Rena mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar yang sudah menjadi tempatnya bermalam selama dua pekan belakangan. Menikmati momen-momen terakhir sebelum nanti ia kembali bergelung di kamar kontrakannya yang sempit, serta berbaur menghadapi kesibukan monoton dari balik meja kubikel kantor di keesokan hari.
Rena mungkin akan sangat merindukan tempat ini. Bagaimanapun juga, waktu dua minggu yang ia habiskan, lebih dari cukup meninggalkan bekas nyata untuk ia ingat di kemudian hari.
Mengembus napas panjang, gadis itu melipat selimut sebagai penutup dari usahanya membereskan kamar dan mengepak keperluannya untuk kembali ke Jakarta malam ini. Tidak banyak hal yang ia bawa, selain laptop bersama peralatan kerja lain dalam tas selempang kecilnya.
Pakaian yang ia miliki pun hanyalah satu-satunya apa yang melekat di badan sewaktu hari pertama ia menginjakkan kaki ke villa ini. Di luar dari itu, mungkin hanya ada beberapa potongan baju yang sempat dibelikan Andreas sebagai kebutuhan sementaranya di sini. Dan tidak mungkin juga Rena bawa pulang, mengingat harga pakaian-pakaian itu yang tak bisa terbilang murah. Kecuali untuk dalaman yang ia pakai karena mustahil bagi Rena meninggalkan bekas area pribadinya pada orang lain.
Bunyi ketukan dua kali pada pintu kamar, disusul wajah Mbok Irma yang muncul di baliknya, sekejap menghentikan atensi Rena dari keadaan sekitar. Beralih pada wanita paruh baya itu yang terlihat ragu-ragu melangkah masuk.
"Maaf, Neng." Mbok Irma berucap sungkan. "Di bawah ada tamu yang datang. Katanya teman Neng Rena dari Jakarta. Sudah Mbok suruh tunggu di ruang tamu, tapi dia bersikeras katanya mau nunggu di depan saja."
Rena melirik jam tertera pada layar ponsel. Waktu baru menunjuk pukul setengah 7 malam, tapi sepertinya Mala sudah tiba lebih awal dari waktu yang mereka janjikan.
Mencangklong tas selempangnya, Rena menatap Mbok Irma. Ada perasaan sedih terselip ketika ia harus berpamitan dengan sosok yang sudah begitu baik padanya selama berhari-hari dirinya menetap di sini.
"Nggak apa-apa, Mbok. Teman saya memang rencananya cuma mau datang menjemput. Kebetulan saya juga sudah selesai beres-beres."
Mbok Irma tampak menarik napas panjang. "Neng Rena benar-benar yakin sudah mau kembali ke Jakarta sekarang? Apa tidak sebaiknya dibicarakan sama Den Andreas dulu?"
Rena mengulas senyum tipis mendengar bujukan tak rela Mbok Irma agar ia mau memilih tinggal lebih lama di villa ini. Tapi Rena tetap bersikeras pada keputusan yang sudah ia pikirkan matang-matang sejak kemarin.
"Saya bisa menghubungi Pak Andreas nanti." Walaupun sebenarnya ia tak yakin punya cukup nyali untuk berkomunikasi apapun dengan pria itu. Tidak setelah apa yang telah terjadi di antara mereka.
Diraihnya tangan keriput Mbok Irma. Menepuk-nepuknya dengan lembut. "Makasih banyak, ya, Mbok. Sampaikan juga terima kasih saya kalau Pak Umar pulang nanti. Maaf kalau selama di sini saya cukup merepotkan."
Mbok Irma menggeleng tegas. "Mbok justru senang Neng Rena lebih lama lagi tinggal di rumah ini. Sama sekali nggak merepotkan, Neng." Diusapnya punggung gadis itu pelan. "Kalau ada waktu, jangan sungkan-sungkan berkunjung kemari ya, Neng? Bilang aja nanti mau dimasakin apa, Mbok pasti akan sediakan."
Rena kembali mengukir senyum tanpa berniat mengiyakan. Ia terlalu takut untuk menjanjikan apapun, karena khawatir tidak akan mampu menepatinya di lain waktu. Termasuk kunjungan yang Mbok Irma harapkan.
Karena memang setelah semua ini, tidak ada lagi alasan bagi Rena untuk tetap terhubung dengan hal-hal yang bersangkutan dengan sosok seperti Andreas Pramoedya, tak terkecuali juga terhadap orang-orang di sekitar pria itu.
Semua cerita yang tertinggal di rumah villa ini, biarlah seterusnya akan tetap tertinggal di sini.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels
Romance[On going] Andreas Pramoedya tak pernah membiarkan siapapun mengusik ranah pribadinya. Sikap dingin dan tertutup pria itu makin tak tersentuh saat Namira istrinya memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan tragis. Kematian Namira yang penuh tragedi, s...