatnya berpaling ke mana pun barang sedetik saja. 

Hingga akhirnya, kesadaran cukup bermurah hati menariknya menyentuh titik alam nyata. Menyentaknya terjaga dari ruang kenangan mengerikan yang tersaji di depan mata. Terbangun di atas kasur dingin kamar apartemen yang tak kalah hampa. 

Menangkup wajah dengan sebelah lengan, Andreas terengah mencoba berebut udara serakus mungkin untuk menetralkan napas putus-putusnya. Peluh membanjiri pelipis dan dahi, masih tak sebanding dengan getar tubuh yang kian hebat menghantam.

Bahkan tak butuh waktu lama bagi tubuh letih dan gemetar itu bangkit dari pembaringan. Menyambar kunci yang tergeletak di atas nakas tanpa pertimbangan. Memacu kendaraan secepat mungkin membelah jarak sejauh puluhan kilometer keluar dari kerlipan malam Ibukota dengan tak kalah tergesanya. Mengabaikan seluruh penat dan lelah fisik yang minta kembali diistirahatkan setelah perjalanan panjang lintas udara yang terlewati beberapa jam sebelumnya.

Begitu mobil hitam itu terparkir di halaman bangunan bertingkat dua yang ia tuju di penghujung malam, cengkeramannya pada setir kemudi perlahan mengendur sesaat mendapati lampu kamar di atas sana menyala benderang dari pintu balkon yang masih terbuka.

Bertepatan dengan suara seseorang yang menjawab panggilannya di seberang sambungan, Andreas pun tak dapat menyamarkan tarikan napas leganya.

***

"Kamu."

"Saya rasa ... saya mungkin butuh kamu."

Rena terdiam kaku mendapati sosok yang sudah berdiri menjulang di hadapannya. Otak warasnya masih sibuk berusaha merangkai apa yang sebenarnya terjadi saat ini. 

Bagaimana mungkin seorang pria yang baru saja bertukar kata dengannya melalui sambungan telepon di luar kota berbeda, kini hanya dalam hitungan detik sudah hadir tepat di depan mata? Tanpa tanda-tanda maupun peringatan.

Namun ketika menyadari titik keringat dan napas sedikit memburu dari lelaki itu, seolah sehabis dipaksa berlari sekian puluh kilometer sebelum sampai ke sini, entah kenapa ikut membuyarkan semua kebingungan Rena. Berganti menjadi raut kekhawatiran yang tak mampu ia sembunyikan.

"Kamu...." Rena berhasil menemukan kembali suaranya usai jeda hening yang sempat menyita keterkejutan gadis itu. Ia bahkan tanpa sadar sedari tadi sempat menahan napas.

"Sekarang merasa lebih baik?"

Andreas menggeleng pelan, tanpa melepaskan tatapan lekatnya. "Belum sepenuhnya."

"Kenapa?"

Beringsut maju selangkah, Rena memperhatikan lebih dekat raut kuyu sarat kelelahan itu. Dengan sedikit ragu dan tampak berhati-hati, ia mengulurkan tangan menghapus jejak keringat yang sempat mengalir turun dari pelipis sosok di depannya. 
Hal yang dengan spontan membuat Andreas memejamkan mata.

"Apa ... sangat menyiksa?"

Lelaki itu mengangguk. 

"Masih dengan mimpi yang sama?"

"Yang ini sedikit berbeda."

"Seperti apa?"

Andreas kembali membuka mata. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya, selain tatapan lebih lekat yang ia tujukan pada gadis di hadapannya.

Dipandangi seintens itu, membuat Rena secara refleks menurunkan tangan. Ia melayangkan pandangan ke arah lain untuk menyamarkan kecanggungan yang tiba-tiba menyergap.

"Ja-jadi mimpi itu juga yang membawa kamu ke mari?" tanyanya berusaha melanjutkan topik pembicaraan. Membuang jauh-jauh rasa gugup menyusup di sudut hatinya.

"Serena," panggil Andreas. Sama sekali tak mengindahkan pertanyaan yang ia lontarkan. "Berapa harga yang harus saya bayar?"

Rena terdiam. Ia sontak kembali menoleh pada netra yang masih menatapnya selekat tadi. Kedua alisnya bertaut tak mengerti dengan arah pembicaraan yang Andreas maksud. "Bayaran? Untuk apa?" tanya Rena tak segan menunjukkan kebingungannya.

"Biaya perawatan sakit kemarin, saya butuh dua puluh lima juta sebagai kompensasi untuk kamu," timpal Andreas. "Jadi saya mungkin akan membutuhkan lebih banyak dari itu jika meminta sesuatu di luar jobdesk kamu yang seharusnya."

Rena makin mengernyit tak paham. Perkataan Andreas terlalu ambigu untuk ia mengerti dalam sekali cerna.

"Saya sedang menawarkan kamu kesepakatan, Serena." Andreas kembali bersuara ketika sorot tanya di raut gadis itu tak urung sirna. "Atau lebih tepatnya jobdesk tambahan."

"Maksud kam---" Tak sempat menyelesaikan segala tanya di benaknya, Rena sudah lebih dulu terkesiap di tempat saat Andreas dengan serentak menarik pergelangan tangannya hingga membuat ia terhuyung ke depan. Dan dalam hitungan singkat, lengan lelaki itu sudah merengkuh tubuhnya dalam dekapan erat. 

Teramat erat.

"Ini," gumam Andreas seraya menenggelamkan wajah di helaian rambut dan ceruk lehernya. "Berapa kompensasi yang harus saya bayar untuk ini?"

Head Over HeelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang