Baiklah, Rena ingin sekali merutuk sikap lemah hatinya yang mudah merasa tidak tega pada kesulitan siapapun yang berada di sekitar jangkauan matanya. Betapapun ia membenci sosok tersebut sedemikian rupa, namun mendustai empati yang sudah mendarah daging, bukan hal mudah untuk dilakukan.
Sama seperti kebiasaannya yang harus merasa iba pada sang ayah tiap kali lelaki itu pulang dengan luka-luka serta memar, entah karena dikejar lintah darat akibat hutang judi menunggak, atau dikeroyok masyarakat karena selalu saja berulah tiap kali alkohol mengambil alih kesadarannya.
Sebenci apapun Rena pada sosok itu oleh semua kekacauan hidup yang ia perbuat dan tinggalkan, sehingga kadang harus membuat dirinya dan sang Ibu kewalahan ikut membereskan dan mewakili permintaan maaf pada mereka yang dirugikan kelakukan ayahnya, tetap saja Rena tak bisa mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang anak tiap kali melihat pria tua itu terkapar babak belur di teras rumah.
Setiap saat dibutuhkan, Rena akan selalu bertugas menjadi perawat dadakan untuk membasuh luka, ataupun mengobati jejak memar sang ayah sekalipun emosi kerap kali singgah merayapi hatinya, karena sikap seenaknya pria itu yang senang menyebabkan banyak masalah di hidup mereka. Bahkan sampai akhir hayat pun, ia masih saja meninggalkan beban hidup dan tanggungan berat pada istri serta anak-anaknya.
Rena mengembus napas lelah karena harus kembali terbayang oleh kenangan masa lalu yang tak ingin diingat-ingatnya lagi. Mendekap baskom berisi balok es dan handuk kecil di sisi tangan kanannya, disertai kotak obat-obatan digenggam sisi berlawanan, ia pun memantapkan langkah menuju teras halaman belakang villa tempat di mana subjek yang ia cari berada.
Berdasarkan informasi dari Mbok Irma, Rena mengetahui kebiasaan Andreas yang selalu menghabiskan waktu menyendiri untuk mengudut batang nikotin setiap kali lelaki itu punya waktu luang. Pemandangan yang memang langsung Rena temui sesaat setelah kedua kakinya memijak ambang pintu halaman belakang.
Di sana, di salah satu kursi rotan mengarah ke kolam ikan dan kebun kecil dikelilingi pepohonan tropis, Andreas terduduk menatap kosong kegelapan malam di ujung mata, dengan lintingan api yang sudah tersisa setengah batang, terselip di antara sela-sela jemari kirinya. Jas formal dan dasi yang tadi ia kenakan sudah ditanggalkannya entah kemana, menyisakan kemeja biru yang sudah ia gulung sesiku.
Dasar laki-laki dan candu, mereka memang suatu kombinasi yang sulit dilepaskan satu sama lain. Meskipun harus bersusah payah menghisap racun karsinogen itu di tengah mulut robek dan memar, tetap saja akan dijabanin dengan sesuka hati, tak peduli semenyiksa apapun kondisi itu. Hal yang memang sulit Rena pahami dari kebiasaan para kaum berjakun.
Rena kembali menimbang-nimbang untuk meneruskan niat baiknya ini atau memutar badan saja berbalik ke dalam, tanpa menghiraukan jeritan iba yang terus mengusik hatinya. Lagipula pasti akan terkesan canggung juga kalau ia menawarkan bantuan perawatan luka ini pada Andreas, di saat sosok itu sendiri tidak terlalu memperdulikan keadaan wajahnya.
Rena bukan tidak melihat tawaran Mbok Irma beberapa saat lalu yang ingin mengobati luka-luka Andreas, tapi penolakan pria itulah yang membuat ia harus sedikit merasa gemas saking menyebalkannya sikap acuh tak acuh tersebut.
Lagipula apa sih susahnya mengizinkan orang lain membantu mengobati mukanya yang sudah lebih mirip dadar bopeng itu?
"Apa yang kamu lakukan di situ?"
Rena terkesiap halus saat sebuah suara menyela lamunan singkatnya. Karena terlalu sibuk memikirkan pertimbangan harus berbalik atau lanjut, Rena sampai tidak menyadari bahwa keberadaannya di garis pintu telah disadari oleh Andreas yang kini sedang menatap ke arahnya.
Tahu tak punya cara lain untuk menghindar, karena sadar ia tak mungkin mengutarakan alasan konyol seperti sedang numpang nangkring di pintu dengan baskom dan kotak obat yang terlihat terang-terangan dalam dekapannya, maka Rena terpaksa memutuskan mengesampingkan ego dan lebih memilih mengikuti kata hatinya saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels
Romansa[On going] Andreas Pramoedya tak pernah membiarkan siapapun mengusik ranah pribadinya. Sikap dingin dan tertutup pria itu makin tak tersentuh saat Namira istrinya memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan tragis. Kematian Namira yang penuh tragedi, s...